Karakter yang Mengagetkan
durspasi |
Dulu, jika ingatanku tidak keliru, pada tahun 2015,
tepatnya pada bulan puasa, aku bersama teman-temanku bergabung dengan kelompok PPT
(Pasukan Pencari Ta'jil). Suatu sore, setelah mendapatkan ta'jil (gratisan),
tanpa disengaja aku bertemu dengannya, bertukar sapa, hingga terjadi beberapa
obrolan-obrolan kecil yang sedikit menggelikan. Ia lalu memperkenalkanku pada
teman-temannya, aku pun menyetujuinya. Tidak lama kemudian, adzan berkumandang.
Aku pun bersama pasukan buru-buru menyerbu dan melahap habis makanan untuk
membunuh lapar.
Setelah maghriban dan mau balik ke
kontrakan, apes menyambangiku. Motor pinjaman yang kupakai mogok (bensinnya
habis). Padahal rombonganku, dengan berbagai alasan telah meninggalkan lokasi.
“Motornya kenapa, Mas?” Kenanga mengagetkanku.
“Oh, Kenanga.
Iya, motorku mogok.”
“Mogok apa kehabisan bensin?" Tanyanya sembari tersenyum.
“Ah, kau ini.”
“Sabar dikit toh, Mas. Tunggu sebentar, ya, kunci motorku dibawa
Ani (sahabat karib dan satu kost Kenanga sejak mereka masih menjadi mahasiswi
baru), dia masih di toilet. Nanti pakai saja motorku buat beli bensin. Sepertinya,
di dekat belokan ujung sana ada yang jual."
Saya cuma mengernyitkan dahi. “Mau beli pakai
apa coba?” Ujarku dalam batin.
Kenanga rupanya mengerti persoalanku yang
lain. “Santai aja kenapa sih. Kayak aku gak pernah pinjam uang ke mas aja.
Pakai aja dulu uangku. Dompetku di dalam jok.” Imbuhnya sambil cengengesan.
"Makasih ya, nduk".
Sambil menunggu Ani yang lama di toilet,
Kenanga sibuk mencari hapenya. Awalnya saya kira dia mau nge-game, main medsos atau semacamnya. Namun,
setelah kuperhatikan baik-baik dari dekat motor pinjaman yang kubawa, gerak
jempol yang menggeser layar hape dan gerik bibirnya membuat saya yakin, dia
baca surah Yasin dan al-Mulk. Wellaaah... Saya kaget dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya.
Beberapa Bulan Kemudian
Sahabat-sahabat di kontrakan MOEDA Institute berencana hataman Alquran. Sambil guyon dari hal-hal yang serius sampai tetek-bengek dan remeh-temeh, kami mengobrol terkait rencana itu. Seorang sahabat tiba-tiba nyeletuk;
Sahabat-sahabat di kontrakan MOEDA Institute berencana hataman Alquran. Sambil guyon dari hal-hal yang serius sampai tetek-bengek dan remeh-temeh, kami mengobrol terkait rencana itu. Seorang sahabat tiba-tiba nyeletuk;
“Kita ini setiap ngadain kegiatan kok minim banget ya
personil perempuan”. Walaupun sempat diejek sampai dikosek kepalanya, hampir
semua personil yang ada dalam
ruangan tersebut mengamini celetukan tersebut.
Setelah obrolan rampung, kami pun menghubungi kolega-kolega yang
untuk diajak berpartisipasi, termasuk saya. Jempol saya pun menari di atas
layar hape. Menghubungi beberapa kolega yang kira-kira bisa hadir untuk hataman
Alquran bersama-sama.
Ada yang langsung merespon via WhatsApp. Saya buka locked screen. Ah, Ani. “Duh, sorry mas, lagi mudik nih, budheku baru
melahirkan. O iya, mas udah ngubungi Kenanga? Kayaknya dia tidak terlalu sibuk
minggu-minggu ini. Lagian dia kan hafidloh, hitung-hitung bisa nderes hafalannya. Jare
kalau di kost sering gak bisa konsentrasi.”
Begitu kira-kira pesan dari
Ani.
Bluk... Hape
jatuh ke kasur karena saking kagetnya. Hampir dua tahun kenal Kenanga dan baru
detik itu saya tahu kalau ternyata dia penghafal Alquran.
Dua Hari Kemudian
Saya ambil hape setelah mengeringkan badan sehabis mencuci pakaian. Ada angka 09.03. AM terpampang di sana dan beberapa notifikasi medsos.
Saya ambil hape setelah mengeringkan badan sehabis mencuci pakaian. Ada angka 09.03. AM terpampang di sana dan beberapa notifikasi medsos.
“Sorry mas, baru punya paketan internet.
Lagian juga dari kemarin lagi udzur. Gimana hatamannya, banyak yang hadir?”
Pesan WhatsApp dari Kenanga.
Bukannya membalas pertanyaannya, saya malah
mengomelinya. “Kau tahu, baru
kali ini ada seorang perempuan yang membuatku tersinggung!”
"Oh, maaf, mas, jika sikapku membuat mas
tersinggung. Tapi, apa yang membuat mas demikian?”
