Stephen Hawking, Fisika dan Saya

Hari ini, 14 Maret 2018, kita kehilangan selebritas akademik dan teoritikus fisika termasyhur; Stephen Hawking. Ia meninggal dunia di usia 76 tahun. Rest in Peace, Stephen Hawking.
KABAR kematian Stephen Hawking membanjiri jagad lini masa. Dalam hitungan detik, nama Hawking menjadi trending – baik di Twitter, Facebook dan Instagram. Hal ini membuktikan kalau Hawking memang bukan orang sembarangan. Meski terkenal dengan teori-teorinya yang kontroversial, Hawking telah memberi sumbangsih besar dalam dunia keilmuan.

Soal siapa Hawking, sejujurnya saya tidak tahu betul. Bahkan, saat namanya jadi perbincangan di jagad dunia maya, saya justru bertanya-tanya. Akhirnya, dengan sedikit usaha, membaca berita tentang kamatiannya, kiprahnya dalam keilmuan serta sekelumit perjalanan hidupnya, saya sedikit mengerti siapa Hawking itu.

Ternyata, Hawking adalah selebritas akademik dan teoritikus fisika termasyhur. Teori-teorinya masih dipakai hingga hari ini, meski tak sedikit yang menolaknya lantaran dinilai kontroversial.

Setelah memahami sedikit tentang siapa Stephen Hawking, saya jadi teringat waktu masih duduk di bangku SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Saat masih di SMK, ada tiga mata pelajaran yang saya benci; fisika, elektro dan matematika. Alasannya sederhana, tiga mata pelajaran ini selalu menghadirkan angka-angka rumit yang membuat kepala saya pusing.

Sebenarnya, kebencian saya pada tiga mata pelajaran itu tidak terjadi secara tiba-tiba atau karena saya lemah soal menghitung angka-angka. Tidak, bukan demikian. Bahkan, kalau boleh sedikit sombong, saya bisa dibilang murid yang lumayan dalam soal pelajaran berhitung.

Baca juga: Selamat Jalan Mas Slamet, Sang Aktor Perubahan

Lalu, kenapa saya tidak suka dengan mata pelajaran yang identik dengan angka-angka? Begini ceritanya! Sewaktu masih SD (Sekolah Dasar), saya sangat suka dengan matematika. Kesukaan itu kemudian mengantarkan saya pada lomba-lomba. Waktu itu, saya menjadi wakil dari SDN Oro-oro Ombo V, sekolah saya dulu.

Meski tidak sampai pada hasil yang memuaskan, paling tidak saya menjadi satu-satunya murid yang dianggap paling mampu mewakili sekolah untuk mengikuti lomba matematika. Bahkan, tidak hanya itu, sekolah juga memercayai saya untuk mengikuti lomba morse waktu kemah kecamatan. Cerita ini memang terkesan sombong, tapi memang demikian adanya.

Setelah rampung SD, saya tidak melanjutkan ke jenjang SLTP pada umumnya. Nah, ini kemudian yang membuat saya dipaksa melupakan mata pelajaran angka-angka. Kala itu, orang tua saya lebih menginginkan saya sekolah madrasah diniyah dan ikut SLTP persamaan. Setelah selesai diniyah, saya harus melanjutkan ke pondok pesantren. Ya, kala itu ada perbedaan tujuan antara saya dan orang tua, tapi saya memilih diam meski sebenarnya batin memberontak.

Semenjak itu pula, saya tidak memiliki harapan lagi untuk merasakan nikmatnya sekolah umum. Namun, ketika saya sampai di pesantren, anggapan itu salah dan tidak benar. Dengan sedikit terpaksa, saya harus melanjutkan di SMK seperti teman-teman pondok lainnya.

Di SMK inilah saya mulai mengenal bagaimana menantangnya dunia maya. Meski jurusan saya TKJ (Teknik Komputer Jaringan), namun faktanya saya lebih suka dengan urusan-urusan software daripada hardware. Kecenderungan ini kemudian yang membuat saya sulit beradaptasi ketika Perakrin (Praktik Kerja Indsutri) di Dieng Plaza, Malang, lantaran saya tidak menguasai TKJ beserta tetek bengeknya.

Baca juga: Jangan Sampai Kepribadiannya Tewas

Kembali ke soal fisika, satu hal yang masih saya ingat jelas sampai hari ini, yaitu gaya pegas. Dalam otak saya justru berontak ketika mendapat pelajaran ini. Apalagi, contoh-contoh yang diambil waktu itu adalah ketapel, laju mobil dan lain sebagainya. Dan, kita disuruh menghitung kecepatannya.

“Kayak ndak ada kerjaan aja. Masak mobil sedang melaju perputaran rodanya suruh dihitung, begitu juga ketapel. Ah, ada-ada aja pelajaran fisika ini,” gumamku dalam hati.

Sampai pada akhirnya, soal fisika saya benar-benar tidak mengerti. Matematika dan elektro pun demikian, pelajaran yang sering berkait dengan fisika ini sama-sama sulit saya pahami.

Ini hanyalah cerita pengalaman saya. Fisika tidak seperti yang saya pahami, Stephen Hawking telah membuktikannya. Nama Stephen Hawking dikenal sebagai  fisikawan terkemuka abad ke-21. Sumbangsih Hawking terhadap ilmu pengetahuan tidak diragukan lagi. Pembaca bisa cek sendiri soal karya-karya Hawking yang telah terbukti membuat gempar dunia akademik.

Rabu, 14 Maret 2018, Hawking dikabarkan meninggalkan planet bumi. Kebetulan atau tidak, tanggal ini sama dengan tanggal kelahiran Albert Einstein seabad lebih yang lalu. Bahkan, tanpa kita sadari, tanggal kelahiran Hawking sama dengan hari kematian Galileo Galilei, fisikawan Italia yang meninggal pada 8 Januari 1964.

Kebetulan ini mungkin yang menjadikan Hawking sebagai salah satu fisikawan terbaik yang dimiliki dunia. Seperti kita ketahui, Hawking pernah divonis menderita amyotropic lateral sclerosis (ALS), hidupnya tidak akan lama lagi. Faktanya, Hawking melawan semua anggapan itu. Hingga akhirnya, Hawking pun dikenal sebagai bidan bagi kelahiran alam semesta.

Baca juga: Kyai Said yang Saya Kenal

Terakhir, apapun itu, terlepas suka atau tidak terhadap Hawking. Kita telah kehilangan seorang fisikawan terbaik yang sumbangsihnya dalam keilmuan tidak perlu diragukan lagi.

Rest in Peace, Stephen Hawking. Kau adalah ilmuan yang istimewa yang pernah dimiliki dunia ini. Dari kursi roda dan alat bantu suara, kau mampu mengguncang dunia. Paling tidak, darimulah kita semua belajar tentang semangat yang terus menyala. Keterbatasan bukan alasan untuk melakukan perubahan. []

1 comment:

Unknown said...

aku berharap ada penjelasana teori fisika yang rumit,,,, hehehehehe

Powered by Blogger.