Gender dan Feminisme Bukan Teror
Kita pun akan dianggap
sebagai golongan penghancur tradisi yang selama ini diamini kebenaran dan
keberadaannya. Suatu kebenaran yang diperkuat oleh budaya patriarkhi, di mana
laki-laki lebih dominan dari pada perempuan. Pandangan tersebut melahirkan
stigma di masyarakat, kalau gender dan feminisme merupakan faham yang harus
dilawan karena menentang tradasi dan hukum agama.
Di era modern ini, keadilan gender tak perlu
dikoar-koarkan lagi, karena nilai-nilai diskriminatif dalam gender di semua
lini kehidupan sudah tidak ada lagi. Dalam ranah publik (misalnya, politik)
kaum perempuan mendapatkan ruang gerak 30% untuk mengembangkan potensi dirinya
menjadi seorang politisi (yang sebenarnya, ini adalah diskriminatif namun lebih
formal), karena masih ada batasan dan bukan atas kehendak kaum perempuan sendiri.
Dalam wilayah domestik (rumah tangga), sudah banyak istri yang bekerja di luar
sebagaimana suaminya. Sarjana-sarjana perempuan kini sudah tak terhitung
jumlahnya, dokter-dokter perempuan pun begitu, pilot, ahli ekonom, dan lain
sebagainya. Wilayah mana yang tidak ada peran perempuan dalam setiap lini
kehidupan ini, mungkin cuma tukang adzan di musalla dan masjid (entah karena
tidak boleh atau tidak ada kesempatan, atau karena konstruk sosial yang ada),
yang jelas bicara kesetaraan di Indonesia sudah sangat terpenuhi.
Begitulah
kabar kita dapati disaat bicara mengenai gerakan perempuan yang mencoba
menuntut keadilan yang dirasa masih belum terselesaikan sampai saat ini.
Hal itu bisa diterima, namun berbicara gender, feminisme,
dan gerakan perempuan bukan soal itu saja. Akan tetapi ada beberapa hal yang
menyangkut tentang diskriminasi terhadap kaum perempuan, dan dalam hal ini
penyelesaian harus dilakukan secara menyeluruh agar bisa dikatakan
"keadilan gender sudah terpenuhi."
Beberapa diskriminasi yang terjadi
tehadap kaum perempuan adalah sebagai berikut. Pertama, subordinat
atau selalu menempatkan perempuan pada posisi nomor dua. Disadari atau tidak
dalam hal subordinat masih banyak kita jumpai di kalangan keluarga Indonesia.
Semisal dalam hak mendapatkan pendidikan perempuan berada dinomor dua dan
laki-laki lebih diutamakan, keluarga yang menerapkan hal ini masih sangat
banyak jumlahnya. Jadi tidak bisa sebuah pandangan mengeneralisirnya dengan
alasan sarjana-sarjana perempuan di Indonesia jumlahnya sudah banyak.
Kedua, marjinalisasi
terhadap kaum perempuan masih banyak kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
Hal sederhana yang biasa terjadi dalam sebuah intitusi baik yang bersifat
formal maupun informal, dalam sebuah kepanitiaan yang dibuat untuk mensukseskan
sebuah acara sosok ketua (panitia) perempuan hampir tidak pernah kita dapati.
Perempuan selalu terpinggirkan (dan dipinggirkan) dengan alasan kapasitas,
mobilitasnya kurang dibandingkan laki-laki, jadi wilayah perempuan itu idealnya
sekretaris, bendahara, konsumsi dan lain-lain.
Padahal tak sedikit kita temui
acara yang diketuai laki-laki hasilnya tidak memuaskan. Anehnya lagi kaum
perempuan dalam hal ini juga menganggap sesuatu yang sah-sah saja. Menarik
sebenarnya kalau dilakukan sebuah eksperimen ketuanya perempuan, bisa jadi
hasilnya memuaskan dan acara yang dibuat sesuai dengan target kesepakatan.
Ketiga, peran
ganda (double borden), perempuan selain menjadi ibu rumah tangga juga melakukan
kerja-kerja sampingan, misalnya jadi buruh pabrik, jualan (berdagang) di pasar,
dan lain sebagainya. Hal yang seperti ini tidak disadari dan dianggap suatu
yang sudah lumrah dalam masyarakat, meskipun sebenarnya tidak. Ironisnya
lagi pekerjaan rumah tangga itu tidak dianggap sebagai sebuah pekerjaan dan
lebih parahnya lagi pekerjaan perempuan hanya sebagai tambahan pendapatan
keluarga, hal inilah yang menyebabkan upah perempuan selalu berada di bawah
standar laki-laki.
