Menggugat Peran Media
![]() |
durspasi |
Menggantikan Soeharto, seorang insinyur aeronautika yang melaksanakan studinya di German, Bacharuddin Jusuf Habibie merupakan orang pertama yang meletakkan fondasi Indonesia menjadi negara demokratis. Dengan mengesahkan UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang media, BJ Habibie telah melakukan sebuah liberalisasi dalam media.
Artinya, bangsa Indonesia dipaksa tidak lagi menganggap negara sebagai pemangku kepentingan utama industri media dan memonopoli informasi di dalam negeri.
UU media memandang pemerintah semata-mata sebagai fasilitator dan pengatur untuk memastikan informasi dan komunikasi yang sehat, juga penyebaran pendidikan publik. Tentunya, ini sebuah kemenangan politis yang luar biasa.
Namun, di balik kemenangan politis ini, perasaan berjaya para aktivis demokrasi dan para profesional media telah membawa pada permasalahan yang kian kompleks. Sebagai akibat efek samping atas perubahan mendadak ini, beberapa kalangan menyebutnya "kebablasan" bukan "kebebasan."
Datangnya internet menjadi kekuatan baru dalam demokratisasi informasi. Semua komunikasi di saentaro dunia bisa diakses seketika dengan mudah dan biaya murah. Dampak ini sangat terasa dalam proses demokrasi di Indonesia serta tujuan awal media untuk memberi pendidikan informasi terhadap publik.
Akhirnya, bersama agenda liberalisasi media yang didengung-dengungkan, kekuatan korporasi nampak kepermukaan. Masyarakat yang sudah terbiasa dan mulai nyaman dengan budaya konsumeristik dan nihilistik menjadi lahan pemasaran sensasionalisme media demi meraup sebuah keuntungan.
Pasca Habibie, empat presiden sudah menjadi nahkoda republik ini. Namun, kebebasan media semakin mengarah kepada kepentingan semata. Kuatnya pihak korporasi mampu menjadi pengendali media demi keuntungan yang luar biasa.
Selanjutnya, perselingkuhan korporasi dengan para pelaku politik membuat media semakin gamang dan kehilangan esensinya. Demokrasi Indonesia berada di bawah bayang-bayang media yang cenderung kebablasan. Ironis memang, informasi yang disajikan bukan untuk memberikan pendidikan tapi sensasionalisme yang disajikan.
Timbul pertanyaan besar, benarkah media menjadi bagian dari pilar demokrasi? Sedangkan keberadaanya sudah pasti berada dalam kontrol birokrasi. Hal tersebut diperparah akan perselingkuhannya dengan para politisi. Lantas, apa yang harus dilakukan hari ini, tatkala melihat kondisi bangsa yang sudah tercerabut dari makna demokrasi sebenarnya. Tatkala sebuah kebebasan bermetamorfosis menjadi kebablasan.
Akhirnya, mengantarkan segelintir orang meraih kekuasaan, di sisi lain segelintir orang meraup keuntungan. Realita inilah yang telah membawa bangsa ini pada ketimpangan dalam kehidupan. Ya, bukankah ini masalah besar perjalanan demokrasi kita hari ini? []
No comments:
Post a Comment