Perjumpaanku Dengan Teman Lama

Tak sengaja pada penghujung Januari saya bertemu dengan teman lama di sebuah gubuk sudut Jogja. Seperti biasa, kami saling menanyakan kabar, sambil lalu tertawa. Bercerita soal kenangan masa lalu, di mana kami pernah merasakan pahit-getirnya kehidupan.

Ya, kira-kira kita dulu satu perjuangan. Bagaimana tidak, suka kami sama-sama. Sedihpun kami bagi rata. Seperti itulah setiap kali kami berjumpa. Entah sengaja atau tidak, berbagi cerita selalu menjadi obrolan yang diiringi dengan canda dan tawa.

Hingga pada sepertiga malam, diiringi petikan gitar kami masih menikmati obrolan. Tiba-tiba, di tengah petikan senar gitar Dia bercerita tentang perasaanya. Aku terkaget, karena ini tidak biasa dalam obrolan kami berdua. Soal rasa kami tak pernah membeberkannya. Tapi, sambil menyambut suara ayam jantan membangunkan orang-orang, Dia bercerita dengan suara pelan. Akupun begitu khusyu' mendengarkan.

Terkaget aku dibuatnya, ketika mendengarkan ceritanya. Ya, kisah yang Dia ceritakan sama dengan apa yang telah dikisahkan oleh seorang cerpenis terkenal, Agus Noor namanya. Dengan sajian tokoh yang berbeda, ceritanya menyerupai kisah pendek yang ditulis Agus Noor, "Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia".

Dua wanita yang jatuh cinta pada satu pria. Seperti Manika dan Alina yang sama-sama ingin mendapatkan cintanya Sukab. Sungguh mendengarkan ceritanya menjadi keberuntungan yang luar biasa. Tidak mungkin saya melewatinya.

Cuman, ada perbedaan dalam menanggapi dua wanita yang jatuh hati padanya. Jika Sukab memberi kotak berisikan irisan telinga pada Alina dan sepotong bibir segar pada Maneka. Dengan bingkisan kata dan karya Dia memberi jawaban pada kedua wanita yang mengharapkannya.

Seperti berada di balik cakrawala, Dia bercerita sambil meneteskan air mata. Aku tak bisa menebaknya, bertanyapun aku tak kuasa. Ada apa dengan air matanya? Apakah karena suara merdu gitar yang dipetiknya? Apakah dilema memilih dua wanita? Apa karena Dia tak kuasa bercerita soal keberadaan hatinya? Atau mungkin Dia berpura-pura? Ah, karena air mata saya jadi banyak menafsirkannya.

Kulihat pagi akan segera tiba. Jalanpun sudah gaduh dengan suara bising kendaran. Asap rokok sudah enggan untuk terbang. Rasa kantuk juga mulai mendera. Namun dalam hati aku masih bertanya-tanya. Kenapa Dia meneteskan air mata?

Akhirnya, kami putuskan untuk menyudahinya. Meski penuh tanda tanya. Dengan mata yang penuh bintang dan rasa penasaran saya. Kamipun berjabat tangan. Berharap di lain waktu kami bisa berjumpa kembali dan berbagi cerita yang lebih panjang lagi.

"Sampai ketemu kembali," ucapku mempersilahkan Dia pergi. Hanya dengan senyum Dia membalasnya.

"Hati-hati di jalan, kalau ada apa-apa jangan lupa kabari aku ya," sambungku melepas langkah kakinya.

Dengan lahkah pelan kakinya Dia berkata, "Kalau kau bertemu dengan dua wanita itu, kamu pasti tau apa yang harus kau sampaikan."

Melihat sorot matanya, lahkah ragu kakinya dan suara gugupnya serta senyumnya yang jelas terlihat memaksa. Aku menjawabnya, "Ya.".


Dengan rasa iba dan penuh tanda tanya aku melangkahkan kakiku dan semakin jauh darinya. Hingga akhirnya, hanya sederet cerita ini yang bisa kupersembahkannya. 31 Januari menjelang 01 Februari aku abadikan pertemuan ini. [Abdul Rahman Wahid]

No comments:

Powered by Blogger.