Memahami Pemberitaan Negeri Cendikiawan
HINGGA hari ini, semua media
masih nyaman dengan pemberitaan KPK Vs Polri. Tak perlu kemana-mana. Semua
responden muncul dengan tiba-tiba untuk menyatakan sikap dan rekomendasi
terkait kisruh dua institusi. Bahkan, semua elemen terlihat menarik untuk
dimintai pendapatnya. Meskipun, terkadang beberapa responden terlihat sudah
diskenariokan. Tanpa ditanya, penjelasan sudah sampai kemana-mana.
Bukan persoalan Cicak vs Buaya
jilid tiga. KPK vs Polri menjadi isu media yang tak pernah kehabisan tema.
Hampir tiap hari ada sesuatu yang baru atas perseteruan ini. Berawal dari
rekening gendut BG dan penetapan tersangka BW. Satu demi satu muncul mengisi
hangatnya konflik dua institusi. Semua mata tertuju pada pemberitaan KPK vs Polri.
Nama Bareskrim seketika langsung
booming. LSM terlihat bersuara begitu konsisten. Para pengamat satu per-satu
mengeluarkan kata-kata jimat. Para pejabat juga terlihat sibuk berdebat
mengutarakan pendapat. Partai-partaipun ikut mengintai. Para koalisi menjadi
obrolan sarat intervensi. Akademisi siap kawal pemberantasan korupsi, tak
peduli meski harus berhadapan dengan Polri. Beberapa relawan mulai menyatakan
diri jadi lawan. Rakyat mulai terlihat ikut berakrobat soal pendapat. TNI mulai
maju untuk menjadi pagar besi.
Tak luput pula, mahasiswa muncul dengan beragam suara. Hari ini konstitusi benar-benar diuji. Jokowi didesak untuk penuhi janji-janji saat menyampaikan visi-misi. Ada apa dengan negara ini? Apakah ini konsekuensi dari globalisasi? Media menjadi penguasa, negara dipaksa mengikuti skema jurnalismenya. Hingga, AirAsia hilang selesai dengan sendirinya. Padahal masih banyak pekerjaan yang dilakukannya. Semuanya tertutupi oleh KPK vs Polri.
Tak luput pula, mahasiswa muncul dengan beragam suara. Hari ini konstitusi benar-benar diuji. Jokowi didesak untuk penuhi janji-janji saat menyampaikan visi-misi. Ada apa dengan negara ini? Apakah ini konsekuensi dari globalisasi? Media menjadi penguasa, negara dipaksa mengikuti skema jurnalismenya. Hingga, AirAsia hilang selesai dengan sendirinya. Padahal masih banyak pekerjaan yang dilakukannya. Semuanya tertutupi oleh KPK vs Polri.
Bagaimana tidak, perpanjangan
kontrak freeport tak mendapat reaksi. Beberapa kasus korupsi dengan sendirinya
lupa ditangani (sengaja biar tidak ditangani). Disini, kita melihat penegakan
hukum masih jauh dari asas keadilan. Ditambah lagi simpang siur kebijakan.
Membangun masyarakat dari
pinggir, itu kata yang tertuang pada pemerintahan kali ini. Desa menjadi
kekuatan, melalui UU Desa dan Kementerian Desa yang ada keberadaan Desa tidak
bisa disepelekan. Tapi, akhirnya cita-cita mulia itu harus berbagi kue sama
rata. Kewenagan pun dibagi dua. Urusan administrasi menjadi ranah Kemendagri.
Pemberdayaan dsb menjadi wilayah Kementerian Desa. Beginilah negara kita, yang
ideal selalu dicarikan celah agar bisa direkayasa.
Ya begitulah, tujuan mulia UU Desa tiba-tiba tersendat implementasinya. Entah apa yang mendasarinya. Kalau sudah terbagi dua, tumpang tindih sangat mungkin terjadinya. Ternyata, pemerintah belum sepenuhnya membangun bangsa. Kementerian Desa di pangkas kewenangannya. Bagaimana Desa bisa sejahtera, kalau Kementerian Desa tidak punya hak sepenuhnya untuk mengurusi Desa.
Poros Maritim, melauli
Kementerian Kelautan pemerintah hari ini terlihat begitu menjanjikan. Ya,
lagi-lagi sajian media mungkin terlalu berlebihan. Sudah berapa banyak
kapal-kapal tanpa izin dibumi hanguskan. Para nelayan juga diberikan sekian peralatan.
Bahkan beberapa pajak juga dibebaskan. Lantas apakah ini jawaban, kalau
Indonesia sudah kembali lagi sebagai negara kelautan.
Jika berkaca pada sejarah bangsa,
di mana para Kiai terdahulu begitu istiqomah membaca perkembangan isu
Internasional. Akhirnya, kebijakan politik yang beliau lakukan tidak hanya
sebatas menjadi topik hangat pemberitaan. Tapi, kebijakan mampu melahirkan
kemaslahatan, dan tentunya berjangka panjang.
Aku jadi teringat dengan
perkataan salah satu sahabatku. Kalau gak salah dia berkata, "Tidak ada
urusan kemanusian yang tidak dibumbuhi kepentingan. UNICEF saja, di dalamnya
terdapat ragam kepentingan."
Seperti apa yang saya pelajari
dari Marx. Ya, beliau mengajarkan saya untuk suudzon apalagi kepada para
kapitalis. Suudzon menjadi alat utama untuk memahaminya.
Dari situ, melalui obrolan sedang
di warung kopi, saya mendapat kecurigaan mendasar atas jatuhnya AirAsia.
Sederhana saja, di laut kapal-kapal tanpa izin habis dimakan si jago merah yang
disediakan Menteri Kelautan. Namun, apakah kita pernah berfikir kalau
kapal-kapal asing bisa menelusuri laut Indonesia tanpa halangan. Ya, dengan
dalih ikut andil atas pencarian AirAsia mereka bisa dengan leluasa menelusuri
kekayaan yang ada di laut kita.
Memang mereka datang untuk
memberikan bantuan. Tapi, dibalik itu saya meyakini ada sebuah kepentingan.
Semua kapal dikerahkan karna menyangkut kemanusiaan. Setelah itu mereka
menghilang begitu saja, padahal AirAsia masih belum selesai sepenuhnya. Begitu
mudahnya kita diperdaya. Ada apa dengan AirAsia?
Catatan sepertiga malam, mencoba
memahami pemberitaan bersama asap rokok dan nikmatnya kopi hitan. Maka, saya
perlu menuliskan kegelisahan pada setiap kabar yang datang. » Senin, 02 Januari
2015. []
No comments:
Post a Comment