NU Terancam?
NU (Nahdlatul Ulama) merupakan salah satu Organisasi Islam terbesar
di Indonesia, bahkan disaentaro dunia. Kuantitas yang sangat banyak ternyata
tidak sebanding dengan kualitasnya. Perlu diketahui, mayoritas anggota NU
adalah para petani kecil, pedagang pasar, peternak, dan nelayan kecil, (baca;
orang pinggiran).
Ada juga dikalangan Kiai yang mengurusi Pesantren, itupun
tidak termasuk dalam struktural kepengurusan NU. Bahkan yang menjadi TKI/TKW
(Tenaga Kerja Indonesia/Tenaga Kerja Wanita), mengadu nasib ni negeri orang
skalanya juga tidak sedikit. Ironisnya lagi, ada yang sampai rela menjual
tubuhnya. Semua itu tidak lepas akan sesuap nasi untuk bisa mempertahankan
kelangsungan hidup.
Sangat jauh bila dibandingkan dengan pengurus-pengurus NU. Mereka
sama sekali tidak kekurangan makan, tempat teduhnya juga layak, bahkan
kebutuhan tersiernya pun terpenuhi. Hidup mereka sudah sama dengan kaum elit
lainnya yang terpesona dengan produk-produk kapitalisme dan hanya mementingkan
diri sendiri, tidak mau melihat bagaimana keadaan warga di bawahnya. Yang telah
menjadikan mereka semua bisa duduk dikursi kepengurusan. Tanpa ada dukungan
dari kaum bawahan atau kaum tertindas, NU tidak akan sebesar sekarang.
Jika hal seperti ini, tidak bisa diselesaikan, maka infiltrasi
gerakan garis keras (Wahabi) serta beberapa kaki tangannya yang lebih tenar
dengan julukan “Gerakan Transnasional” merupakan gerakan petrodollar dengan
mudah memasuki setiap lini warga NU, dalam menyebarkan ideologinya yang
dibungkus dengan nama Islam, serta retorika melalui jargon-jargonnya yang
memukau. Sumber pendanaan yang sangat fantastis dari Arab merupakan proyek
minyak terbesar, adalah modal besar untuk melakukan infiltrasi ke dalam warga
NU sebagai organisasi Islam moderat, toleran, emosional-spiritualitas, serta melestarikan
tradisi dan budaya yang ada. Dalam hal ini, bertentangan dengan faham garis
keras yang selalu menganggapnya bid’ah sesat.
Dewasa ini, kekerasan-kekerasan yang terjadi di Indonesia selalu
memakai nama Islam. Seperti FPI (Front Pembela Islam), MMI (Majelis Mujahiddin
Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Laskar Jihad, Laskar Jundullah,
Laskar fi Sabilillah dan lain sebagainya. Yang sebenarnya buah dari perkawinan
Wahabi dan Ikhwanul Muslimin. Hal seperti inilah yang sebenarnya telah
mencoreng nama baik Islam itu sendiri. Islam yang dikenal sebagai agama
toleran, moderat, dan agama perdamaian telah ternodai oleh gerakan anarkis,
terror, dan kekejaman serta ajaran kaku para kelompok garis keras dengan
menggunakan Islam sebagai baju dalam bertindak.
Aksi bom bunuh diri yang sudah tidak asing lagi di Negara kita,
ternyata bukan hanya membunuh dirinya sendiri melainkan membunuh orang-orang
disekitarnya. Perbuatan yang didasarkan dengan jargon yang selalu mereka
koarkan “Jihad”. Faktanya, mereka hanya memahami Islam secara tekstual saja.
Pemahaman secara mendalam tentag Islam itu sendiri sama sekali tidak ada. Akhirnya,
fanatisme, oportunisme, dan radikalisme bahkan extrimisme mereka anggap cara paling
benar untuk menegakkan agama Islam.
Dengan balutan jubah dan jenggot Arab yang ditampilkan, mereka mendapat
sambutan hangat dari masyarkat. Tak lain hal ini identik dengan kultur Kanjeng
Nabi Muhammad SAW sebagai orang Arab. Akan tetapi sifat dan sikap mereka sangat
tidak sesuai dengan Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Yang sebenarnya mereka lebih
pantas disebut “preman berjubah”. Sebutan “preman berjubah” sangat layak mereka
sandang. Karena hal ini sesuai dengan tindakan biadab yang mereka lakukan di
Indonesia ini, bahkan di seluruh dunia. Dimana, Islam harus menanggung malu
atas tindakan biadab “preman berjubah” tersebut.
