Belajar Menghargai

durspasi
HARI ini, Sabtu 17 Oktober 2015 menjelang sore, saya dipaksa menuliskan sebuah catatan. Catatan yang sebenarnya tidak begitu penting dituangkan dalam tulisan. Tapi, ya inilah catatan saya hari ini, semoga mampu memberikan sesuatu yang berarti kepada siapa pun yang sempat membacanya, entah sengaja atau tidak.

Tidak seperti kewajaran yang ada, hari Sabtu saya harus berurusan dengan hiruk pikuk perkuliahan. Bahkan di hari Sabtu, masih ada dua mata kuliah yang harus saya ikuti. Banyak yang bertanya, kenapa Sabtu ada kuliah, padahal kan weekend. Ah, nggak penting pertanyaan itu untuk saya tanggapi. Bahkan, hari Minggu juga nggak persoalan, hanya jadwal kuliah saja kenapa musti begitu dipertentangkan.

Memasuki jam kuliah yang ke-2, saya asyik ngobrol sama teman di depan kelas (ruang 406, lantai 4). Cukup lama saya berbincang sambil tertawa terpingkal-pingkal. Saking lamanya, saya kira kuliahnya kosong. Karena saya lihat, ruangannya masih terkunci dan tidak melihat tanda-tanda akan masuk. Seketika itu pun saya berpikiran untuk cabut dan menyusul teman-teman yang sudah asyik bercengkerama di salah satu warung kopi. Menyambut senja dengan harapan yang belum pasti.

Belum mendapat balasan atas pesan yang saya kirimkan, terdengar suara gaduh teman-teman sedang keluar dari ruang sebelah. Dan ternyata, kuliah yang hendak saya ikuti telah selesai. Ruangannya diganti dan jadwalnya dimajukan. Wah, ketinggalan info ternyata. Lebih tepatnya, saya lupa dikasih info oleh teman yang telah diberi mandat untuk menyebarkan informasi bahwa perkuliahan dimajukan dan ganti ruangan. Karena saya benar-benar tidak tahu kalau perkuliahan jamnya diganti. Tak ada satu kabar pun yang saya terima.

Keberuntungan menghampiri saya, presensi kuliahnya ternyata dibawa teman-teman. Jadi, saya masih bisa membubuhkan tanda tangan sebagai bukti bahwa saya mengikuti proses perkuliahan. Lumayan, setidaknya hari ini saya tercatat tidak absen, meskipun saya tidak mengikuti jalannya perkuliahan.

Bagi saya, yang terpenting presensi kuliah tidak merah, tapi tetap berwarna hitam alias masih aman. Dan saya masih bisa mengikuti perkuliahan di minggu depan, serta bisa mengikuti ujian dengan nilai yang memuaskan.

Kembali ke persoalan teman di warung kopi tadi. Kini dia sudah membalas pesan yang saya layangkan. Dengan singkat saya sampaikan, bahwa saya segera menyusul lalu menikmati kopi bersama-sama. Tanpa pikir panjang, segera saya melaju menuju warung kopi yang letaknya tidak begitu jauh dari kampus.

Tidak sampai sepuluh menit, saya sudah berada di lokasi. Tanpa basa-basi, saya gelar tikar yang sudah tersedia meski tidak begitu rapi. Lalu mengambil tempat duduk yang enak sambil menunggu pesanan sampai datang tersaji. Hal semacam ini merupakan ciri khas warung kopi. Dimana, para pelanggannya sebagian besar dari kalangan mahasiswa yang keuangannya pas-pasan. Wajar, jika tempat dan pelayanannya sangat sederhana. Tapi soal rasa, silahkan dinikmati sendiri dan rasakan aroma khasnya.

Baiklah, tanpa ada pengantar yang pasti obrolan hendak dibawa kemana. Obrolan yang terjadi mengalir dengan sendirinya. Bahkan, seketika saja saling intrik satu sama lain menjadi pembicaraan hangat disetiap seruputan kopi dan kepulan asap rokok. Entah apa yang membuat saya tertarik untuk mengambil alih obrolan, saya hanya berpikir bahwa intrikan ini berada di bawah kendali saya. Dengan saya memulainya, maka saya leluasa menghajar habis-habisan orang yang selama ini jail tanpa ampun kepada saya.

Saya mulai melancarkan serangan dengan membuat berita bohong, mencoba membawa forum pada satu pembahasan. Sehingga, apa yang nantinya akan diobrolkan tidak lepas dari tema yang saya tawarkan. Praktis, provokasi awal itu mampu membuat forum tertuju pada satu isu yang sengaja saya buat-buat. Senang rasanya bisa ngejailin orang yang selama ini selalu jail pada saya tanpa mengenal waktu dan tempat.

Pernah suatu saat, saya benar-benar ingin marah karena jail yang dilancarkan pada saya sangat keterlaluan. Tapi, saya berpikir bahwa niat teman-teman hanyalah bercanda. So, aku urungkan untuk merasa sakit hati meskipun apa yang disampaikan benar-benar menjengkelkan. Sudahlah, mereka kan bercanda, saya tak perlu menanggapinya dengan sebegitu seriusnya.