Keempat, kekerasan
(violence) pada perempuan. Kekerasan yang terjadi pada perempuan sudah terlalu
banyak dengan berbagai macam corak dan motif yang sangat bervarian. Di dalam
keluarga kekerasan terhadap perempuan sering dilakukan oleh suaminya dan
terkadang juga orang tuanya sendiri. Kekerasan yang dilakukan suaminya
terkadang hanyalah sebatas masalah pemenuhan seks, kalau seks suami tidak
diturti maka istri akan menjadi objek yang akan disiksa, diancam, dan dipukuli.
Dalam pendidikan seorang guru yang menjadi penutan biasanya menjadi aktor dalam
kekerasan perempuan. Kekerasan yang bisanya terjadi adalah menyetubi anak
didiknya dengan melakukan teror nilai ujian seperti yang telah kita ketahui
dalam pemaparan media-media.
Kelima, diskriminasi
kepada kaum perempuan di Indonesia sering memakai agama sebagai alat
legitimasi. Dengan dalih hukum agama, laki-laki menjadi sosok superior dan
perempuan sebagai sosok inferior. Sebenarnya agama tidak seperti itu, karena
agama sebenarnya lahir sebagai misi perdamaian untuk ummat.
Penafsiran itu
dilakukan secara literalistik-tertutup (tekstual) sehingga melahirkan pandangan
yang diskriminatif dan kaku. Untuk itu, perlu diadakan penafsiran yang lebih
luas supaya misi agama sebagai perdamaian benar-benar tercipta, khususnya
masalah ketimpangan gender.
Keenam, stereotipe
atau garis yang membuat kesetaran kedudukan tidak sama antara laki-laki dan
perempuan. Stereotip merupakan cap atau label yang diciptakan oleh pandangan
masyarakat yang kemudian berimbas pada keterbatasan ruang gerak perempuan dan
laki-laki.
Prasangka-prasangka kita terlampau sering menyudutkan dan menganggap
perempuan itu sebagai objek penindasan. Semisal anggapan laki-laki itu kuat dan
perempuan itu lemah, laki-laki kasar dan perempuan lembut, laki-laki adalah
pemimpin ideal sedangkan perempuan sebaliknya.
Perbedaan non-kodrati yang timbul di masyarakat itulah
yang membuat perempuan mengalami ketidakadilan gender, mengalami kekerasan,
mengalami kemiskinan. Karena stereotipe yang ada perempuan selalu mendapat uang
belanja dari laki-laki, dan selalu menjadikan laki-laki sebagai sosok yang
ideal dibandingkan perempuan.
Setidaknya enam bagian di atas telah mewakili
bentuk-bentuk diskriminasi yang dilakukan pada kaum perempuan. Enam hal
tersebut benar-benar harus terselesaikan betul, karena tidak bisa kita
mengeneralisirnya dengan satu aspek saja. Semuanya harus diselesaikan untuk
mencapai sebuah titik tujuan "keadilan gender".
Gender berbicara mengenai hak, bukan perlawanan (Lies Marcoes-Natsir dalam Yuli Khairani, Pagar Sang Hawa), begitupun juga feminis seperti yang disampaikan Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, "kaum feminis tidak membenci laki-laki, tetapi menentang patriarkhi, dominasi lelaki serta kelaki-lakian dalam diri lelaki (dan dalam diri para perempuan, yang mungkin menerapkan pola-pola laku serupa), yang diungkapkan dalam bentuk dominasi, mementingkan diri sendiri, agresi serta kekerasan, dan sebagainya." (Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, 1999 : 52-53).
Maka dari itu jangan takut kepada feminisme dan gender karena arti sesungguhnya adalah mencapai suatu masyarakat, di mana perempuan memiliki kebebasan memilih tanpa ada paksaan. Bukankah hal yang seperti ini menjadi impian kita semua dan agama juga? []
Gender berbicara mengenai hak, bukan perlawanan (Lies Marcoes-Natsir dalam Yuli Khairani, Pagar Sang Hawa), begitupun juga feminis seperti yang disampaikan Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, "kaum feminis tidak membenci laki-laki, tetapi menentang patriarkhi, dominasi lelaki serta kelaki-lakian dalam diri lelaki (dan dalam diri para perempuan, yang mungkin menerapkan pola-pola laku serupa), yang diungkapkan dalam bentuk dominasi, mementingkan diri sendiri, agresi serta kekerasan, dan sebagainya." (Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, 1999 : 52-53).
Maka dari itu jangan takut kepada feminisme dan gender karena arti sesungguhnya adalah mencapai suatu masyarakat, di mana perempuan memiliki kebebasan memilih tanpa ada paksaan. Bukankah hal yang seperti ini menjadi impian kita semua dan agama juga? []
No comments:
Post a Comment