Tim Garuda Mengulang Kekalahan
Sedang
Muhaimin Iskandar yang akrab dengan panggilan Cak Imin mengajarkan kita bahwa
sepak bola menjadi ruang belajar dalam kehidupan. Bahkan, menurut Cak Imin,
kaderisasi parpol bisa meniru sistem kaderisasi sepak bola. Dahsyatnya lagi,
sepak bola mampu menjadi arena menumbuhkan nilai-nilai spiritualitas kehidupan
dalam berbagai aspek.
Tokoh
selanjutnya, Mahfud MD, meberikan satu penjelasan menarik bagaimana sepak bola
adalah sebuah hiburan yang menyenangkan. Bagi mantan ketua MK itu hiburan itu
tidak hanya terjadi di lapangan hijau. Bahkan ruang komentator juga menyajikan
hiburan tak kalah menariknya. Sungguh, intrik yang sangat menggelitik.
Terakhir
adalah Kusnaeni atau lebih familiar dengan panggilan Bung Kus, analisanya
tentang sepak bola-khususnya sepak bola tanah air begitu mencengangkan. Jujur,
aku dibuat terpana dengan caranya meramu bagaimana si kulit bundar
dipermainkan.
Sayang,
keempat tokoh di atas tidak cukup ruang untuk dijadikan rujukan sepak bola -
entah karena beliau-beliau dianggap bukan tokoh yang layak membicarakan bola
atau karena alasan apa.
Yang
jelas, bangsa ini masih sulit untuk berkata jujur pada kebenaran sejarahnya
sendiri. Sekarang, sepak bola kita entah kemana. Anehnya, sepak bola dijadikan
arena pertarungan politik. Banyak fakta yang membuat kita geli menyaksikannya.
Semoga
permasalahan sepak bola bangsa ini segera kelar. Siapa pun orangnya, semoga
niat baik untuk memperbaiki sepak bola negeri ini mendapat jalan yang terang.
Kita semua berharap, semoga
kejadian final Indonesia vs Malaysia tidak terulang kembali. Ya, Setelah
memastikan lolos ke final piala AFF 2016 dengan begitu dramatis, Indonesia
mencatat kegagalan untuk kelima kalinya menjadi juara turnamen akbar Asia
Tenggara. Meski selangkah lebih diuntungkan, karena kemenangan tipis 2-1 atas
Thailand saat melakoni final leg pertama di Indonesia.
Apa boleh buat, di
negeri Gajah Putih, Tim Garuda takluk 2 gol tanpa balas. Boaz dan kawan-kawan
harus mengakui permainan Thailand yang sejak menit awal tampil menyerang.
Sedikit demi sedikit, pertahanan Indonesia pun hancur dan memaksa Meiga memungut
bola dari sarangnya sendiri. Dan, harapan pun pupus. Runner up masih menjadi capaian tertinggi tim nasional di gelaran
kompetisi Asia Tenggara.
Kegagalan timnas
harus menjadi evaluasi untuk memperbaiki sepak bola Indonesia, termasuk
kompetisi sebagai supporting pemain
untuk membawa nama baik Indonesia. Sudah bukan saatnya lagi mencari siapa yang
pantas disalahakan. Jelas, kekalahan timnas akan menjadi duka seluruh rakyat
Indonesia. []
No comments:
Post a Comment