Warkat untuk Rocky Gerung
dok. pribadi/durspasi |
PAK Rocky Gerung, saya masih ingat betul
pertama kali mengenal Anda. Kala itu, beberapa tahun yang lalu, seorang teman
saya mengirim tiga pranala melalui pesan WhatsApp dengan judul "Merawat
Akal Sehat".
Saya tidak langsung membukanya. Mahasiswa
rantau macam saya tentu pikir-pikir dulu hendak menonton YouTube pakai data
reguler. Kira-kira beberapa hari selanjutnya, tepatnya di warung kopi, dengan Voucher Wifi seharga dua bungkus nasi
kucing saya sempatkan menonton video kiriman teman saya itu.
Jujur, saya tertarik dengan penjelasan
Anda, meski bagi orang awam seperti saya butuh kerja keras untuk memahaminya.
Setelah selesai menontonnya,
kemudian saya mencari tahu siapa Anda.
Saya pun bertanya pada teman yang mengirim
pranala YouTube itu.
Dalam pesannya,
teman saya itu menulis, “kamu harus menonton video ini supaya tercerahkan”. Tentu saja ini menantang
rasa ingin tahu saya tentang video yang ternyata adalah Anda.
Baca juga: Merawat Akal Sehat
Pada teman saya itu saya ajukan pertanyaan,
siapa Rocky Gerung itu? Dengan fasih dia menjawabnya; Rocky Gerung itu dosen filsafat
UI dengan pemikiran-pemikran yang luar biasa. Saya diam, seakan saya sudah
cukup dengan jawaban teman saya yang menggebu-gebu itu. Padahal tidak demikian.
Sumber informasi tentang Anda mulai saya
telusuri. Akhirnya, saya memberanikan diri mengikuti Anda di Twitter. Wah, ternyata memang luar biasa. Di
media 160 karakter (sebelum perusahaan berlambang burung itu resmi menambah menjadi 280
karakter), kicauan-kicauan Anda semakin membuat saya tertarik untuk mengenal
lebih jauh. Paling tidak,
saya bisa bertemu satu forum dengan Anda. Pikir saya waktu itu.
Belum sempat bertemu dan mengikuti langsung forum
Anda, momen Pilkada Jakarta mengubah semuanya. Sepanjang perhelatan politik
yang saya ikuti, Pilkada Jakarta adalah contoh buruk yang membuat saya geli.
Tentu Anda sudah tahu bagaimana perebutan orang nomor satu di ibu kota itu
penuh dengan kebencian.
Isu SARA digoreng sedemikian rupa, politik identitas
bekerja di atas kebencian yang dibiarkan membabi buta, klarifikasi menjadi
barang mahal demi tahta ibu kota. Semua ingin menjadi hakim atas nama Tuhan dan agama.
Baca juga: Perempuan, Jilbab dan Keimanan
Saya masih menyimak kicauan Anda. Perlahan,
rasa penasaran mengenal lebih jauh soal Anda kian hilang. Apalagi, setelah
kicauan-kicauan Anda tentang kontestasi politik Jakarta—yang menurut saya—mulai
tidak objektif.
Saya memang tidak mahir mengolah kata
laiknya Anda. Tapi kalau hanya membaca kicauan Anda mengarah ke mana saya tak
perlu bertapa. Ya, kicauan Anda sudah seperti pesanan dari salah satu kontestan Pilkada. Saya
masih mencoba berbaik sangka, paling tidak saya menghargai pendapat Anda. Soal
objektif atau tidak, itu nomor sekian.
Tak berselang lama, Anda mulai menjadi tamu
di acara debat yang dinahkodai Karni Ilyas. Bahkan, hampir semua episode Anda
dimintai pendapatnya. Hingga tiba akhirnya Anda membuat gempar publik dengan
pernyataan bahwa kitab suci itu fiksi.
Senyatanya saya biasa-biasa saja mendengar
perkataan Anda itu. Sama seperti saya mendengar pernyataan Ahok yang berujung
pada jeruji besi, atau puisi Ibu Sukmawati yang mungkin bernasib sama seperti
Ahok. Anda beruntung sekali, kelompok kagetan yang gemar melapor atas nama
penistaan agama diam tak meronta. Entah apa yang menjadi alasan meraka tidak
terusik dengan kata-kata Anda. Mereka justru lebih terusik dengan kata-kata
Ahok dan puisi Sukmawati. Bahkan, mereka sempat mempermasalahkan puisi Gus Mus
yang kebetulan dibaca Ganjar.
Baca juga: Tentang Idealis yang Egois
Bagi
saya, kata-kata Anda, ucapan Ahok dan puisi Sukmawati hanya salah tempat. Wajar
jika akhirnya memicu ketegangan. Apalagi, akhir-akhir ini, kebencian demi
kebencian sengaja diproduksi. Masyarakat dipaksa mengonsumsi dua presepsi
semata, pro atau kontra terhadap pemerintah. Sejatinya
mereka tidak bertindak atas nama agama, tapi memanfaatkan agama untuk
kepentingannya. Saya sedih menyaksikan keadaan di mana kata maaf
semakin mahal. Saya harap Anda juga demikian.
Saya
senang jika ada intelektual yang mau nimbrung soal politik. Ada harapan yang
menyala, kalau kehadiran para intelektual mampu mengubah persepsi di mata
masyarakat. Ya, saya meyakini bahwa masih ada politisi baik yang mendedikasikan
hidupnya untuk kepentingan bangsa. Harapan saya, intelektual seperti Anda hadir
memberi suntikan ide dan gagasan agar mereka tidak tergoda dengan
muslihat-muslihat kekuasaan. Kehadiran orang seperti Anda
semestinya menjadi energi tersendiri agar orang-orang baik mau mengurusi
negeri.
Saya
tidak mempersoalkan Anda berpihak pada kiblat kekuasaan tertentu, itu wajar dan
memang hak Anda. Tapi mengomentari semua persoalan sesuai nafsu kekuasaan, itu
yang bermasalah. Saya tak menampik kalau kinerja Jokowi harus dikritik. Namun, mengabaikan
pencapaian Jokowi saya rasa bukan sikap kesatria seorang intelektual. Jujur,
menyaksikan Anda di layar televisi, rasanya ‘kok
serba salah yang dilakukan pemerintahan saat ini.
Wajar kemudian jika publik menganggap Anda--termasuk saya--berdiri atas
kepentingan seseorang yang berada di luar kekuasaan.
Pak
Rocky, anggap saja ini warkat dari saya untuk Anda. Ya, dari saya yang pernah
mengagumi sepak terjang Anda dalam berbagi ide dan gagasan. Terserah Anda menanggapi
warkat yang saya tulis ini seperti apa. Semoga Anda masih ingat dengan video
“Merawat Akal Sehat” itu. Jangan sampai ada video versi kedua, kemudian diberi
judul, “Merawat Kebencian itu Sehat”. Sekian. []
No comments:
Post a Comment