Menimbang Kembalinya PMII Menjadi Banom NU

SALAH satu rekomendasi dari hasil Sidang Komisi Organisasi Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) 2014 adalah memberikan tenggang waktu kepada Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) untuk kembali menjadi Badan Otonom (Banom) NU sampai pelaksanaan Muktamar NU 2015 belum ada titik temu. Hingga saat ini, wacana kembalinya PMII menjadi Banom NU masih menjadi polemik dikalangan kader PMII.

Anehnya, polemik yang terjadi hanya dikalangan kader-kader level bawah, setingkat Rayon dan sebagian dari Komisariat. Hal ini dibuktikan dengan sekian Cabang yang ada di seluruh Indonesia belum memberikan sikapnya, kembali atau tidak. Bahkan beberapa Cabang masih belum terlihat benar-benar serius mendiskusikan kembalinya PMII menjadi Banom NU, apalagi Pengurus Besar (PB).

Lebih parah lagi, polemik ini hanya menjadi obrolan di Sosial Media. Jadi, pernyataan setuju atau tidaknya tanpa didasari argumentasi yang jelas dan kuat. Tradisi dialektis PMII dalam memberi sikap terhadap NU tidak terlihat. Menurut bahasa saya, argumentasi tanpa landasan adalah bentuk dari “arogansi intelektual”. Selama ini kita lantang menyuarakan bahwa PMII adalah market of idea. Pertanyaannya, apakah seperti ini cara PMII berpendapat?

Melihat komentar sahabat-sahabat PMII di Sosial Media terhadap tulisan yang saya tulis sebelumnya. Penulis menemukan beberapa alasan kenapa kader PMII masih menolak kembali ke NU? Pertama, ketakutan PMII dikekang dalam bergerak. PMII takut tidak bisa melakukan gerakan secara bebas seperti saat ini (yang sebenarnya kebebasan tersebut cenderung kebablasan).

Ketakutan di atas sudah dijawab oleh salah satu pendiri PMII, KH. AN. Nuril Huda usai menyampaikan khotbah Jum’at di masjid An-Nahdlah PBNU, “Bagi saya sebagai salah satu pendiri, ideologi Aswaja PMII adalah keyakinan agama. Persoalan independensi sudah selesai, bergeraklah sebebas mungkin, tapi tetap harus balik ke rumah.”

Perkataan KH. AN. Nuril Huda tersebut jelas, bahwa keingingan NU untuk menarik kembali PMII secara struktural bukan untuk membatasi ruang gerak PMII. Akan tetapi pentingnya penegakan ideologi NU (Aswaja) dalam tubuh PMII harus berada dalam kontrol. Hal itu bisa dilakukan jika PMII kembali secara struktural ke NU. Jika tidak, NU tidak mempunyai legitimasi untuk melakukan itu. Bukankah secara kultur PMII dan NU sudah mulai luntur?

Kedua, tidak ada kejelasan ranah gerak dalam Banom NU. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPNU-IPPNU) sebagai organisasi pelajar selama ini juga melakukan kaderisasi di Perguruan Tinggi. Ruang gerak IPNU-IPPNU tersebut dijadikan alasan oleh beberapa kader PMII untuk menolak ajakan kembali ke Banom NU.

Padahal pada Munas-Konbes NU 2014, ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Imam Aziz menyampaikan kenapa PMII penting kembali secara struktural ke NU. Katanya, “Sekarang ini ada keterputusan jenjang kaderisasi. Masa IPNU sebagai organisasi pelajar ada di perguruan tinggi! Biar IPNU fokus ke pelajar dan tidak ada perdebatan soal batas usia."

Kembalinya PMII ke pangkuan NU tidak akan menjadi dualisme gerakan generasi NU di kalangan Mahasiswa. IPNU sebagai organisasi pelajar akan fokus ranah geraknya di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sederajat. Dengan demikian, PMII menjadi representasi NU dikalangan mahasiswa (kampus). Di kampus, PMII akan menjadi tumpuhan NU dalam menyebarkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama'ah. Islam yang selama ini kita kenal Islam Indonesia atau Islam rahmatal lil ‘alamin.

Ketiga, NU dianggap memanfaatkan PMII menjadi lumbung massa dalam momentum politik. Jadi, PMII beranggapan kalau kembali ke NU secara struktural. NU dengan mudah mendikte PMII dalam menentukan arah politiknya.

