Gus Zaki dan Kisahnya yang Terkoyak

Swafoto di Watu Amben, Kulonprogo.
BERAWAL dari perjumpaan yang tak dinyana. Hasrat menulis tentang Gus Zaki ini kemudian muncul laiknya candu.

Begini alurnya; menjelang senja, tiba-tiba Evan dan Mas Mahdi ngajak ngabuburit, kemudian buka bersama di pemancingan. Namun, rencana ke pemancingan pun batal seketika.

Akhirnya, kami bersepakat ke Watu Amben di Gunungkidul. Oh iya, Wiwik dan Aziz juga turut serta. Di sana, paling tidak ada sunset yang bisa memanjakan mata. Sehingga buka puasa di hari pertama bulan Rajab ini tidak begitu membosankan. Duh, kenapa malah pamer ibadah begini jadinya.

Sepulangnya dari Watu Ambem kami langsung menuju Kopas, menuntaskan dendam setelah seharian belum menyeruput kopi hitam.

Nah, di Kopas inilah saya bertemu dengan Gus Zaki, sahabat seperjuangan sejak mencecahkan kaki di tanah Sultan, Yogyakarta. Ya, ada banyak kisah yang pernah kita lalui, baik senang maupun tidak. Bahkan, kisah yang terjadi lebih sering menguji persahabatan yang sudah mapan. Tak jarang yang sengaja melempari kerikil, memang.

Di mata saya, Gus Zaki tidak sekadar sahabat dekat. Jauh melebihi itu, ia adalah seorang guru, lebih-lebih dalam laku hidup. Soal menyikapi kerasnya hidup, saya belajar banyak dari Gus Zaki. Ia adalah sosok pekerja keras yang tak terjebak dengan status sosialnya. Kali ini saya benar-benar ingin menjura, Gus.

Gus Zaki - durspasi
Dari awal kenal dengannya, banyak momen yang memaksa kita bersebrangan. Pada dasarnya, kita tidak ingin. Namun, keadaan berkata lain. Kita berdua terpaksa memilih jalan yang tak sama, saling curiga satu sama lain menjadi hal yang biasa. Saya patut bersyukur, sampai detik ini persahabatan kita masih terjaga di tengah perseteruan yang tak ada habisnya.

Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas getirnya proses yang kita alami. Biarlah itu semua menjadi bagian dari penempaan diri masing-masing. Bagi saya, bersahabat tanpa perbedaan persepsi kurang menantang. Kedewasaan kadang memang perlu diuji dengan persoalan-persoalan. Dan, semoga Gus Zaki juga beranggapan demikian.

Baca juga: Pras, Wafa dan Bus Simulator

Ya, dalam tulisan yang ngalor-ngidul ini saya ingin menuangkan sekelumit kisah Gus Zaki yang terkoyak. Sebelumnya saya ingin mengucapkan pada Gus Zaki; mampus kau dikoyak-koyak sepi.

Terkoyak, kata ini memang terlalu sadis disematkan. Tapi memang begitu kondisinya. Saya ingin jujur bercerita tentang sahabat saya ini. Gus, kalau sampean merasa sakit hati dengan kata-kata ini, berarti sampean masih waras dan masih menganggap saya sebagai sahabat.

Ada satu kejadian yang tidak bisa saya lupakan. Bagi saya, ini kisah penting sekaligus penanda titik awal Gus Zaki terkoyak kisah hidupnya.

Sekitar ratusan purnama yang lalu, saya dan Evan menjadi saksi hidup tentang pedihnya Gus Zaki menanggung luka. Ada air mata yang hingga hari ini belum kering. Soal senyuman yang kerap dilontarkan, itu hanya bagian dari kelihaiannya menyembunyikan perasaan. Sejujurnya, ia tak sanggup menanggungnya.


Kisahnya setara dengan Rangga dan Cinta, hubungannya dirajut atas perasaan saling percaya. Bahkan, dalam hal ini, Gus Zaki lebih keren daripada Rangga yang sok-sok’an buka kedai kopi di Amerika. Paling tidak ia telah jujur kapan bisa menghalalkan. Meski waktu yang dijanjikan ternyata tidak bisa mengubah adat kebiasaan. Ia pun harus rela kehilangan. Bunga yang sudah susah payah ditanamnya harus diikhlaskan, membiarkan orang lain yang memetiknya.

“Kadang, kenyataan memang suka berkata lain, Gus!” Evan mencoba memberi energi positif di tengah aliran darahnya yang tak stabil. Setidaknya, sampean sudah jujur dan tidak main-main soal membina masa depan. Ini soal waktu dan campur tangan takdir saja, Gus.

Kami bertiga, kala itu berteduh di Pos Satpam sambil memandangi hujan yang baru mau berhenti selepas magrib menjelang. Kemudian kami beranjak menuju masjid At-Taqwa di Kotabaru, tempat saya menitipkan hidup ketika awal-awal di Jogja. Di masjid ini, saya dan Evan habis-habisan mengeluarkan jurus pamungkas agar Gus Zaki bisa menerima kenyataan.

Baca juga: Pertarungan Batin Agam dan Roby

Seingat saya, jurus pamungkas itu ada hasilnya, meski tak mengubah keadaan seutuhnya. Bagaimanapun, mengobati luka itu tidak semudah membalikkan tangan. Butuh waktu yang cukup panjang agar kenangan-kenanan itu tidak menjadi hantu yang bergentayangan.

Selang beberapa purnama, saya melihat Gus Zaki begitu menikmati proses di dunia pergerakan. Hal itu bisa dibuktikan dengan prestasi yang telah ditorehkan. Bahkan, baik di internal maupun eksternal, ia kerap menjadi pilihan untuk duduk di depan. Kepemimpinannya layak diapresiasi, meski kenyataannya saya selalu hadir sebagai oposisi. Santai Gus, setidaknya saya tak pernah makar selama menjadi anggota sampean.

Dan, pertemuan hari ini menjadi ruang berbagi cerita. Kita pun tertawa mengingat semuanya; bercanda, bertengkar, merumuskan gerakan hingga soal remeh temeh dan kegilaan-kegilaan yang pernah kita lakukan. Kabarnya, saat ini Gus Zaki tengah berjibaku dengan gerakan sadar literasi.

Jika Anda ke Banjarnegara, lalu berjumpa dengan “KOBAR; Komunitas Baca Bersama”. Nah, Gus Zaki ini merupakan salah satu orang penting di dalamnya. Yang terbaru, ia meluncurkan “Gerakan ngatamin Alquran, satu buku kemudian tiga hadist”. Luar biasa memang Gus yang satu ini, di tengah kisahnya yang terkoyak masih sempat berpikir tentang masa depan orang banyak. Sukses dan sehat selalu, Gus. []

No comments:

Powered by Blogger.