Sanksi FIFA Bukanlah Ancaman

KEPUTUSAN Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi tidak mencabut surat pembekuan PSSI dijadikan sebagai alasan atas keluarnya sanksi Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) terhadap Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari empat persyaratan FIFA yang harus dipenuhi Indonesia agar sanksi FIFA bisa dicabut. FIFA menganggap pemerintah Indonesia terlalu mencampuri sepak bola.

Surat yang ditandangi oleh sekretaris FIFA Jerome Valcke itu berisikan empat pesyaratan: pertama, exco PSSI kembali mengatur sepak bola Indonesia secara independen tanpa adanya campur tangan dari pihak lain, termasuk kementrian dan agennya. Kedua, pengelolaan tim nasional diberikan kepada PSSI. Ketiga, tanggung jawab seluruh kompetisi PSSI diberikan kepada otoritas PSSI dan bidang-bidang di bawahnya. Keempat, seluruh klub yang diberi lisensi PSSI sesuai dengan Peraturan Lisensi Klub PSSI harus bisa bertanding di kompetisi PSSI.

Sederhananya, FIFA mau melepas sanksinya terhadap PSSI jika seluruh persoalan sepak bola ditangani secara penuh oleh PSSI, sedikitpun negara tidak boleh ikut campur. Dari sini sudah jelas bahwa sanksi FIFA dikeluarkan bukan untuk kemajuan sepak bola Indonesia. Akan tetapi, sanksi itu dibuat guna memuluskan populasi mafia bola yang sudah lama berkuasa.

Tentunya, melihat kejadian ini kita harus menilainya secara objektif. Keegoan kelompok tidak bisa dijadikan alasan kita mengambil sikap atas kekisruhan sepak bola hari ini. Sejauh penulis ketahui, beberapa media hari ini sangat subyektif menilai permasalahan yang ada. Akhirnya, serangan terhadap Menpora datang tanpa ada jeda. Tanpa mau tahu niat baik Menpora untuk membenahi sepak bola kita.

Argumentasi yang digunakan adalah nasib para pemain kita, nasib Tim Nasional (Timnas) yang akan melaksanakan laga dikancah internasional, nasib pelatih, nasib wasit dan lain sebagainya. Dampak itu dianggap terjadi karena Menpora telah melakukan langkah yang salah. Ya, seakan-akan sepak bola adalah persoalan bermain dan bertanding semata.

Menganggap PSSI sebagai Tuhan dalam sepak bola Indonesia membuat hal buruk yang ada di dalamnya tidak tersampaikan. Seperti pribahasa, gajah dipelupuk mata tidak tampak, semut di seberang lautan tampak. Kejelekan yang ada pada Menpora diekspos sedemikian rupa, sedangkan kejelekan PSSI ditutupi dengan ragam alibi.

Kalau kita mau objektif melihat permasalahan sepak bola dan berpikir positif sebagai pecinta sepak bola, menurut penulis ada beberapa pertanyaan yang patut diajukan. Diantaranya; kenapa jatah pemain Persipura (Jayapura) di skuad Timnas sangat minim, padahal secara kemampuan bermain kita semua sudah bisa melihatnya di layar kaca.

Kita tidak pernah mempertanyakan kenapa Persik (Kediri) dicoret, sedangkan Persija (Jakarta) tetap bisa ikut kompetisi. Padahal utang gaji pemain Persija yang belum terbayar jauh lebih besar daripada Persik. Kenapa kita tidak pernah mempertanyakan persoalan pemain yang tidak benar dibayar bahkan sampai ada yang meninggal.

Kenapa pula kita tidak mempertanyakan pergantian nama liga dari Inonesia Super Liga (ISL) menjadi Qatar Nasioanal Bank (QNB). Tanpa ada proses yang jelas, bahkan dengan hitungan jam sponsor utama itu harus menghapus nama liga yang sudah menjadi kebanggaan kita.

Kenapa saat pemilihan ketua umum akan dimulai pada Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI di Surabaya semua calon memundurkan diri, kecuali La Nyala Mattaliti. Kenapa untuk menjadi juara AFF saja Timnas Indonesia begitu kesulitan. Posisi runner up selalu menjadi capaian prestasi tertinggi.

Anehnya, permainan yang ditampilkan para punggawa Garuda jauh berbeda dengan penampilan di fase group. Hal yang paling mungkin diingat, saat Garuda Muda dipermalukan Harimau Malaya di puncak piala AFF. Kemenangan telak atas Malaysia dengan sajian permainan apik tiba-tiba saja hilang di laga pamungkas tersebut. Pernahkah kita mempertanyakan kenapa itu semua bisa terjadi?

Tentunya masih banyak pertanyaan-pertanyaan atas kejadian aneh di sepak bola kita. Masih ada pengaturan skor, hak siar televisi, korupsi, suap dan lain sebagainya. Yang tidak mungkin penulis sebut satu persatu.

Keobjektifan melihat masalah pelik yang terjadi menjadi hal penting untuk dilakukan. Penulis menilai langkah Menpora untuk membenahi tata kelola sepak bola agar baik dan transparan patut mendapat dukungan. Sudah terlalu lama kita menyaksikan sepak bola dalam bingkai kebohongan. Semuanya bisa diprediksi sesuai dengan kemauan para mafia-mafia yang berada dalam lingkar kekuasaan.

Untuk itu, sanksi FIFA bukanlah suatu ancaman bagi sepak bola Indonesia. Jika kita mau serius membenahi tata kelola sepak bola, baik dalam hal organisasi, sistem dan managemennya, sanksi FIFA adalah momentum untuk melakukan pembenahan secara total tentang kebobbrokan sepak bola kita. Artinya, dengan terciptanya tata kelola sepak bola yang bersih dan sehat serta PSSI yang transparan, perlahan sepak bola Indonesia akan mengukir prestasi.

Bagaimanapun juga, sepak bola bukanlah tontonan yang sekedar menghibur para penggila bola. Akan tetapi, sepak bola hari ini mampu menjadi identitas kebangsaan negaranya. Bahkan di beberapa negara sepak bola telah menjadi bagian dari tradisi dalam masyaraktanya. Membenahi sudah tidak bisa ditawar lagi. PSSI harus berani membuka diri. Karena sepak bola bukan milik segelintir elite PSSI. Sepak bola milik semua yang ada di negeri ini. Tanpa terkecuali. []

No comments:

Powered by Blogger.