Memupuk Pluralisme, Meredam Radikalisme

Memupuk Pluralisme, Meredam Radikalisme

INDONESIA sebagai negara masyarakat majemuk adalah kenyataan sejarah yang tidak bisa dipungkiri. Di sisi lain, Indonesia merupakan negara yang prosentase pemeluk Islamnya palimg besar. Wajar, jika setiap radikalisme yang terjadi selalu dikaitkan dengan keduanya. Lahirnya Pancasila adalah jawaban nyata dari keduanya. Sebagai falsafah bangsa, Pancasila merupakan legitimasi bahwa Indonesia lahir dari sebuah bangsa yang tingkat pluralitasnya sangat tinggi.

Dalam masyarakat yang relatif homogen pun konflik merupakan hal yang manusiawi dan sering terjadi. Bagaimapun, setiap individu maupun kelompok satu dengan yang lain memiliki tujuan dan kepentingan hidup yang berbeda. Apalagi di negara yang heterogen dalam segi budaya, etnis, bahasa, serta dalam hal keyakinan Indonesia dihuni oleh para pemeluk agama yang berbeda-beda. Sudah tentu perbedaan menjadi suatu yang niscaya dalam interaksi kehidupan.

Disadari atau tidak, perbedaan yang ada akan berpotensi pada perselisihan dan berbuntut pada gerakan-gerakan radikalisme. Dalam lingkup bangsa Indonesia, aksi radikalisme selalu disandingkan dengan agama. Meski pada kenyataannya gerakan radikalisme yang dilakukan hanya menempatkan agama sebagai kedok untuk memuluskan tujuannya.

Pada dekade terakhir, radikalisme di Indonesia bak jamur di musim hujan. Radikalisme menemukan kenyamanan dalam melakukan gerakan-gerakan teror yang keluar dari nilai-nilai kemanusian. Merasa paling benar dan menganggap yang lain salah merupakan titik keyakinan kekerasan itu dilakukan. Jelas, perlakuan itu bertentangan dengan negara Pancasila sebagaimana kita pahami. Ideologi yang berasal dari kompleks nilai yang telah mengakar dan menjadi spirit kehidupan manusia-manusia serta berasal dari suku bangsa yang berbeda-beda.

Menghargai pluralisme adalah upaya untuk meredam radikalisme. Perbedaan yang ada tidak selalu untuk dipertentangkan. Akan tetapi, perbedaan harus mampu menjadi sebuah kekuatan. Dengan artian, kenyataan pluralitas merupakan suatu kekayaan yang tak ternilai; kekayaan yang harus dipertahankan dan dilestarikan demi terciptanya keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Untuk itu, toleransi di Indonesia ini harus diperjuangkan tanpa memandang perbedaan.

Dalam hal keyakinan, turunnya Islam dan semua agama harus dimaknai untuk memuliakan manusia sebagai wakil Tuhan di bumi. Ini merupakan ajaran inti agama-agama, meskipun secara tekstual dan ritual setiap agama memiliki simbol sendiri-sendiri. Artinya, setiap agama-agama memiliki nilai universal yang bersifat fundamental. Di mana kita bisa menggalinya melalui dialog dan proses saling memberi-menerima (take and give).

Pluralisme pertama-tama dimulai dari kesadaran tentang pentingnya perbedaan dan keragaman. Sebab perbedaan merupakan fitrah yang harus dirayakan dan dirangkai menjadi kekuatan untuk membangun harmoni di dalam kehidupan sosial. Adapun anggapan bahwa pluralisme akan menjadi sinkretisme merupakan pandangan yang cenderung mengada-ada. Kenyataannya, pluralisme dan sinkretisme sangat tidak identik.


Oleh karenanya, radikalisme akan semakin lantang dan sulit diredam jika perbedaan tidak disikapi sebagai kekuatan. Kejadian teror di ibu kota Prancis, Paris merupakan bukti terbaru yang mengancam nilai kemanusiaan. Bahwa, teror itu dilakukan karena mereka belum dewasa menyikapi perbedaan sebagai rahmat Tuhan.

Jika kemanusiaan kita letakkan pada pondasi dasar kehidupan, maka perbedaan adalah modal besar untuk mewujudkan perdamaian. Karena meredam radikalisme tanpa menghargai perbedaan, hanya akan memperpanjang jumlah kekerasaan. Untuk itu, pluralisme selalu mengedepankan dialog dan duduk bersama dalam menyikapi setiap persoalan. [] 

No comments:

Powered by Blogger.