Belajar dari Optimismenya Filsuf Milenial

Muhammad Hilal/Filsuf Milenial Era Digital
SENYATANYA sia-sia membincang Gus Muhammad Hilal dan filsafat. Apapun alasannya, bicara filsafat beserta tetek bengeknya, kita semua paham betul kalau pria kelahiran Bumi Arema ini memang jagonya.

Ini bukan pujian, faktanya memang demikian. Misal, di dunia akademik, sekitar sepuluh tahun beliau habiskan untuk menelanjangi ilmu yang memang membuat kita mengernyitkan dahi itu. Dan, menggeluti ilmu ini, bagi beliau amat menyenangkan. Belum lagi, buku-buku yang pernah beliau telanjangi, sudah tak terhitung jumlahnya.

Justru, membicarakan beliau di luar filsafat senyatanya lebih menantang. Publik sudah sepakat, selain pakar filsafat, beliau adalah tokoh muda yang bisa dibilang multitalalenta. Beliau memang menguasai banyak hal. Sederhananya, beliau adalah aset penting yang dimiliki bangsa ini.

Namun, terlepas nyambung atau tidak; saya akan berusaha berbicara beliau dengan kapasitasnya sebagai seorang filsuf yang topcer di era digital. Paling tidak, saya mengenalkan beliau pada khalayak, bahwa jika Anda butuh rujukan soal filsafat, orang ini solusinya. Bisa dibilang, beliau adalah kamus filsafat berjalan yang ada hari ini. Bahkan, pertannyaan filsafat dan dunia digital pun pasti dijawabnya. Saya percaya kalau beliau ini tak kalah keren dari Don Ihde.

Lalu, kenapa saya ngotot mempromosikan bapak satu anak ini? Alasannya sangat sederhana, bagi saya sendiri filsafat adalah konsentrasi ilmu yang njlimet sekaligus ruwet, pembahasannya terlalu ndakik-ndakik, dan sulit dipahami penjelasannya. Namun, dari beliau, justru filsafat itu terlihat gampang dan menyenangkan, segampang Dilan mengoyak-ngoyak perasaannya Milea dengan rayuannya yang absurd itu.

Baca juga: Stephen Hawking, Fisika dan Saya

Sejauh ini, saya memang menyimak beberapa pakar filsafat yang bergentayangan di dunia maya. Terkadang mereka memang suka bermain dalam kata dan bahasa semata. Ketika membahas persoalan kesanya ngalor-ngidul. Praktis tidak ada solusi yang bisa ditawarkan, kehadirannya hanya menambah masalah baru.

durspasi
Kalian bisa saksikan bagaimana para pandit filsafat kala bicara di depan publik. Mereka cenderung benar sendiri, semua hal bisa dikritisi sampai mampus dan kala ditanya solusi kemudian bermain bahasa. Kesannya memang hanya unjuk bahwa mereka adalah orang hebat yang tak semua orang bisa mencerna ucapannya.

Lebih-lebih ketika membicarakan soal kondisi politik. Komentar ahli filsafat acap kali membuat kita pesimis akan masa depan negeri. Singkatmya, tak ada yang benar selama ini, kecuali cara berpikirnya yang sulit dipahami itu.

Baiklah, saya masih mencoba berbaik sangka, bahwa itu semua tidak benar adanya. Artinya, itu hanya pandangan subjektif saya belaka. Jika Anda sekalian tidak sepakat dengan apa yang saya sampaikan, tentu itu sah-sah saja.

Baca juga:
Karakter yang Mengagetkan
Perempuan, Jilbab dan Keimanan

Kembali ke Gus Hilal, saya menyebutnya; Jackie Chan dari Malang. Sebutan ini bukan hendak menyamakan beliau dengan aktor laga yang kental dengan humor itu. Tidak. Bagaimanapun, keduanya adalah sosok yang berbeda. Namun, semangat dan karakter keduanya memang agak mirip. Kalaupun ini dianggap penyandingan asal-asalan, saya kira memang demikian.

Saya kenal dekat dengan beliau. Bagaimana beliau mengumpat pun saya masih ingat. Di Jogja, beliau memang dikenal dengan pribadi yang low profile. Status sosialnya tak membuat beliau kaku dalam bersahabat. Terbukti, selama di Jogja, beliau tidak pernah punya musuh (nah, yang ini saya agak ragu). Tapi benar, beliau ini bisa dikatakan nyaman semeja dengan siapapun. Saya Cuma bisa berbaik sangka, ini mungkin salah satu keahlian beliau dalam mengontrol keadaan sebagai orang di balik layar, eh.