Ketika kopi di cangkir sudah mulai turun, saya lupa sudah berapa kali menyeruputnya, kenikmatannyalah yang membuat saya lupa. Yang jelas, kopinya sudah lebih dari separo sudah saya seruput. Seketika itu teman saya emosinya naik, yang jelas bukan pengaruh kopi tapi karena isu yang saya buat tadi.

Tiba-tiba dia marah, dan begitu jelas menyampaikan ketidaksukaannya akan semua kejailan yang saya tujukan kepadanya. Namun, kemarahannya itu saya tanggapi dengan senyuman datar.

Sepertinya, dia masih terbawa emosi, saya lihat pembicaraannya sudah masuk pada tingkat tinggi. Hal itu diperkuat akan mimik wajah yang ditampakkannya. Sungguh, ekspresi yang sangat tidak sedap dipandang. Bahkan, anak kecil akan menangis ketakutan jika melihatnya.

Rupanya, dia mulai berbicara persoalan komitmen yang dibangunnya, konsistensi akan dirinya, bahkan track record yang telah dilaluinya. Dia berbicara tentang semua yang melekat baik pada dirinya. Kejailan yang saya buat dianggap mampu meruntuhkan pamor atau image yang telah ditata sekian lama.

Dalam hati saya berkata, "Memangnya cuman kamu aja, semua orang sama. Jadi, cara bicaramu juga harus dijaga. Jangan asal keluar begitu saja." Sengaja tidak saya sampaikan kata ini, karena saya lebih menghargai keakraban yang sudah terjalin. Karena, besar kemungkinan jika kata ini didengarnya, maka hubungan yang sudah ada akan berubah. Dan saya tidak ingin hal itu terjadi.

Dia masih melanjutkan penjelasannya, sepertinya dia masih belum puas meluapkan kemangkelannya karena kejailan yang saya lakukan. Kalau dalam riset, data yang ia sampaikan adalah hasil dari penelitian kuantitatif, rigid sekali. Tapi ingat, sangat subjektif sekali, kalau bualan terlalu buruk untuk saya sematkan. Mungkin data yang dia dapatkan bukan dari wawancara langsung, tetapi sodoran kertas pertanyaan yang dititipkan.

Tetap pada tanggapan awal, saya lemparkan senyuman sebagai jawaban atas penjelasannya. Saya hanya ingin memberi pelajaran, bahwa apa yang dia rasakan jauh lebih dulu saya rasakan. Apa yang membuat dia emosi, saya lebih dulu mengalami. Dan hal yang tidak dia suka, terjadi pada saya.

Selanjutnya, dia masih meneruskan protesnya dengan sekian dalih yang menurutnya benar, tapi ingat, tidak untuk saya. Saya lewati saja, setidaknya saya sudah tahu bagaimana sifat dia sebenarnya. Dan saya mengerti, api tidak akan pernah padam jika yang kita siramkan adalah bahan bakar. Biarkan saja, biar air hujan turun dan memadamkannya.

Dari kejadian singkat dan penuh tawa itu, setidaknya ada beberapa pelajaran yang bisa diambil, khusunya bagi saya pribadi. Pertama, jangan jail pada orang lain, jika dirimu marah tatkala dijailin oleh orang. Kedua, jangan membicarakan privasi orang lain, sedangkan dirimu sendiri sangat sensi ketika privasinya diperbincangkan. Ketiga, apa yang menurutmu tidak etis, begitu juga bagi orang lain. Terakhir, jangan bercanda jika mulutmu sulit diajak tertawa.

Kesimpulannya, perlakukan orang lain sebagaimana mestinya, seperti yang telah kamu lakukan pada dirimu sendiri. Jika jarum yang ditusukkan pada kulitmu terasa sakit, terasa sakit pula jika jarum itu kamu tusukkan pada kulit orang. Jika kamu merasa panas dekat dengan api, begitu pula orang lain.

Terakhir, salamatul insan fi hifdil lisan. Mari sama-sama menjaga lisan dalam setiap kata yang kita ucapkan. Jangan sampai apa yang kita ucapkan membuat sakit orang lain, karena itu akan selalu dikenang.

Pepatah pernah bilang, orang hebat itu adalah orang yang mampu menaklukkan dirinya sendiri. Artinya, jika emosi masih dominan dalam diri seseorang. Maka, orang itu masih belum mampu mengalahkan kecongkakan yang bercokol pada dirinya. Sebagai makhluk Tuhan yang dipercaya sebagai Khalifah di atas bumi, orang tersebut masih amatiran. Karena orang yang tidak bisa mengendalikan emosinya, berarti orang itu masih belum mencapai titik sempurna kenapa menyandang identitas insan.

Akhir kata, hanya menyampaikan apa terjadi bukan niat untuk menggurui. Selebihnya, wallahu 'alam, kebenaran hakiki hanya milik Sang Ilahi. []



No comments:

Powered by Blogger.