Fiksi Kitab Suci
Nur Khalik Ridwan/durpsasi |
DALAM kerajaan
tubuh manusia ada indera; ada khoyal;
ada ingatan-dzikir, ada aqal; ada
nafsu dan hawa nafsu, dan ruh, yang berada dalam alam amar, juga ada jin qorin (dan setan selain qorin di empat arah), dan juga ada
malaikat. Aqal yang sadar martabatnya,
dia akan meninggalkan dan tidak tunduk di bawah imajinasi, untuk selalu siap
menjadi perdana menteri ruh.
Oleh karena itu Nabi bersabda “izdad aqlan tazdad min robbika qurban”. Tambah berakallah, engkau
akan bertambah dekat dari Tuhanmu, yaitu akal yang di bawah kendali ruh, bukan
nafsu. Hadis ini dikomentari at-Tijani dalam Takhrij Ihya’, hlm. 239 dan ada yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud.
Baca juga: Perempuan, Jilbab dan Keimanan
Kalau belum mendengarkan kalam-kalam mereka itu, tak
bisa membedakan antara khoyal dan aqal, dan tak bisa membedakan malaki dan khoyali, juga Ilham Rabbani.
Beriman dan mengikuti Alquran, petunjuk Kanjeng Nabi Muhammad dan para Akabir, dan melihatnya sebagai Kalamullah, akan menyelamatkan dunia dan
akhirat.
Yang bergelut di dunia kalam-kalam seperti itu saja,
menurut sebagian kitab ada yang bertahun-tahun baru bisa membedakannya. Apalagi
hanya membaca buku dan sudah berani menyebut kitab suci sebagai fiksi.
Baca juga: Beragama Sewajarnya, Belajar dari Kyai Malik
Kecuali, kalau memaknai setiap bacaan yang dikeramatkan
sebagai kitab suci, lain soal.
Ada banyak cara Tuhan meng-hijab seseorang, dengan martabat kebenaran yang disimpulkannya. Melihat
fiksi tentang Alquran adalah hijab. Dan
hijab adalah rahmat bagi yang sadar
tentang keterbatasannya, di mana martabat fiksi bersemayam dan seharusnya
diletakkan. []
Ditulis oleh Nur Khalik Ridwan, Imam Tahlil di sebuah musala kecil.
No comments:
Post a Comment