Hilangnya Identitas Mahasiswa
SEJARAH telah mencatat bahwa bangsa kita lahir
dengan semangat perjuangan yang ber-api-api. Terbukti dengan lahirnya Budi
Oetomo (BO) 1908 sebagai organisasi kepemudaan pertama sekaligus titik awal
perlawanan pada pemerintah kolonial melalui semangat nasionalismenya,
“persaudaraan nasional tanpa pandang bangsa, kelamin, atau kepercayaan”
(Parakitri T. Simbolon, 2007: 252).
Organisasi yang dipelopori oleh mahasiswa
Sekolah Kedokteran Bumiputera (STOVIA), dimana dr. Soetomo sebagai ketua
merupakan sebuah perwujudan cita-cita luhur Wahidin Soedirohoesodo yang
tertuang dalam surat kabar Retnodhoemila.
Soetomo dan rekan-rekannya tidak hanya berkorban tenaga, gagasan dan waktu,
tetapi juga uang. Ia dan rekan-rekannya sampai menjual arlojinya sendiri dan
barang berharga lainnya demi kemerdekaan Indonesia. Semangat nasionalisme yang
di usung oleh BO itu terbukti melahirkan sebuah komitmen bersama “Sumpah
Pemuda” pada tahun 1928.
Pada akhirnya, dengan kemahiran akrobat
politiknya, para kaum muda tersebut berhasil memanfaatkan sebuah momentum yang
di nanti-nanti oleh seluruh masyarakat Indonesia. Alhasil, pada 17 Agustus 1945
Ir. Soekarno dan Moh. Hatta dengan gagah
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Tidak hanya berhenti disitu saja, pergerakan mahasiswa mencatatkan diri sebagai
garda terdepan dalam mengarungi peradaban bangsa Indonesia untuk mencapai
kesejahteraan suatu bangsa.
Turunnya Soekarno sebagai orang nomor satu (Orde
Lama), tumbangnya rezim Soeharto yang
otoriter (Orde Baru) dan era reformasi yang dipimpin oleh B. J. Habibie sampai
masa transisi demokrasi. Ini semua merupakan bukti bahwa mahasiswa sebagai
poros tengah (masyarakat terdidik) yang selalu memperjuangkan hak-hak
masyarakat sosial.
Melihat realitas hiruk pikuk kehidupan
mahasiswa di kampus sekarang sangatlah berbeda jauh. Mahasiswa saat ini ibarat
ayam jago yang kehilangan tajinya. Betapa tidak, momentum persatuan para
mahasiswa sejak masa transisi demokrasi hingga saat ini hanya terlihat pada
tahun 2012 terkait isu kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) di bawah
kepemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Yang pada saat itu mahasiswa
menemukan satu titik tujuan tanpa melihat darimana kalangan mereka.
Berbeda dengan mahasiswa sekarang yang
terkesan apatis dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat sosial. Individualisme
sudah tertanam serta rasa kesadaran sudah hilang pada diri mereka, pada
akhirnya mahasiswa sebagai “agent social
of change” dan “agent social of
control” tinggal selogan belaka. Sirnanya budaya membaca dan menulis telah
melatar belakangi mereka bersikap apatis seperti ini.
Terus, apa faktor
penyebab hilangnya budaya menulis dan membaca dikalangan mahasiswa sekarang?
Setidaknya ada dua faktor untuk menjawab pertanyaan sederhana ini.
Pertama,
Teknologi
telah mencipta dunia yang telah melampaui kodrat kemanusiaan. Akibatnya, banyak
persoalan moral yang muncul yang tidak hanya melibatkan manusia tapi juga
artefak teknologi (Budi Hartanto, 2013: 95). Fasilitas teknologi yang lengkap
merupakan awal timbulnya sifat kemalasan karena semua yang mereka butuhkan
tinggal ditanyakan pada google dan wikipedia.
Budaya asing yang cenderung
hedonistik menjadi kiblat gaya hidup mahasiswa sekarang karena dunia maya telah
menfasilitasinya. Tak heran jika mahasiswa sekarang lebih bangga bergaya ala Korea daripada melestarikan budaya
Indonesia. Belum lagi jejaring sosial (facebook)
yang telah menjadikan mereka semua berlagak menjadi kaum alay. Ironisnya, hal yang bersifat pribadi (rahasia) dengan bangga
mereka beberkan di jejaring sosial tersebut.
Maka dari itu forum-forum diskusi
saat ini menjadi forum yang langka untuk ditemui, mahasiswa saat ini telah
kehilangan identitasnya sendiri. Mahasiswa saat ini lebih suka membahas
perkembangan Hand Phone keluaran baru, model pakaian baru, atau lagu-lagu terbaru
daripada memperkaya gagasannya. Maka dari itu kampus sekarang tak ubahnya
sebuah pasar yang syarat dengan transaksi dan negosiasi produk-produk.
Kedua,
sistem
kampus yang memborgol ruang kreativitas mahasiswa. Jadi, proses sebagai
mahasiswa ideal tidak tersentuh karena tidak ada sikap totalitas dan loyalitas.
Mahasiswa selalu disibukkan dengan tugas dan tugas dengan dalih tuntutan untuk
memperoleh predikat indek prestasi tinggi dan lulus cepat. Sistem kampus yang
terkesan membatasi ruang gerak mahasiswa untuk berekspresi.
Sedeharnanya,
kampus dengan segala sistemnya telah menjadi teror bagi para mahasiswa. Maka
dari itu tidak heran jika anggapan bahwa aktivis adalah mahasiswa yang kurang
kerjaan, dan mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang) menjadi identitas favorit saat
ini untuk dijalani.
Kedua faktor tersebut setidaknya telah
mewakili kenapa tradisi membaca dan menulis dikalangan mahasiswa sekarang sirna
sehingga berdampak pada sikap apatis terhadap kepentingan masyarakat sosial.
Meskipun faktor-faktor lain juga tidak menutup kemungkinan sebagai penyebab
hilangnya budaya baca dan tulis.
Kiranya tepat ketika Tan Malaka dalam buku
Semanagat Muda yang ditulisnya mengatakan bahwa “insaflah bahwa pengetahuan itu
kekuasaan”. Dalam artian sikap pemerintah yang tidak prorakyat dan terkesan
menindas dikarenakan para pemerintah tersebut mempunyai ilmu pengetahuan yang
lebih dari pada masyarakatnya. Untuk melawan penindasan tersebut jelaslah harus
diimbangi dengan ilmu juga. Karena, dengan pengetahuan mahasiswa bisa merebut
dan menuntut haknya dan hak rakyat.
No comments:
Post a Comment