Bincang Ngalor-Ngidul Bareng Gus Shofie

Saya sedang ngajari Gus Shofie Twitteran

ADA yang tak biasa, menjelang tengah malam, tepatnya 9 Ramadan, Gus Shofie seketika datang menghampiri kerumunan—tempat di mana kita menikmati secangkir kopi di kedai. Entah dalam rangka apa Gus Shofie bertandang ke Jogja. Saya kira tak penting juga kita mengetahuinya. Biarkan kesibukan dan lelahnya ia tanggung sendiri.

Satu per satu teman-teman disalami, sambil lalu basa basi bertanya tentang kabar. Saya—yang duduk di meja berbeda—pura-pura tak mengetahui kedatangannya, saya pun tidak langsung berjabat tangan dengannya.

Beberapa menit kemudian, dengan sedikit terpaksa, saya pun berjabat tangan, menghampirinya dan kemudian menanyakan kabar tentang beliau, tentang keluarganya dan tentang adik iparnya. Eh, yang terakhir ini di luar perencanaan, sumpah keceplosan.

“Duh, kenapa pas jam segini baru datang. Padahal kopi sudah habis dan memang kita sudah berencana pulang,” saya mengilo.

Beberapa teman sudah pulang lebih dulu, memilih memanjakan tubuh di kontarakan sambil menunggu waktu sahur datang.


“Ini masih lama ‘kan ngopinya? Iyalah, saya ‘kan baru datang, kita ngopi-ngopi dulu kalau begitu,” beliau berseloroh tanpa merasa bersalah sedikit pun bahwa kedatangannya bukan pada waktu yang tepat dan jelas mengganggu.

“Siap, Gus! Santai, kita ngopinya sampai pagi terus ‘kok. Pulang, nanti langsung beli makan buat sahur. Kita ngobrol-ngobrol aja dulu,” saya terpakasa berbohong meski mata ini sudah sangat berat diajak melek.

Kemudian, Gus Shofie pun menceritakan aktivitasnya selama Ramadan bersama santri-santrinya di Menes. Tentu saja tentang keseharian beliau dengan lembaran kitab-kitab kuningnya. Sedikit pamer memang, tapi saya pun pura-pura tertarik dan semangat menyimak penjelasannya.

“Gus, kenapa pengajian kitabnya tidak disiarkan secara langsung di Facebook, Twitter atau Instagram. Ya, biar teman-teman di sini juga bisa ikutan ngaji. Lagian, kalau live ‘kan semakin banyak yang menyimak, syiar sampean juga meluas. Sekarang yang model beginian penting.  Kalau tidak, ceramah-ceramah radikal semakin merajalela di media sosial.” Saya berusaha meyakinkan bahwa ketertarikan saya bukan kebohongan.

Pada dasarnya, beliau menjelaskan, ada keinginan dari dirinya untuk menyebarluaskan pengajian kitabnya melalui siaran langsung di akun media sosial. Hanya saja restu dari ibu mertuanya tidak ia dapatkan. Apa boleh buat, daripada dibilang menantu durhaka, lebih baik ngajinya secara luring saja. Toh, semisal disiarkan secara langsung juga, berapa sih yang mau menyimaknya, eh.

Selepas itu, beliau pun bercerita banyak tentang kitab-kitab kuning tanpa harakat...


Sebuah Perbincangan
Tiba-tiba saya teringat dengan salah satu acara di stasiun televisi, tentang uztaz selebritis yang menjelaskan soal ibadah di bulan Ramadan. Dengan lantang si ustaz itu berkata—yang kira-kira bunyinya demikian; “tidurnya orang pintar (baca; ‘alim) lebih baik daripada ibadahnya orang bodoh.”

Dalil tersebut diulang beberapa kali, sepertinya si ustaz ingin memastikan bahwa dalil itu dicerna dan dipahami oleh jamaahnya yang sebagian besar ibu-ibu.

Mendengar isi ceramah semacam itu saya langsung mengelus dada. Bagaimana tidak, memberi ceramah di masyarakat itu perlu kehati-hatian, tidak bisa semua dalil gampang diucapakan. Bagi saya, tujuan ceramah--tidak lain dan tidak bukan--adalah membuat umat nyaman dengan agamanya dan perlahan mau memperbaiki kualitas ketaatan diri pada Tuhannya.

Saya tidak hendak mengatakan bahwa dalil itu salah, tidak. Namun, menurut saya, dalil semacam itu kurang tepat disampaikan dalam ceramah-ceramah terbuka—lebih-lebih di layar kaca.

Jika dalil yang disampaikan seperti itu, umat bukan malah nyaman dengan agamanya. Justru orang-orang bodoh akan pesimis dan enggan melakukan ibadah karena dalam dirinya terkonstruk bahwa “ibadahnya orang bodoh itu sia-sia”.

Ini jelas tidak baik, ceramah semacam ini akan membawa pada ketakutan beragama. Apalagi, penjelasan si ustaz tidak komprehensif tentang tanfsir dalil tersebut. Karena, bagi saya, jika hanya diterjemah saja, sangat berbahaya. Jamaah bisa salah mengartikan dan memahaminya. 


“Semestinya jenengan siaran langsung Gus ngajinya, biar umat tidak dihantui rasa takut dalam menjalani perintah agama. Pengajian dari Gus sekaliber jenengan itu penting dipublikasikan di tengah banyakya ceramah usang yang memuat ajaran agama yang menakutkan...”

Mendengar ucapan saya itu, Gus Shofie langsung menjelaskan panjang lebar soal konsep kasih sayang Allah kepada umatnya—baik di dunia maupun di akhirat. Menurut bahasanya Gus Shofie, jangan mendiskreditkan rahmat Tuhan kepada hamba-Nya.

Gus Shofie pun menjelaskan bagaimana kasih sayang Tuhan kepada hamba-Nya. Ia mengupas lafaz “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahim” dalam kalimat bismillahirramanirrahim.

Ar-Rahman memuat kasih sayang Allah kepada hamba-Nya—baik di dunia maupun di akhirat. Artinya, Allah menebar kasih sayang kepada seluruh hamba-Nya, termasuk yang tidak mengimani-Nya.

Nah, sepatutnya pula kita mengambil spirit dari pesan ini, antarsesama kita saling mengasihi, saling menghormati, termasuk kepada saudara kita yang beda agama.

Sedang Ar-Rahim adalah kasih sayang Allah yang hanya ada di akhirat saja. Nah, soal ini, Allah memiliki hak penuh kepada siapa rahmat-Nya akan diberikan. Kita pun tidak bisa mengklaim rahmat itu milik kita sehingga dengan mudah menghakimi yang yang tak sama dan mudah menuduh kafir yang tak seagama.


Ya, kita tidak pernah tahu, kepada siapa kasih sayang Allah di akhirat akan diberikan. Sebagai hamba, kita hanya bisa menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, berlomba-lomba dalam kebaikan demi mendapat rahmat-Nya—itulah yang bisa kita lakukan untuk mendapat kasih sayang-Nya kelak.

Pada intinya, tulisan yang ngalor-ngidul ini ingin menyampaikan sedikit pesan; berdakwahlah tanpa kebencian, berdalillah pada tempatnya, jangan mensdiskreditkan rahmat Tuhan, ceramah bukan untuk menakut-nakuti. Bagaimanapun, Islam itu indah dan ramah. Islam itu agama kasih sayang.

Blog ini dikelola secara pribadi, yang mau kenalan lebih jauh, sila sapa di durspasi.

No comments:

Powered by Blogger.