Dari beliau, kita akan mendapati bahwa filsafat itu adalah ilmu penempaan diri untuk menjadikan manusia selalu bersikap otipimis dan percaya diri dalam mengarungi hidup. Ini kesimpulan saya tentang beliau dan filsafatnya, semoga saja tidak benar.

Ya, kesimpulan itu bukan tanpa alasan, itu rangkuman saya selama mengenal beliau. Setiap berbincang dengan beliau, selalu ada dua hal yang saya dapati; (1) berpandangan ke depan, dan (2) optimismenya yang tinggi. Makanya tak heran jika beliau selalu ‘sejuk dan teduh’ saat mengomentari polemik yang ada di bangsa ini. Bagi saya, anak muda Indonesia harus berkenalan dengan filsuf milenial seperti beliau ini.


Muhammad Hilal dan Pacarnya, eh, Onthelnya.
Bagi saya, beliau adalah satu-satunya filsuf milenial di era digital (yang saya kenal) hari ini. Di mana dalam membaca keadaan, beliau tidak njlimet dan alasan yang ditawarkan pun tidak ruwet. Baik berbincang atau membaca tulisan beliau, kita akan merasakan bahwa filsafat itu tak serumit yang dibayangkan. Kalau tak percaya, silakan buktikan.

Baca juga:
Tentang Idealis yang Egois
Membaca Generasi Emas Indonesia

Terakhir, kalian bisa saksikan sendiri bagaimana hari ini warganet merespon suatu kejadian. Saya sendiri kadang jenuh, yang terjadi selalu binner; hitam-putih, benar-salah, dan lain sebagainya. Bahkan, bisa jadi karena terkontaminasi percakapan di dunia maya, kita akan kehilangan semangat untuk meraih masa depan, menunaikan cita-cita kemerdekaan.

Faktanya memang demikian, dunia maya telah mengubah mindset masyarakat kita, tak terkecuali kelompok pemuda. Ya, tak sedikit akhirnya kelompok pemuda memilih menjadi silent majority dalam setiap permasalahan. Padahal, pilihan itu sama sekali tidak tepat – jika untuk mengatakan tidak benar terlalu berlebihan.

Ya, apa pun alasannya, pesimis dan apatis bukan cerminan seorang pemuda. Sekeruh apa pun sungainya, pemuda harus siap dan berani mengayuh gayung agar perahu yang ditumpanginya tidak terbalik. Saya kira ini harus menjadi prinsip.

Sebagai penutup, saya akan mengutip kata-kata beliau yang luar biasa. Dan, kata-kata inilah yang menjadi alasan kenapa saya menulis catatan ini. Lebih-lebih hari ini, di mana kecamuk perang di dunia maya sudah memasuki level yang ‘memuakkan’.

Katanya: Anak muda sedang menggeliat hebat. Mereka mendobrak, naik panggung dengan kepercayaan diri besar. Generasi lama peninggalan Orba harus merelakan posisinya ke tangan mereka. Tetap bertahan sia-sia belaka. Masa depan Indonesia Insyaallah baik-naik saja.

Baca juga: Gus Zaki dan Kisahnya yang Terkoyak

Membaca tulisan beliau ini dada saya langsung berdecak hebat. Seketika itu pula saya tidak percaya dengan pidato ketua umum partai berlambang Garuda yang mengatakan, bahwa Indonesia akan bubar pada tahun 2030. Tidak, sekali lagi saya katakan; sama sekali saya tidak percaya dengan pidato yang katanya merujuk pada novel Ghost Fleet karya P.W Singer dan August Cole itu. Apapun rujukannya, saya tetap tidak percaya.

Bagi saya, tahun 2030, Indonesia akan menjadi kekuatan sosial-ekonomi di dunia bersamaan dengan meledaknya bonus demografi. Di tahun 2030, justru anak-anak muda Indonesia akan tampil menunaikan cita-cita kemerdekaan. Kita tunggu ramalan siapa yang benar; saya yang dari desa atau dia yang hobi berkuda. []

No comments:

Powered by Blogger.