Kyai Said yang Saya Kenal
![]() |
K.H. Said Yahya dan K.H. Madarik Yahya (Gus Mad). Foto diambil dari akun Facebook K.H. Nasihuddin Khozin (Gus Nasih) |
SEKITAR sepekan yang lalu, saya bermimpi
tentang beliau, K.H. Said Yahya Syabrowi. Dalam mimpi itu, Kyai Said meminta
saya untuk memijatnya. Dibarengi Abdur Rofik, saya memijat beliau di kamarnya.
Pada pertengahan, beliau beranjak dari tempat
tidur, kemudian mengambil sebatang rokok yang ada di teras depan, lalu menyulutnya. Selepas itu, Gus Ghozali Khozin dan Gus Abdurrohim Said keluar
dari kamarnya, ternyata rokok yang diambil Kyai Said itu adalah rokok beliau
berdua yang memang belum diberesin lantaran jagongannya
belum kelar.
Seingat saya, Gus Rohim dan Gus Zali tak
memberi komentar waktu melihat Kyai Said mengambil rokoknya. Beliau berdua
hanya menanyakan kapan saya sampai di pondok? Saya pun menjawabnya, “kemarin,
Gus”.
Kemudian, mimpi itu selesai. Saya sempat
mengirim pesan ke Rofik, bercerita tentang mimpi itu dan meminta nomor telepon Gus
Zali, namun saya urungkan menghubungi beliau, rasanya kok tidak sopan.
Dan, Senin, 12 Maret 2018 kabar kepulangan
beliau saya terima. Inna lillahi wa inna
ilaihi roji’un, surga telah menanti jenengan,
Kyai.
Sebuah Memori
Selama saya nyantri di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum (PPRU) 1, Ganjaran Gondanglegi, Malang, memang tidak banyak momen yang bisa saya rekam tentang beliau. Atau, saya tidak banyak mengalami interaksi langsung dengan Kyai Said.
Selama saya nyantri di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum (PPRU) 1, Ganjaran Gondanglegi, Malang, memang tidak banyak momen yang bisa saya rekam tentang beliau. Atau, saya tidak banyak mengalami interaksi langsung dengan Kyai Said.
Di pesantren, beliau memang tidak mengajar
santri mengaji (nyasak) kitab kuning
laiknya Kyai-Kyai lainnya. Sependek yang saya ingat, dalam aktivitas pesantren,
Kyai Said itu rutin menjadi imam salat di musala pesantren putra.
Di sini, saya ingin berbagi tiga hal tentang
beliau – yang hingga hari ini masih saya ingat jelas. Pertama, senyum ramahnya. Ya,
mengingat Kyai Said tidak bisa lepas dari senyum ramahnya yang selalu beliau
lempar ketika bersua dengan siapa pun, termasuk dengan para santri. Siapa pun
yang pernah menjura pada beliau, pasti sulit melupakan senyum ikhlas khas
beliau.
Kedua, membuat lobang.
Kejadian ini terjadi saat saya memecah (mecel;
bahasa Jawa atau maddung; bahasa
Madura) kayu di pekarangan belakang Gus Nasihuddin Khozin.
Waktu itu, tiba-tiba hujan turun, saya pun
berteduh sambil menikmati kopi yang disediakan oleh abdi dalem. Nah, selang beberapa menit, Kyai Said datang lalu
membuat lobang tepat di tembok kamar mandi pesantren puteri. Baik saya maupun
teman-teman, sama-sama tidak berani untuk bertanya kenapa beliau melobangi
tembok itu.
Kala itu, saya hanya berbaik sangka, bahwa
yang beliau lakukan memiliki maksud dan tujuan. Sebagai seorang santri, saya
meyakini apa yang dilakukan Kyai Said ada maksud tersirat yang memang tidak
akan pernah dapat dijangkau oleh santri macam saya. Dan, sampai hari ini pun,
saya belum tahu apa maksud dari lobang itu.
Ketiga, “tak mengerti”
uang. Momen ini terjadi saat saya menjaga kantin pondok. Seperti biasa, Kyai
Said memang selalu membeli rokok di kantin pesantren. Saya masih ingat, waktu
itu beliau membeli rokok “Gudang Baru” dan harganya Rp3.000, kalau tidak salah.
Dari kejadian ini ada dua hal yang saya ingat
betul; (1) beliau itu tidak mau membeli rokok yang harganya di atas Rp3.000.
Waktu rokok “Gudang Baru” naik, beliau tidak membelinya. Ketika membeli rokok,
Kyai Said selalu bertanya; rokok yang harganya Rp3.000 apa?
Lalu, yang ke (2), selepas membayarnya, beliau
selalu pergi tanpa menghiraukan kembaliannya. Waktu itu, petugas kantin sering
mengantarkan kembaliannya ke dalem.
Pernah
suatu ketika kembaliannya langsung dikasih kepada beliau. Kyai Said hanya
tersenyum, lalu berkata; ini kebanyakan,
saya barusan kan ngasihnya cuma satu lembar (kata ini tidak sama persis
dengan yang dikatakan beliau, karena keterbatasan saya dalam mengingatnya –
paling tidak maknanya seperti itu). Saya dan teman-teman di kantin hanya diam
menundukkan kepala.
Dari tiga kejadian yang saya urai di atas,
jelas ada pesan tersirat yang hendak beliau sampaikan kepada kita semua. Namun,
jujur saya tidak bisa menafsiri semua itu. Inilah kemudian yang membuat saya
memutuskan untuk menuliskannya. Barangkali ada yang bisa menerjemahkan apa yang
telah Kyai Said lakukan.
Apalagi, jika mendengar hikayat-hikayat
tentang beliau yang memang kerap tidak bisa dijangkau oleh akal semata,
khususnya santri macam saya. Perlu kedalaman hati memang memahami Kyai sekaliber beliau. Saya
masih percaya, bahwa setiap Kyai memiliki karomah tersendiri. Mungkin saja,
hikayat-hikayat itu adalah karomahnya beliau.
Terakhir, selamat jalan Kyai, saya saksi bahwa
jenengan adalah orang baik, jenengan telah mengajarkan kita semua
tentang senyuman, keikhlasan dan kesederhnaan. Surga akan menjadi tempat yang
layak untuk orang seperti jenengan.
Allahummagfir
lahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu. []
No comments:
Post a Comment