Beragama Sewajarnya, Belajar dari Kyai Malik

Swafoto bersama Dr. K.H. A. Malik Madani, M.A. di kediamannya, Kamis (29 Maret 2018).

AKHIR-akhir ini kerap kita saksikan cara-cara beragama yang tidak sewajarnya. Singkatnya, meletakkan bagian-bagian dari agama bukan pada tempatnya. Entah apa yang memotivasi itu semua dilakukannya. Bisa saja sekadar mengejar popularitas, menarik penggemar, atau memang punya niat jahat untuk memecah belah persaudaraan. Atau, mungkin saja demi ketiganya.

Kabar teranyar soal utak-atik nama Jokowi, kemudian dikaitkan dengan surat dalam Alquran. Sugi Nur, itu nama yang beredar di jagad lini masa; berdiri di mimbar dan menyebut nama Jokowi jika dijumlah sesuai urutan angka jadinya 84. Kemudian surat 84 di Alquran adalah surat Al-Muthaffifin, surat ini menjelaskan kumpulan orang-orang curang. Jelas, Sugi Nur ingin mengatakan bahwa Jokowi termasuk orang-orang yang curang seperti disebut dalam Alquran.

Yang menarik justru komentar para warganet. Dengan cekatan kemudian menjumlah angka-angka sesuai nama Sugi Nur. Rumusnya sama dan mudah, semudah Sugi Nur mempermainkan tafsir Alquran secara sembarangan. Hasilnya keren dan lebih dari cukup untuk menertawakannya. Nama Sugi Nur, sesuai urutan huruf dan rumusnya berjumlah 109. Dalam Alquran, surat 109 itu Al-Kafirin. Nah kan, jadi ketahuan aslinya.

Saya tak perlu ribet menganalisisnya, yang dilakukan Sugi Nur jelas pelecehan terhadap agama, ayat Tuhan ditelanjangi karena kebencian-kebencian yang sengaja diproduksi. Utak-atik semacam ini adalah cerminan dari cara beragama yang sembarangan, asal comot saja. Islam punya cara dan alat sendiri untuk menelanjangi Alquran, silakan buka kitab-kitab tafsir yang telah susah payah dikarang oleh ulama-ulama terpacaya kita.


Bagi saya, suka atau tidak pada Jokowi sebagai orang nomor satu menjadi bukti bahwa iklim demokrasi bangsa ini hidup. Namun, bila keduanya berlebihan, tentu tidak akan baik. Semua memiliki porsi masing-masing untuk diekspresikan. Lebih-lebih mengaitkannya dengan agama, ini sudah kelewat batas. Mengkritik kinerja Jokowi itu penting, tapi semua ada tata cara dan tata kramanya. Tidak bisa sembarangan.

Kamis kemarin (29/03), saya bersama Gus Ahmad Shofie Azzaki, Mas Miftakul Aziz, Mas Khafif Sirojuddin dan Khoirul Wafa berkesempatan menjura kepada K.H. A. Malik Madani di kediamannya. Tidak ada agenda khusus, ini hanyalah upaya kami merawat silaturahmi dengan guru kami.

Seperti yang sudah-sudah, setiap menjura ke Kyai Malik selalu ada nasihat dan penyegaran-penyegaran beragama dalam kehidupan yang majemuk ini. Sebagai orang NU, beliau juga kerap memberi rambu-rambu. Ya, beliau tidak pernah lelah mengingatkan kami semua untuk selalu menjaga dan merawat apa yang telah dimilki NU serta memberi penyegaran-penyegaran di dalamnya agar NU selalu dinamis mengarungi zaman.

Di tengah kesibukannya menjadi tim revisi terjemahan Alquran dari Kemenag, ternyata beliau masih mengamati beberapa isu agama yang marak diperbincangkan. Dan, Kyai Malik selalu bersikap atas dasar dan pijakan yang jelas. Makanya tak jarang beliau kerap melontarkan kritik di tubuh NU sendiri. Kritik Kyai Malik kepada NU itu tentu perlu kita maknai sebagai rasa cintanya yang besar kepada organisasi sosial keagamaan yang didirikan Hadratus Syeikh K.H. Hasyim Asy’ari.


Penyegaran dari Kyai Malik
Pertama, Kyai Malik menanggapi soal rombongan GP ANSOR yang menyanyikan lagu “Subbanul Wathon” di tanah suci. Apa yang dilakukan ANSOR itu jelas mendapat jamak komentar. Bahkan, yang tak sepaham tak ragu untuk mengumpat dan melempar cacian. Karena nyanyian ini pun, jagad lini masa seperti medan perang; saling umpat satu sama lain.

