Sekolah Darurat Kekerasan

Ilustrasi Gambar, Merdeka
SEKOLAH masih belum sepenuhnya mampu menjamin keamanan dan kenyamanan siswa. Kekerasan yang terjadi kepada siswa terdengar silih berganti, bak jamur di musim hujan. Kabar terakhir yang menjadi pukulan telak adalah tindak kekerasan yang dilakukan R kepada A, teman sekolahnya. Kekerasan tersebut hingga merenggut nyawa A, siswa kelas 2 Sekolah Dasar Negeri (SDN) 07 Pagi Kebayoran Lama, Jakarta Selatan (18/09/2015).

Tentunya, kasus ini harus mampu menjadi evalusi besar bangsa ini, khusunya dunia pendidikan. Agenda besar pencegahan kekerasan terhadap anak di sekolah harus disikapi secara serius. Bagaimanapun juga, sekolah adalah tempat belajar siswa menimba ilmu pengetahuan. Bukan tempat yang selalu menampilkan sekian bentuk kekerasaan. Karena ini jelas bertentangan dengan cita-cita luhur pendidikan.

Kekerasan anak seakan tak pernah terselesaikan. Kasus demi kasus datang bergiliran. Jika benar yang semacam ini sudah menjadi kebiasaan. Berarti bangsa ini sudah mengalami kemunduran peradaban. Tentu yang semacam ini tidak kita inginkan. Apalagi dunia pendidikan menjadi tolok ukur suatu bangsa untuk menggapai masa depan.

Fakta mencengangkan tentang kekerasan anak dikeluarkan oleh LSM Plan Internatioal dan International Center for Reseach on Women (ICRW). Riset yang dirilis pada awal Maret 2015 itu menyebutkan 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Dilakukan di 5 negara ASIA, angka kekerasan di Indonesia lebih tinggi dari Vietnam, Kamboja, Nepal, dan Pakistan. Tren kekerasan anak pada 4 negara tersebut hanya mencapai angka 70%. Jauh lebih kecil dibangdingkan kekerasan yang terjadi di negara ini.

Selanjutnya, data dari Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk Anak (Unicef) menyebutkan, 1 dari 3 anak perempuan dan 1 dari 4 anak laki-laki di Indonesia mengalami kekerasan. Sungguh, sajian data yang meresahkan. Kekerasan terhadap anak di lembaga pendidikan tak berbanding lurus dengan sekian sistem yang dicanangkan. Sekolah masih belum aman.

Lantas, jika fakta yang ada seperti itu. Pertanyaannya, siapa yang bertanggungjawab atas semua ini? Tentu ini menjadi tanggungjawab semua pihak terkait. Baik orang tua, guru, pemerintah dan juga masyarakat umum. Semua elemen ini sudah seharusnya lebih sadar akan kekerasan yang terjadi terhadap anak-anak.

Secara aturan, pemerintah sudah mempunyai sekian perangkat perundang-undangan persoalan perlindungan kekerasan terhadap anak. Seperti UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti-Kejahatan Seksual Terhadap Anak, dan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dari segebuk aturan itu mempunyai turunan yang akan menjadi rujukan bagi guru di sekolah, orang tua di rumah dan masyarakat umum di lingkungannya. Faktanya, angka kekerasan terhadap anak bukan menurun, akan tetapi semakin menghawatirkan. Lalu, apa yang salah dari bangsa ini? Hingga kekerasan terhadap anak begitu sulitnya untuk diatasi.

Perlunya Memahami Peran

Bangsa ini sudah cukup ideal dengan segala aturan yang disediakan. Persoalannya adalah orangnya tidak mampu memahami perannya masing-masing. Inilah sebenarnya substansi Revolusi Mental yang mungkin hari ini telah dilupakan karena pemangku negeri tidak berada pada satu pemahaman.

Jika semua pihak terkait memahami perannya dan mengaplikasikan sesuai dengan aturan yang ada. Niscaya angka kekerasan terhadap anak dengan sendirinya akan menurun. Artinya, seorang guru tugasnya adalah mendidik bukan memukul, membentak apalagi sampai meyiksa dan menganiaya siswanya. Begitupun juga orang tua, pemerintah dan masyarakat umum punya tugas sesuai perannya di lingkungan masing-masing.

Menghadapi masalah kekerasan yang kian mengkhawatirkan tidak cukup dengan forum perdebatan, tidak. Apalagi satu sama lain lebih cenderung menyalahkan. Bangsa ini sudah capek mendengarkan alasan-alasan. Alasan yang hanya menambah kekecewaan karena tak mampu menyelesaikan persoalan. Yang dibutuhkan adalah kesadaran dan kesepahaman akan peran masing-masing pihak. Persoalan ini harus segera diselesaikan.

Jika Revolusi Mental menjadi agenda besar pemerintahan hari ini. Sudah saatnya semua pihak terkait berjalan beriringan. Karena substansi Revolusi Mental bukan aturannya tapi orangnya. Masihkah pihak terkait merasa nyaman di meja perdebatan, sedangkan sekolah sudah darurat kekerasan. []

No comments:

Powered by Blogger.