Sebuah Cerita di Purabaya

durspasi
KEMARIN, saat sampai di terminal Purabaya, saya sempatkan leyeh-leyeh sejenak untuk menyeruput kopi dan menghisap beberapa batang rokok. Ya, ini sudah menjadi kebiasaan saya kala melakukan perjalanan Jogja-Lumajang, juga sebaliknya.

Kopi sudah tersaji, sebungkus rokok Sampoerna Mild saya rogoh di saku celana. Saya pun duduk begitu khusyu’, berdzikir seakan setiap hisapan adalah bagian-bagian tasbih untuk menghitung jumlah bacaan. Sebatang telah habis.

Saya ambil rokok kedua. Korek api pun telah menggigit mesra, terlihat bibir rokok sudah merah-rekah seraya mengeluarkan kalimat-kalimat indah. Seruputan kopi menimpali, kenikmatan hakiki telah tersaji. Sudah separo batang saya habiskan.

Sesaat kemudian, seorang pemuda datang. Seyumnya yang pahit menyapa. Di matanya, saya melihat sebuah masalah tengah menerpanya.

“Rokok, mas.” Dia menawarkan sambil meringsuk duduk tepat di depan saya.

Pelan saya jawab, “terima kasih, mas. Ini masih ada.”

Tanpa basa-basi, saya tanyakan laki-laki itu hendak kemana. Nah, dari sini, dia mulai menjelaskan panjang lebar tentang masalah yang tengah dihadapinya.

Tiga jam sebelumnya, dia sudah sampai di Purabaya. Dari Kota Kretek, Kudus, dia berencana pulang ke kampung halamannya, Bondowoso. Kabarnya, salah satu orang tuanya sedang sakit, dia pulang untuk menjenguknya.

Oh iya, namanya Adi. Di Kudus, dia sedang menuntut ilmu pada salah satu pesantren. Entah apa namanya, tak sempat saya menanyakannya.

Dalam hati saya menerka, “kenapa anak ini nggak langsung pulang, kok masih sliweran di terminal. Katanya, orang tuanya sedang sakit.”

Seakan menjawab terkaan saya, Adi bercerita kalau tadi pas turun dari bus, uang yang buat ongkos kena copet. Jumlahnya sih tidak seberapa, tapi itu duit terakhir untuk membayar bus jurusan Purabaya-Bondowoso. Tak serupiah pun tersisa di sakunya.

Keparatnya, dishub dan polisi yang didatangi hingga berkali-kali hanya menebar janji. Surat jalan yang Adi minta tak kunjung diberikan. Ya, selama dua jam lebih Adi menunggu kepastian sambil bersabar mendengarkan ocehan pegawai pemerintahan tersebut.

Di sebelah saya, duduk seorang lelaki juga. Tujuannya Probolinggo, kampung halamannya. Katanya, dia baru saja menyelesaikan kursus bahasa Inggris di Pare, Kediri.

Akhirnya, kami bertiga terlibat pembicaraan soal musibah yang tengah menimpa Adi, santri Kudus tersebut.

Tanpa ada kongkalikong atau kesepakatan, saya dan lelaki asal Probolinggo itu pun sama-sama merogoh saku. Mengambil selembar uang kertas lalu dikasihkan kepada Adi untuk sekadar ongkos pulang.

Senyum bahagia dan matanya yang berkaca-kaca menyertai ucapan terima kasih. Berulang kali ia ucapkan sambil berusaha mencium tangan kami berdua. Dari mulutnya nama Tuhan disebut berkali-kali. Tanpa pikir panjang, Adi pun segera berpamitan.

Sebelum pergi, Adi menanyakan nama saya. Selanjutnya, Adi berkata, “kalau ke Bondowoso, tepatnya di Maesan, mampirlah. Kalau sudah di Maesan, tinggal tanya saja namanya Adi yang mondok di Kudus.”

Beneran, saya tunggu kedatangannya loh, kak.” Penuh harap Adi meyakinkan kami berdua agar suatu saat bisa sampai ke rumahnya di Maesan, Bondowoso.

Saya hanya menjawab, “iya, kalau ke Bondowoso, insyaallah saya mampir. Sudah, segera pulang, hati-hati dan semoga orang tuamu lekas sembuh.”

Raut wajah yang begitu gembira seraya meneteskan air mata, ia menuju parkir bus, melanjutkan perjalanan ke Bondowoso, menjenguk orang tuanya yang sedang sakit.

Semoga orang tuanya lekas sembuh, Adi.

Semoga suatu waktu, kita dipertemukan kembali. []

No comments:

Powered by Blogger.