Kembalinya NU ke khittah 1926 sudah memberi jawaban kegelisahan di atas. Selama ini, khittah 1926 hanya dipahami sebatas keluarnya NU dari partai politik saja. Bahkan warga NU yang kebetulan aktif dalam politik praktis, dianggap tidak melaksanakan amanah khittah 1926. Padahal, dalam khittah 1926 ada empat bagian keputusan Munas Ulama Nahdlatul Ulama yang kemudian disempurnakan menjadi Sembilan bagian oleh Muktamar NU pada kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Dengan demikian, kembalinya PMII ke Banom NU mampu melaksanakan amanah khittah 1926 dengan semurni-murniya. Keduanya saling mengisi kekosongan yang ada demi mewujudkan cita-cita bangsa.

Keempat, kembalinya PMII ke NU dianggap menutup ruang gerak PMII yang berada di kampus umum. Alasan yang dipakai, jika PMII kembali ke NU minat mahasiswa hanya akan berkutat di Perguruan Tinggi Islam saja. Hemat penulis, hal ini tidak bisa dibenarkan.

Justru, dengan kembalinya PMII ke NU akan semakin membuka ruang gerak PMII di kampus-kampus umum. Selama ini mahasiswa NU sudah terbilang banyak yang memasuki kampus-kampus umum. Namun hal itu tidak terkoordinasi secara massif. Akhirnya, mereka lebih memilih menjadi mahasiswa non-organ.

Bahkan, dibeberapa kampus mereka membuat sebuah komunitas NU, sekarang kita kenal Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU). Parahnya lagi, beberapa mahasiswa NU ikut organisasi mahasiswa yang berada dalam naungan kelompok Islam garis keras. Sungguh ironis, Ini salah satu bukti bahwa ada rasa ketidakpercayaan mahasiswa NU terhadap eksistensi PMII.

Untuk itu, kembalinya PMII akan menjadi kebangkitan PMII baru. Di mana, para mahasiswa NU di kampus umum akan masuk PMII. Tentunya, hal ini lantaran legitimasi PMII sebagai Badan Otonom NU. Kegelisahan mahasiswa NU ini akan terjawab dan menerima bahwa Islam yang dibawa PMII sama dengan Islam yang dibawa oleh NU. Dengan demikian, kembalinya PMII ke NU tidak hanya menjamin kebesaran PMII di kampus Islam saja, di kampus umumpun PMII juga akan menjadi sebuah kekuatan besar.

"Selama ini di kampus-kampus umum mahasiswa dari kalangan Nahdliyin seakan-akan belum menemukan organisasi yang tepat. Dengan kembalinya PMII ke NU, maka mahasiswa Nahdliyin memiliki wadah organisasi yang jelas, terutama di kampus umum." (Dr. KH. Malik Madaniy, M.A.)

Kelima, NU dituntut untuk membenahi internal terlebih dahulu. Saat ini dalam tubuh NU sendiri banyak dari kalangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang lahir dari Masyumi. Ada yang dari kalangan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang embrionya jelas dari Islam garis keras serta orang yang tiba-tiba mendadak NU lantaran kepentingan politik. Ketidaksetujuan beberapa kader PMII sering menggunakan argumen tersebut.

Menurut hemat penulis, bukankah kembalinya PMII akan menjawab pertanyaan dan kegelisahan tersebut? Dengan kembalinya PMII menjadi Banom NU, maka NU tidak akan menjadi pasar bebas yang siapa saja bisa masuk. Bagaimanapun juga NU sudah final dengan Pancasila. Diakui atau tidak, PMII lahir dari rahim NU dan PMII adalah organisasi yang setia dengan ajaran Islam Aswaja seperti halnya NU. Untuk itu, PMII adalah pewaris sah NU. Maka dari itu, sudah seharusnya seorang anak pulang ke pangkuan ibunya.

Keenam, perdebatan soal NU struktural dan NU kultural sering dijadikan alasan dalam menolak ajakan PMII menjadi Banom NU. Jika melihat sejarah, pada dekade 80 hingga 90-an perdebatan ini sudah selesai. Namun, setelah Gus Dur naik menjadi orang nomor satu di Indonesia, dengan lebih naïf dari sebelumnya perdebatan ini muncul kembali. Ya, pada saat itu pemuda NU sudah terjebak pada logika pemahaman Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan akademis semata yang semakin jauh dari realita.