Mereka telah mencoreng nama baik Islam sebagai agama rahmatul lil’alamin dan misi universal
Islam sebagai agama sahlih likulli zaman
wa makan. Serta mengabaikan pesan yang disampaikan Kanjeng Nabi Muhammad
SAW kepada para sahabat sepulang dari perang Badr ”Raja’na min Jihadil Ashgar ila Jihadil Akbar” (kita pulang dari
jihad kecil menuju jihad besar). Dalam hal ini, jihad besar yang dimaksud
adalah “perang melawan hawa nafsu”, atau meminjam istilahnya KH. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) mengartikannya “Musuh Dalam Selimut”.
Gerakan garis keras telah
dikendalikan oleh hawa nafsunya sehingga selalu menjadi biang keresahan dan
masalah bagi siapapun. Hal ini sangat jelas menjadi ancaman terhadap NU dengan halauan ASWAJA (ahlussunnah wal jama’ah) yang mana bersifat emosional-spiritual
dalam pemahaman. Ancaman besar terhadap NU terbukti dengan data hasil penelitian
LibForAll Foundation. Yakni, ada tiga aspek kekerasan yang dilakukan trio
gerakan transnasional (Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir).
Pertama, kekerasan doktrinal,
yakni pemahaman literal-tertutup atas teks-teks keagamaan dan hanya menerima
kebenaran sepihak. Dalam hal ini, literalisme-tertutup telah memutus relasi
kongkret dan aktual pesan-pesan luhur agama dari realitas sejarah, sosial dan kultural.
Akibatnya, pesan-pesan luhur agama diamputansi sedemikian rupa dan hanya
menyisakan organ yang sesuai dengan ideologi mereka.
Kedua, kekerasan
tradisi dan budaya, yang merupakan dampak dari kekerasan doktrinal. Kebenaran
sepihak yang dijunjung tinggi membuat mereka tidak mampu memahami kebenaran
lain yang berbeda, dan praktik-praktik keagamaan umat Islam yang semula
diakomodasi kemudian divonis sesat, dan pelakunya divonis musyrik, murtad
dan/atau kafir. Kelompok-kelompok garis keras menolak eksisitensi tradisi, karena
mereka lazim menolak bermadzhab, menolak tradisi tasawuf, dan berbagai praktik
yang merupakan buah komunikasi teks-teks atau ajaran luhur agama dengan tradisi
dan budaya umat Islam di berbagai daerah sepanjang sejarah.
Akibatnya, terjadi
salah kaprah dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Dengan dalih meniru
Kanjeng Nabi Muhammad SAW, para anggota garis keras berpakaian ala busana Arab
seperti gamis dan sorban, memanjangkan jenggot, namun mereka abai atas akhlak
Kanjeng Nabi Muhammad SAW, seperti santun, sabar, rendah hati, pemaaf, dan
seterusnya.
Ketiga, kekerasan
sosiologis, dampak lanjutan dari kedua kekerasan pertama dan kedua. Yakni,
aksi-aksi anarkis dan destruktif terhadap pihak lain yang dituduh musyrik,
murtad, dan/atau kafir. Kekerasan ini kemudian menyebabkan ketakutan,
instabilitas, dan kegelisahan sosial yang mengancam Negara atau wilayah
dimanapun mereka menyusup. Akumulasi dari ketiga kekerasan ini kemudian merusak
nalar dan logika umat Islam akibat jargon-jargon teologis yang diteriakkan
dengan tidak semestinya. Kebenaran, kemudian lebih didasarkan pada jargon
ideologis, bukan pada substansi pesan luhur agama yang disimbolkaan oleh jargon
yang bersangkutan.
Dengan beberapa pemaparan di atas sangat diharapkan NU supaya lebih
melihat komunitasnya yang di bawah. Bagaimana NU menyikapi keadaan warga Nahdhiyin
yang mayoritas keadaan ekonominya di bawah rata-rata. Hal ini sesuai dengan
semangat NU di didirikan. Mengingat penyebaran sekte garis keras sangat kuat di
bidang pendanaan yang luar biasa serta mampu menyusup disemua sektor. Jika pemeberdayaan
ekonomi dalam warga Nahdhiyin tidak bisa direalisasikan, celah ini akan menjadi
peluang besar bagi kelompok garis keras untuk melakukan infiltrasi terhadap
waga Nahdhiyin yang tengah bermasalah dibidang finansial.
Hal itu akan
menjadikan NU sirna (umur NU sama dengan pendirinya) yang sangat tidak
diinginkan oleh seluruh komunitas NU tentunya. Pemberdayaan dalam ekonomi dalam
hal ini, sesuai dengan hasil keputusan Muktamar NU yang ke-27 tahun 1984 di Situbondo,
“kembali ke masa Khittah”,
memosisikan diri sebagai gerakan sosial keagamaan dengan segala keterbatasannya
untuk memberdayakan warga Nahdhiyin pada khususnya dan masyarakat Indonesia
pada umumnya. []
No comments:
Post a Comment