Ambiguitas Kurikulum Pesantren?
PONDOK Pesantren yang pada awalnya
disetting sebagai institusi
pendidikan non formal yang pada umumnya mensentralkan aktifitasnya di surau,
masjid atau tempat pemondokan santri. Materi yang disampaikan pada umumnya
berkutat terhadap disiplin ilmu-ilmu religi saja, semisal fiqh; tasawwuf;
tauhid dan lain sebagainya.
Buku-buku refrensi yang dijadikan pegangan hanya
sebatas kitab kuning klasik saja yang mayoritas ditulis pada abad pertengahan
oleh para cendikiawan Islam (Ulama). Dengan struktur kurikulumnya yang bergaya
klasik, acapkali Pondok Pesantren diidentikkan dengan institusi pendidikan
tradisional.
Dalam realitas peradaban yang kita
jumpai pada saat ini, dunia Pondok Pesantren tidak bisa menghindari abitrase
dinamika kehidupan sosial masyarakat yang multikultural ini. Oleh karenanya,
supaya tetap bisa survive, serta maju
dan berkembang, Pondok Pesantren dituntut untuk mengembangkan kurikulumnya,
mengintegrasikan dengan kurikulum Depatermen Agama Repblik Indonesia, atau mengadopsi
kurikulumnya pendidikan formal yang sudah ditetapkan oleh Depatermen Pendidikan
Nasional.
Peradaban yang perkembangannya sangat signifikan ini, tidak menutup
kemungkinan suatu Pondok Pesantren untuk mendirikan institusi pendidikan formal
mulai dari jenjang SD, SMP, SMA-SMK, bahkan Perguruan Tinggi sekaligus, yang
mana dalam hal ini sebagian Pondok Pesantren ada yang telah merealisasikannya.
Ketika institusi pendidikan formal
ini sudah terealisasi, background
khas Pesantren yang sudah beken dengan
ciri klasiknya pun perlahan akan pudar. Pondok Pesantren tak ubahnya
institusi-institusi pendidikan formal seperti yang lain. Yang jadi pembeda
adalah di tengah-tengah penyelenggaraan pendidikan umum, Pondok Pesantren masih
tetap menyisipkan pengajian kitab-kitab kuning klasik.
Ironisnya, pengajian
yang disentralkan di masjid dan surau, dengan mengaplikasikan sistem sorogan yang sudah mentradisi ini kurang
mendapatkan animo para santri dengan alasan waktu efektifnya sudah terkuras
oleh kegiatan pembelajaran materi umum. Ambiguitas kurikulum seperti ini dengan
batas-batas tertentu telah mendistorsi visi awal didirikannya Pondok Pesantren
sebagai institusi at-tafaqquh fi ad-din, yaitu
untuk mencetak kader-kader ahli fiqh yang mampu beradaptasi sesuai kondisi
zaman.
Tawaran alternatif dengan
menerapakan kurikulum fiqh berbasis realitas. Menghadapi zaman modern ini, mau
tidak mau institusi-institusi Pesantren dituntut untuk mengadakan tranformasi
sesuai tuntutan zaman. Untuk mengantisipasi arus besar yang akan melanda
pemikiran dunia global.
Institusi Pesantren harus mendirikan pendidikan dengan
muatan kurikulum pemikiran keagamaan secara lebih filosofis dan epistimologis.
Materi kajian Islam yang klasik bukan saja perlu disupport keberadaannya, melainkan juga harus dirumuskan secara lebih
konkret dan sistematis, seirama dengan level perkembangan peradaban yang dari
tahun ke-tahun mengalami perubahan yang signifikan.
Kurikulum ini tak lain merupakan
seperangkat materi pedidikan dan pengajaran yang disuguhkan kepada peserta
didik, atau sebuah program yang difragmentasi
untuk melancarkan proses belajar-mengajar, bimbingan dan tanggungjawab
suatu institusi pendidikan. Dengan begitu Pesantren bukan sekedar institusi
bergaya konservatif yang berpegang terhadap kondisi realitas masa lalu secara
statis dan stagnan tanpa ada tuntutan historitas.
Pesantren merupakan institusi
religi dengan mampu mencetak lulusan yang dapat mengangkat image fiqh di tengah masyarakat melalui kiprah dan peran aktif para
alumnusnya dalam mengaplikasikan ilmunya secara kreatif dan dinamis sesuai
dengan tuntutan zamannya. Sehingga, visi yang yang diembannya akan terealisasi,
yaitu sebagai ajang at-tafaqquh fi
ad-din. []
No comments:
Post a Comment