Menulis, Sejarah yang Hilang

Menulis, Sejarah yang Hilang
Peradaban telah mengalami perkembangan yang signifikan. Dimana ilmu pengetahuan dan teknologi mampu memberikan kemudahan dalam hidup. Bahkan, bisa dikatakan era modern ini adalah masa perkembangan yang sangat sulit dijangkau oleh nalar manusia. Semua manusia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara instan. Beberapa abad yang lalu mungkin yang ada pada saat ini masih “mustahil” bagi orang-orang konservatif, tapi realita sudah membuktikan semuanya bisa direalisasikan.

Namun dalam perkembangan peradaban yang modern ini, sangat sulit mencari pewaris peradaban yang benar-benar mengikuti jejak para tokoh-tokoh intelektual yang telah memberikan kontribusinya baik tenaga, pikiran, bahkan kebahagiannya sehingga kita semua bisa merasakan kehidupan yang serba instan ini.

Kalau kita berkaca pada sejarah semuanya itu tidak akan lepas dari tradisi tulis-menulis yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh intelektual. Dalam semua bidang ilmu pengetahuan yang sekarang bisa dipelajari dan dinikmati oleh kita semua adalah bentuk karya monumental para tokoh intelekual yang terlupakan oleh kita semua. Apresiasi hampir tidak pernah kita berikan terhadap karya mereka yang sudah jelas manfaaatnya bagi kita.

Di barisan dunia barat kita sudah tidak asing lagi dengan nama Plato yang terkenal dengan karya Republik dan Simposium-nya. Murid Socrates ini juga menuliskan pemikiran-pemikiran sang guru, yang terangkum dalam beberapa karya dan membuat filsafat Socrates dikenal hingga sekarang. Gagasan Plato begitu menarik perhatian para cendikiawan Barat. Pasalnya, teori bentuk dan gagasan negara ideal yang dikenalkan Plato dianggap pemikiran paling brillian pada masanya bahkan hingga sekarang.

Bangsa Persia, atau Plato menyebutnya Bangsa Aryan, juga banyak menghasilkan karya dalam kesustraan. Mirip dengan bangsa Arab Jahiliyah, Persia juga merupakan wilayah dimana sastra tumbuh dan berkembang begitu suburnya. Tahun 220 – 670 M, kesustraan Persia mencapai puncaknya pada masa kekuasaan Bani Sassan. Corak kesustraan Bani Sassan inilah yang banyak mempengaruhi karya sastra pada masa kekuasaan Islam. Pada masa selanjutnya, banyak sastrawan muslim asal Persia yang menyumbang begitu banyak karya sastra pada saat Islam menaklukkan dan berkembang di Persia.

Sejak awal mula Islam berkembang di Madinah, kegiatan keilmuan tak kalah pesatnya dibanding Persia dan Yunani. Islam telah mendorong umatnya untuk melakukan telaah terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. Penelaahan terhadap Al-Qur’an telah melahirkan spirit untuk mengembangkan tradisi ilmu di kalangan sahabat Nabi SAW di Madinah. Maka tidak heran jikalau Franz Rosenthal penulis buku Keagungan Ilmu (1970) menyimpulkan bahwa “ilmu adalah Islam.”

Karya-karya ilmiah yang dilahirkan masyarakat Islam mencapai puncaknya pada masa Abbasiyah. Dari Baghdad, menyebar berbagai macam karya-karya dalam berbagai bidang keilmuan. Bidang sains yang dikembangkan oleh umat Islam di zaman Abbasiyah turut mengilhami kajian sains di dunia Barat.

Kualitas dan situasi intelektual pada abad ke-8 telah mencapai titik kulminasi di bawah Kekhilafahan Abbasiyah. Para sejarawan bisa mengetahui betapa gemilangnya pencapaian ilmu pengetahuan dunia pada masa itu. Saat Eropa masih bergelut dengan mantra-mantra tukang sihir, kaum Muslim di Baghdad sudah menuangkan pemikiran dan konsep dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Situasi intelektual semacam ini tak lepas dari faktor kekuasaan politik. Situasi politik yang mendukung telah memberikan fasilitas pendidikan kepada kaum Muslim dengan didirikannya akademi pendidikan terbesar saat itu, Baytul Hikmah.

Pada awalnya Baytul Hikmah adalah perpustakaan milik Harun Al-Rasyid, bernama Kanzul Hikmah. Kemudian oleh anaknya, Al-Ma’mun mengembangkannya menjadi lembaga pengkajian yang lebih besar. Pada perkembangan selanjutnya, Baytul Hikmah memiliki koleksi sebanyak 600.000 jilid buku. Sangat menakjubkan, karya-karya dari segala bidang dikoleksi dengan baik di dalam Baytul Hikmah, mulai dari karya sastra, kitab tafsir, teologi sampai dengan buku-buku sains. Di Baytul Hikmah inilah, tokoh-tokoh intelektual menghasilkan berbagai macam karya-karya ilmiah. Sebagian besar karya-karya mereka yang monumental masih bisa dinikmati hingga sekarang.

Melihat ungkapan di atas sudah jelas kalau peradaban demi peradaan hingga sekarang ini, bisa dikatakan puncak modern, ternyata tidak lepas dari peran para penulis. Tanpa pembukuan dari para pakar tersebut kita tidak akan bisa merasakan peradaban yang serba canggih ini. Tetapi, tradisi menulis saat ini hampir tidak ada. Budaya membaca telah tergantikan oleh budaya nonton. Ironisnya, budaya copas (copy paste) menjadi hal yang biasa. Padahal copas adalah bagian dari plagiasi yang merupakan sebuah bentuk kejahatan dalam dunia akademik.

Untuk itu, sudah seharusnya tradisi menulis ini menjadi kegiatan rutinitas kita semua sebagai pewaris peradaban. Dengan menerapkan budaya menulis ilmu-ilmu yang sudah mereka bukukan tidak hanya menjadi catatan usang dalam buku sejarah saja. Akan tetapi ilmu-ilmu itu akan bersifat dinamis dan terus berkembang dalam mengarungi perjalanan peradaban.


Seperti yang dikatakan  Radhar Panca Dahana, ”Menulis bukan lagi sebuah kerja elite, sulit, mahal, dan artifisial sebagaimana mulanya. Menulis kini adalah sebuah kerja ‘alamiah’, seperti kita minum, tidur, beranak, bersenandung, atau mencoret-coret gambar. Ia adalah satu kebutuhan dasar. Ia adalah ukuran adab dan kebudayaan. Dan, manusia terisap di dalamnya. Manusia haruss bisa menulis, bahkan menjadi penulis.” [Abdul Rahman Wahid]

No comments:

Powered by Blogger.