Kyai Malik begitu bijak mengomentari kejadian tersebut. Bagi beliau, semestinya ANSOR juga tak perlu membela mati-matian bahwa yang dilakukan itu benar. Sebagai warga NU, paling tidak, ANSOR menyadari bahwa apa yang dilakukan itu bukan pada tempatya. Itu bukan sesuatu yang umum terjadi, jadi wajar jika menuai kontroversi.

Kedua, video selawat yang viral dengan bunyi; Shollahu ‘ala Jokowi, Shollahu ‘ala NKRI, dst... Video selawat seperti ini bisa kita jadikan bukti cinta kepada Jokowi yang berlebihan. Apalagi sampai menggunakan selawat dalam mengekspresikannya. Tentu saja ini tindakan yang keliru. Bagaimanapun, merangkai selawat ada aturannya sendiri, tidak bisa sembarangan.

Pada mulanya, selawat itu diperuntukkan untuk Nabi Muhammad saw. Namun, boleh diperuntukkan untuk yang lain tapi tab’an (mengikuti). Sedang selawat kepada Nabi Muhammad saw itu bersifat istiqlalan (berdiri sendiri). Artinya, melafalkan selawat diperuntukkan langsung kepada Jokowi maupun NKRI hukumnya makruh, bahkan bisa jadi haram. Maka dari itu jangan sembarangan mengaitkan selawat kepada selain Nabi, semua ada aturannya.


Ketiga, sepakat atau tidak, banyak di kalangan kita yang menganggap selogan sebagai kaidah fiqhiyah, bahkan sebagai hadis karena tidak mau mengonfirmasi sampai pada sumbernya yang pertama.

Misal, almuhafadzotu ‘ala qodim as-sholih wal ahdu bi al jadid al-aslah, merawat tradisi lama yang baik dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik. Dalam jamak buku yang bicara tentang fiqh atau kajian Islam kontemporer, lafal ini sering dijadikan alasan. Karena memang muatan isinya yang sangat dinamis dan konteks dengan zaman.

Dari keterangan Kyai Malik, senyatanya yang memperkenalkan pertama kali di Indonesia adalah Yusuf Qordowi. Dalam bukunya, Yusuf Qordowi mengatakan bahwa itu dikutipnya dari M. Iqbal. Dalam bahasanya Yusuf Qordowi bukan “al-aslah” tapi “an-nafi’”. Namun, maksut dan tujuannya sama; mengambil suatu hal baru yang lebih baik. Menurut kabar yang saya terima, slogan Iqbal dengan menggunakan lafal “al-aslah” itu dikenalkan pertama kali oleh K.H. Ahmad Abdul Hamid, Kendal.


Keempat, lagu ‘Subbanul Wathon’. Berawal dari sebuah pidato orang elite di bangsa ini yang mengatakan bahwa ya lal wathon itu aslinya ya ahlal wathon. Ucapan seperti ini cenderung berangkat dari asumsi bahwa hanya ada ya’ nida’ (ya’ yang fungsinya untuk memanggil) saja, tidak yang lain.

Padahal, jika diteliti secara seksama; kalau memang berasal dari ya ahlal wathon, kenapa tidak ditemukan jumlah mufidah setelahnya, tidak ada susunan mubtada’-khobar atau fi’il-fa’il. Ya, aslinya memang ya lal wathon dan ya’-nya nida’ tapi fungsinya bukan memanggil. Duh, maaf, detilnya saya lupa mengingat dan mencatatnya, silakan cari sendiri. Senyatanya, hal-hal semacam ini sering dijumpai dalam lafal-lafal istigosah.

Kelima sekaligus yang terakhir. Sebenarnya masih ada beberapa hal seperti hubbul wathon minal iman. Tak sedikit yang menyebut ini hadis – bahkan di kalangan Nahdliyin sendiri – padahal ini adalah idiom dari Mbah Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Ada juga soal salam penutup yang khas di kalangan orang NU; ‘wallahul muwaffiq...’, kata Kyai Malik; orang pertama kali yang mempopulerkan ini di Indonesia adalah Hasby Asy Shiddiqy, mantan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Artinya, pesan dari semua ini adalah; sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, termasuk cinta. Beragamalah yang sewajarnya, jangan sembarangan dan seenaknya. Meskipun itu amalan agama yang baik jika digunakan bukan pada tempatnya, ya tidak elok.

Beragama yang sewajarnya adalah beragama dengan dasar-dasar yang jelas, tidak sembarangan dan selalu mengonfirmasi atau tabayun tentang hal-hal yang berkaitan dengan agama. Bagaimanapun, semua yang berkaitan dengan agama cenderung sensitif. Jika kita salah menempatkan, agama justru menjadi biang perkelahian. []

No comments:

Powered by Blogger.