Bukankah pemikiran ingin melahirkan sebuah gerakan? Bukankah pula hadirnya refleksi itu untuk melahirkan sebuah aksi? Jika tidak, pengetahuan hanya sebatas memenuhi nafsu komodikasi. Alhasil, gerakan hanya sebatas imajinasi dan perubahan tinggal ilusi. Dalam sejarah Islam, gerakan Islam yang berhasil bertransformasi hanya Wahabisme dan Syiah. Lantas, masihkah kita akan terus mempermasalahkan soal NU kultural dan NU struktural? Dan selalu beranggapan bahwa struktural cenderung kehilangan jati diri. Semoga tidak sesempit itu.

Terakhir, yang meurut penulis masih bertanya-tanya. Kenapa ketika NU ingin mendirikan organisasi mahasiswa, PMII menilainya sebagai langkah yang salah. Di sisi lain, PMII mau di jadikan Banom tidak mau. Jadi, seakan-akan PMII ingin menjadi anak yang di istimewakan oleh NU, diberi kebebasan tanpa pengawasan. Kira-kira begitu.

Menyikapi hal di atas, PMII harus benar-benar mendiskusikan persoalan kembali menjadi Banom NU. Selama ini masih belum ada diskusi serius menanggapi tawaran yang diberikan NU. Bahkan, mandataris Kongres Jambi, Aminuddin Ma’ruf sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) belum memberikan sikap yang jelas. PB PMII hingga saat ini belum ada inisiatif untuk merumuskan dan mendiskusikannya secara serius dan massif. Sehingga kader PMII di level bawah hanya beradu argumen tanpa dasar dan cenderung politis dalam melontarkannya. Bagaimanapun legalitas tersebut ada di PB PMII.

Jika PB PMII tidak punya inisiatif untuk mengkondisikan Pengurus Koordinator Cabang (PKC), Pengurus Cabang (PC), Pengurus Komisariat (PK) bahkan Pengurus Rayon (PR) sebagai struktur terbawah gerbong kaderisasi PMII, maka kader PMII akan larut dalam obrolan yang semakin tidak jelas. Bagaimanapun juga PMII harus memberi sikap soal ajakan kembali ke Banom NU.

Karena NU sendiri, baik secara organisasi maupun perorangan sudah jelas meminta PMII kembali ke NU secara struktural. Bahkan, pihak kaderisasi NU sudah siap memfasilitasi pertemuan PBNU dan PMII. Terus, kapan PB PMII punya inisiatif memfasilitasi para kadernya untuk mendiskusikan ajakan orang tuanya?

Jika terus berdiam diri tanpa ada inisiatif untuk mengkoordinir PMII se-Indonesia, kekuatan PMII akan terpecah menjadi dua. Hal ini ditengarai dengan sikap setuju dan tidaknya dari masing-masing daerah yang tentunya tidak punya legalitas untuk memutuskan. Untuk itu, posisi PB PMII serta Aminuddin Ma’ruf sebagai Ketua Umum harus segera melakukan Musyawarah Nasional sebelum Muktamar NU digelar pada Agustus 2015 mendatang.

Saya sebagai kader PMII tidak ingin melihat PMII dalam kondisi bimbang seperti ini, diam tanpa sikap. Jikap PB PMII seperti ini, maka jangan kaget setelah Muktamar NU 2015, PMII akan terbelah dua seperti halnya HMI. Selanjutnya, terjadi dualisme organisasi mahasiswa dengan organisasi di bawah naungan NU. Tentu hal ini, sangat tidak kita inginkan. Oleh karenanya, mari kita segera rumuskan dan diskusikan secara serius. PB PMII sebagai pimpinan tertinggi bertanggungjawab atas semua ini.

Di akhir tulisan ini saya ingin mengutip perkataan KH. Wahid Hasyim, “Membaca sejarah memang penting, namun membuat sejarah jauh lebih penting”. Dua syarat “Power dan Momentum” sudah ada, tinggal sikapnya. Orang tua sudah bersedia, tinggal anaknya. Kalau sudah tiba waktunya, kenapa musti ditunda. []

No comments:

Powered by Blogger.