Menyoal Dakwah Televisi


SETELAH bertatap dengan layar komputer sampai pagi, seingat saya jam 04.17 WIB komputer sudah benar-benar tidak bisa digunakan lagi. Saya memutuskan untuk memanjakan tubuh, mencoba memejamkan mata. Kerena saat itu, data yang hendak saya masukkan lupa disediakan. Mau tidak mau, saya harus melanjutkan setelah saya selesai istirahat. Lagi pula, buku yang saya butuhkan masih dipinjam teman.

Ternyata, kedua mata ini sulit diajak terpejam. Hingga azan subuh terdengar di telinga, saya masih membuka kedua mata sambil menatap langit-langit kontrakan. Lalu, saya menyalakan televisi, siapa tahu ada tayangan menarik yang bisa saya saksikan, pikir saya saat itu.

Lagi-lagi, tayangan televisi yang ada sangat memuakkan. Tak ada hasrat sedikit pun untuk melanjutkan. Tayangan yang disajikan membuat permasalahan tak kunjung usai, malah menjadi permasalahan baru.

Ya, menyaksikan tayangan yang ada. Satu hal ingin saya sampaikan, bahwa tayangan televisi yang ada benar-benar membosankan. Sensasional, begitu saya menyimpulkan. Dengan memakai baju koko dan peci desain terbaru. Ustadz dan Ustadzah (katanya orang menyebutnya, saya tidak) menyampaikan sekian persoalan agama, yang menurut saya tidak penting.

Jelas dan terang, dakwah yang disampaikan hanyalah demi kepentingan pasar. Agama dijual dengan sekian tampilan yang dihadirkan. Ya, itulah realita agama televisi hari ini, mazhab baru yang mencoba mereduksi makna agama sebenarnya.

Tentunya, tidak butuh persyaratan banyak untuk menjadi pendakwah di televisi. Sepertinya cukup, bisa mengolah bahasa, punya kecakapan, berlagak sok islamis dan sedikit menampakkan ciri lebay, persoalan paham agama atau tidak itu nomor sekian. Yang penting keberadaannya mampu menjual tayangan melalui dakwah keagamaan. Dan tak lupa menghasilkan uang, karena ini mungkin yang utama.

Lihat saja, persoalan remeh temeh yang sudah selesai dalam agama masih dipertentangkan. Dan persoalannya itu-itu saja. Disajikan dengan konsep tanya-jawab, seakan pertanyaan dan jawaban sudah terkomunikasikan sebelumnya. Bahkan beberapa jawaban terlihat ngawur tanpa landasan. Jelas, apa yang disampaikan hanya akan membuat makna agama yang ada tereduksi seketika.

Ironisnya, popularitas yang dimiliki dijadikan alat untuk berselingkuh dengan korporasi. Akhirnya, beberapa produk iklan menggunakan jasa para dakwahtainment untuk memasarkan produknya. Mulai dari helm, larutan penyegar, minuman penyemangat, makanan ringan, kartu HP, obat-obatan dan lain sebagainya. Secara tidak langsung, para jama'ahnya dijadikan objek untuk menggunakan produk iklan yang dibintanginya. Tentunya, kepercayaan para jama'ah, akhirnya digunakan untuk memperkaya dirinya.

Diakui atau tidak, dakwah yang menjengkelkan ini begitu digemari di negara ini. Alasannya sederhana, penampilan dan gaya penyampaian biasanya lebih dominan. Tanpa mempertimbangkan sedalam apa ilmu yang dimilikinya. Bahkan bermodal jenggot saja sudah dirasa berhak menjadi pendakwah. Tak heran, jika apa yang melekat dari mereka ditiru oleh para jama'ahnya (lebih tepat, penggemarnya), mulai dari pakaian yang dikenakannya hingga cara berbicaranya.

Berbeda dengan tradisi dakwah yang dilakukan para kiai, rujukannya jelas dengan sekian referensi. Semisal, untuk menjawab salah satu kasus, kiai selalu menjabarkan dari kitab-kitab yang ada. Menyampaikan sekian pendapat dari imam-imam yang membahasnya.

Akhirnya, jawaban yang diberikan benar-benar penuh pertimbangan bukan asal-asalan semata. Tidak seperti dakwahtainment, merujuk pada google dan terkadang pendapat yang disampaikan tidak jelas merujuk pada siapa serta diambil dari kitab apa. Benar-benar instan pemahaman agama yang disampaikannya.

"Ah, menjenuhkan sekali tayangan ini." Saya sampaikan kejengkelan dalam hati. Tanpa pertimbangan, saya pencet tombol merah yang berada di atas pojok kanan remote berwarna putih kusam itu. Lalu saya putuskan untuk memaksakan kedua mataku terpejam, meski itu sulit kulakukan.

Entah kapan, saya bisa memejamkan mata dan merasakan lelapnya tidur serta lepas dari tayangan menjengkelkan dengan mengatasnamakan agama itu. Yang jelas, saat mata saya terbuka saya sudah menyaksikan matahari begitu ceria memancarkan sinarnya. Tanpa keluh kesah, matahari itu semakin memancarkan sinarnya.

Sayapun beranjak menuju kamar mandi, lalu mengagendakan jadwal ngopi sambil meluangkan waktu membuat catatan ini. []

No comments:

Powered by Blogger.