Dia, Takdir Itu

durspasi
MULA-mula aku ingin katakan, bahwa dalam setiap tulisan ini sengaja kuselipkan sebongkah senyuman - tanpa sedikit pun ada paksaan. Sebagaimana kau hadir untuk pertama kalinya, hingga menyisakan satu bekas yang memaksa aku untuk terus mengenang, senyuman.

Bersamaan dengan matahari yang berbaring di ufuk, aku rangkai kata demi kata untuk mengingat kejadian lama. Kejadian yang mungkin sudah kau lupa, tapi tidak bagiku. Kejadian itu adalah kenangan yang selamanya akan membekas. Selebat apapun hujan turun, takkan mampu menghapusnya.

Kala itu, tepat saat purnama menampakkan keindahannya. Senyuman itu kau lempar dengan begitu tajam. Aku terkapar, tak ada sedikit pun kekuatan untuk membalas hujamanmu itu. Kalau kau tak percaya, kau bisa melihatnya sendiri. Sampai saat ini, luka itu masih menyisakan bekas. Entah sudah berapa banyak obat yang telah kutenggak. Tapi, tetap saja luka itu masih membekas. Kau boleh tak percaya.

Kata teman-teman, aku adalah orang yang mudah mengingat masa lalu. Kujawab, iya. Apalagi mengingat tentang dirimu. Bagiku ini cara aku menghormati sosok sepertimu. Karena aku tak ingin rasa ini luntur, hanya karena kau bukan takdirku.

Takdir tak segampang itu hadir dalam kehidupan. Karena takdir datang sebagai jawaban atas usaha manusia yang panjang. Ya, bagiku takdir adalah hasil dari sebuah jerih payah panjang. Jika manusia ingin menemui takdirnya, maka ia harus berusaha dengan segenap caranya. Hingga usaha itu akan berkata, "inilah takdir hidupmu".

Begitu diriku diajarakan oleh keluargaku dalam memaknai takdir. Karenanya, apa yang aku lakukan kali ini belumlah seberapa. Memperjuangkan orang sepertimu, tak cukup dengan usaha beserta rangkaian kata. Kau adalah mutiara di tengah lautan. Banyak yang menginginkan, namun tak banyak yang berani untuk menyelaminya. Karena manusia lebih memilih mengubah keinginannya. Kala kematian menjadi pilihan dalam perjalanannya.

Perlu kau tahu, aku bukan tipe manusia macam itu. Aku pun bukan manusia yang selalu berdamai dengan penyesalan. Tidak, sekali lagi aku katakan, tidak. Aku adalah manusia yang suka dengan tantangan, termasuk kematian yang okeh kebanyakan orang itu adalah takdir yang sudah ditetapkan Tuhan. Untuk apa kematian ditakuti. Bukankah manusia hidup itu hanyalah jalan menuju kematian.

Mungkin, kau akan bilang aku adalah orang yang keras kepala. Orang yang tak mau menerima kehendak Tuhannya. Kau boleh berkata seperti itu atas apa yang telah kulakukan untukmu.

Kali ini aku ingin bertanya padamu, sejak kapan Tuhan membeberkan kehendaknya. Bukankah itu adalah anggapan manusia saja. Itu hanyalah anggapanmu semata, agar aku berhenti memperjuangkanmu supaya halal dihadapan-Nya.

"Maaf, aku bukan takdirmu." Kertas putih panjang itu hanya kau isi dengan tulisan pendek dan mendebarkan itu.

Pelan-pelan kubaca tulisan itu, kuulangi hingga berpuluh-puluh kali. Aku masih belum yakin kalau tulisan itu benar tanganmu yang merangkai. Aku masih belum percaya bahwa kau akan mengirim tulisan itu padaku, sebagaimana kau tulis pada amplop cokelat itu.

Entah berapa purnama telah kuhabiskan hanya untuk memaknai surat darimu itu. Keseharianku kian tak jelas, pekerjaanku hanya memaksa diri ini agar tak percaya bahwa surat itu darimu, dan memang untukku.

Hingga suatu ketika aku mulai menyadarinya, setalah dirimu datang kehadapanku. Dengat sorot mata tajam dan meyakinkan, kau berkata sebagaimana isi surat itu. Kuhela nafas panjang. Aku mulai merasa begitu dekat dengan Tuhan. Sepertinya aku sudah sangat dekat dengan kematian. Ya, kali ini aku telah menjumpai yang namanya takdir Tuhan.

Dengan berat hati, takdir itu pun berbisik lirih di telingaku. Ia pun berkata, aku sudah bersamamu sekarang. Dan, air mataku yang menjawabnya. []

No comments:

Powered by Blogger.