Aku dan Segelas Air

DAHULU kau menghampiriku dengan raut muka penuh harap, memaksa aku untuk mengambil segelas air bening di lembah gua terjal nan gelap gulita. Namun kini, setelah segelas air bening itu tersaji di hadapanmu kau seakan tak lagi membutuhkan keberadan air segar itu.

Jangankan meneguknya, untuk melihatnya saja kau seakan tak sudi. Hingga akhirnya kau tuangkan air bening itu di belakangku, dengan bibir manis kau datang dan bilang padaku: “air yang kau sediakan itu tumpah”, pada saat itu aku terkecoh melihat wajahmu tampil dengan rasa bersalah, meskipun sebenarnya itu bagian dari drama busukmu.

Dengan hati lapang akupun mencoba untuk bisa menerimanya, lebih tepatnya terpaksa. Saat itu aku berkata: “tidak apa-apa asalkan saja gelasnya tidak pecah, soal air aku masih bisa mengambilkannya lagi”, meskipun itu tidak semudah seperti yang ada dalam rangkaian kata yang keluar dari mulutku.

Kini kau datang lagi padaku dengan bibir manis seperti dulu. Dalam hati aku berharap ada kabar baik yang akan keluar dari perjumpaan kedua bibirmu. Tapi apa, yang aku harapkan lagi-lagi tidak sesuai dengan kenyataan, kedua bibir manismu itu merangkai kata yang memaksa aku untuk kecewa.

Kaupun bilang kalau, “gelas itu pecah karena kaki meja di rumahku patah”. Entah karena guncangan gempa, atau kesenggol kucing yang lagi asyik bermain, dan bisa jadi kesenggol saat kau sedang berjalan di sebelah meja itu.

Tapi, aku tak mendengar alasan itu keluar dari mulutmu. Yang jelas, meskipun alasan itu muncul akupun tidak akan lagi dengan begitu mudah mempercainya.

Sekarang aku menyadarinya kalau semua kejadian itu adalah rencana yang sudah kau rancang sebelumnya. Dengan berpura-pura kau memberikan sebuah harapan dibalik selimut rentetan kedengkian yang kau persiapkan. Aku semakin mengerti, kalau sebenarnya kau menginginkan aku seperti keberadaan segelas air bening itu, “tak hanya airnya yang tumpah, tapi gelasnya pun juga ikut pecah”.

Namun, satu hal yang perlu kau ketahui.  Bahwa itu semua tidak akan membuat aku kehilangan jati diri. Akan tetapi, semua itu menjadi modal berarti untuk memahami arti kehidupan ini. Banyak pelajaran penting yang bisa kuambil dari kejadian panjang ini, semakin kamu seperti ini aku akan semakin kuat menikmati perjalanan panjang ini.

Karena bagiku ‘niat baik akan selalu berakhir dengan baik. Meskipun aku harus merasakan bagaimana rasanya di cekik bahkan dicabik-cabik. []

No comments:

Powered by Blogger.