Temanmu memberitahuku, kau hafidloh. Kenapa
kamu malah menyembunyikannya dariku?”
Dengan entengnya dia membalas “Wkwkwkwkwk... Laah, mas gak pernah nanya
kok, yeeee...”
Setelah sahut menyahut ratusan karakter chat omelan dan ledekan via WhatsApp,
Kenanga memintaku datang ke kostnya pada sore harinya, mau masak besar-besaran,
katanya. Sudah menjadi kebiasaannya kalau sedang udzur, hampir selalu begitu. “Rejeki
orang lapar tidak boleh dilewatkan.” Pikirku.
Sore Harinya
Terbangun gelagapan, kulirik jam di hape. “Wah, kacau. Moga saja belum habis masakan si cantik yang menyebalkan itu.” Dengan hanya mencuci muka dan pakaian yang sudah dua hari melekat di badan, saya buru-buru bergegas, memburu makanan.
Terbangun gelagapan, kulirik jam di hape. “Wah, kacau. Moga saja belum habis masakan si cantik yang menyebalkan itu.” Dengan hanya mencuci muka dan pakaian yang sudah dua hari melekat di badan, saya buru-buru bergegas, memburu makanan.
Di pintu masuk gerbang kost Kenanga, saya
berpapasan dengan Lutfi yang hendak balik ke kontrakannya. Dia sepupu Ani yang
sedikit pendiam tapi murah senyum. Dengan gayanya yang kalem dia menyapa;
“Kok
baru datang, mas? Kenanga sudah menunggu dari tadi.”
“Iya mas, keturon
(ketiduran), hehe...”
Singkat cerita, saya sudah duduk di halaman
samping kost Kenanga yang diberi tenda. Tempat itu juga berfungsi sebagai ruang
tamu bagi teman-teman juga dapat undangan atau sekedar berkunjung.
Dengan mulut yang masih penuh nasi, omelet, terong
bakar dan sambel kacang. Saya cecar dia pertanyaan-pertanyaan
terkait hafalan Alqurannya.
Tiba-tiba saja saya teringat
pada kejadian bulan puasa sebelumnya.
“Emang kamu selalu baca surah Yasin sama al-Mulk
habis maghrib, ya?” Tanyaku.
“Sudah menjadi kebiasaanku dari kecil sih,
mas. Sebelum
belajar ngaji ke si mbah, habis maghrib, Almarhum bapakku dulu mesti ngajak
baca bareng-bareng sambil benerin bacaanku yang masih kurang tepat.” Jawabnya sambil mengunyah kerupuk yang
dia ambil dari tanganku.
“Orang lagi enak-enaknya makan malah direcoki,
huuu dasar...” Omelku.
Dengan entengnya dia merespon, “biarin…”
Dengan agak tergesa-gesa kutenggak langsung
air dalam kendi tembikar karena tersendak.
Gantian Kenanga yang ngomel; “pelan-pelan napa sih, Mas!”
“Biarin…”
“Dasar...” Katanya sambil merengut.
“Eh, Nyak, (Berawal karena keseleo lidah,
‘Nga’, dari ‘Kenanga, jadi ‘Nyak’. Akhirnya malah jadi panggilan semua
teman-teman dekatnya) kamu kan hafal, kok pas bulan puasa kemarin bacanya
sambil buka aplikasi Alquran, sih?"
Tanyaku lagi.
Kenanga malah bertanya balik, “Ya, terus
kenapa, gak boleh gitu? Mau protes?”
“Orang nanya serius kok.” Kataku dengan muka
sok melas.
“Ih, jijik tau lihat muka mas kayak gitu!” Responnya
dengan ekspresi sedikit meyakinkan (bagi yang belum tahu wataknya saja sih,
hihihihi).
Kukatakan padanya, Iddiiih, mukaku menjijikkan
aja, kamu masih mau temenan sama aku, Nduk,
gimana kalau mukaku manis, klepek-klepek diabetes kamu. Ya, udah deh kalau gak
mau jawab, mungkin kamu punya alasan sendiri”.
Setelah berfikir sekian detik dan yakin kalau
saya memang benar-benar ingin tahu dan bukan cuma ngetes, ia menjawabku
singkat, dengan suara pelan seolah berbisik di telingaku. “Yang diajarkan dan
dianjurkan almarhum bapakku itu, bukan melafalkan surah Yasin dan al-Mulk habis
maghrib, mas. Tapi membacanya.
”Duh, aku kaget sekali mendengar jawabannya.
Sebegitu lurusnya dia menjalankan ajaran dan anjuran orang tuanya.”
Beberapa detik kemudian dia menambahkan, “Melafalkan
dan membaca itu dua hal yang berbeda, Mas. ‘Kan mas yang pernah bilang dulu
saat si Ani sharing tentang
masalahnya. Aku lho masih ingat, masak mas udah lupa?”
Dan, saya pun tidak mampu berkata-kata lagi! []
Riyadlus Sholihin, Pria Tampan dari Pulau Garam.
No comments:
Post a Comment