Silaturrahim (1)
![]() |
Ilustrasi Gambar, Dok. Pribadi |
PADA tanggal
8 Agustus itu saya mendapati 7 panggilan tak terjawab di ponsel. Setelah saya
cek, ternyata dari Bu Muslimah, salah satu penggerak TPA di Dusun Karanggawang,
Mororejo, Tempel. Seketika itu saya kirim pesan singkat untuk beliau. Memohon
maaf karena tidak bisa menjawab panggilannya. Dengan ramah Bu Muslimah mengirim
pesan jawaban.
Selesai
prosesi wisuda sahabat-sahabat yang dilaksanakan pada 8-9 Agustus 2015. Saya
langsung menghubungi Bu Muslimah melalui ponsel. Singkat kata, setelah
mengucapkan "minal aidzin wal faizin" saya langsung menyampaikan
bahwa saya akan silaturrahim ke rumahnya pada tanggal 12 Agustus sore.
Rabu, 12
Agustus 2015 tepat setelah adzan ashar dikumandangkan, saya dan beberapa
sahabat langsung bergegas menuju tempat Bu Muslimah. Sepanjang perjalanan,
rombangan kami terpisah. Ada yang berangkat duluan dengan mengikuti jalur
biasanya. Ada yang mengambil jalur alternatif untuk menghindari kemacetan.
Maklumlah, setiap sore hari di sepanjang Jl. Solo Yogyakarta sudah tidak bersahabat.
Sepanjang jalan mulai pengap, di pinggir jalan bangunan angkuh satu persatu
didirikan. Ya, Jogja yang berhati nyaman seketika itu penuh dengan kebisingan.
Kalau tak mampu mengendalikan emosi, bisa berpotensi tawuran. Ah, semoga ini
tidak berlebihan.
Pemberangkatan
yang terpisah, membuat saya dan satu teman saya finish belakangan. Yang lain
sudah duduk bersila menunggu semacam hidangan. Saya baru saja markir kendaraan
mencari tempat yang aman.
"Alhamdulillah,
akhirnya sampai juga pada tempat, dimana saya menjadi bagian dari keluarga
besar Rayon PMII Ashram Bangsa tiga tahun silam," rasa puas itu muncul
seketika.
"Assalamu'alaikum."
Tak ada jawaban kecuali senyum sahabat-sahabat yang sudah lebih dulu sampai.
Oh, sepertinya Bu Muslimah lagi menyediakan semacam minuman di dapurnya. Ya,
saat itu terdengar suara gelas yang sedang adu jotos. Sudahlah, saya langsung
duduk seperti halnya sahabat-sahabat yang lainnya. Sambil lalu menunggu Bu
Muslimah datang menyambut lalu menyuguhkan teh manis yang dibuatnya.
Tak perlu
waktu lama, Bu Muslimah sudah datang membawa nampan berwarna hitam. Kulihat ada
enam gelas kaca bermotif bunga, semuanya berisi teh panas yang sangat menggoda.
Menggoda kita yang sudah diselimuti kedinginan sepanjang perjalanan.
"Monggo,
diminum tehnya dulu. Keburu adem entar." Dengan ramah Bu Muslimah
mempersilahkan, layaknya seorang Ibu kepada anaknya. Ya, kita sudah ibarat
keluarga di desa kecil ini. Tak perlu sungkan-sungkan, sudah biasa kita berbagi
setiap kesedihan dan kebahagiaan.
Sambil menikmati
teh dan beberapa makanan ringan yang sudah tersedia. Tanpa basa-basi Bu
Muslimah meminta kita menilai hasil lomba mewarnai yang diselenggarakan di
TPA-nya. "Wah, ini pengalaman pertama menjadi juri lomba mewarnai. Padahal
mewarnai saja, kita tak pernah, khususnya saya sendiri." Gumanku dalam
hati sambil mengiyakan permintaan Bu Muslimah.
Tapi apa
hendak dikata, itu harus kita lakukan. Karena ada tiga kategori, maka langsung
saja kita bagi biar cepet mendapatkan para jawaranya. Kategori pertama, tingkat
TK. Kedua, kelas 1-3 MI sederajat. Ketiga, 4-5 MI sederajat. Cukup sulit
menentukan siapa jawaranya. Namun, dengan beberapa pertimbangan selayaknya juri
pada lomba yang lainnya. Kita mampu menentukan siapa yang layak keluar jadi
jawaranya. Hahaha, sungguh juri-juri dadakan yang liar biasa.
Selesai
menentukan siapa yang keluar menjadi jawara. Kita langsung beralih pada obrolan
sederhana, obrolan yang mampu melahirkan tawa bersama. Meskipun satu diantara
kita ada yang sedang sakit hatinya. Hahahaa. Bagaimana tidak sakit. Di tengah
warga Indonesia hendak merayakan kemerdekaannya yang ke-70, Ia harus
menyaksikan janur kuning berkibar satu hari sebelum sang saka merah-putih yang
dikibarkan. Aduh, kasihan juga ya. Tapi mau bagaimana lagi. Semuanya sudah
terjadi, biarlah dia menikmati bagaimana rasanya merayakan dua perhelatan akbar
secara berurutan. Dua perhelatan yang tentunya melahirkan dua potensi,
kegembiraan dan kesedihan. Eits, bakalan hujan air mata yang mengiringi
upacara.
Selesai
tertawa dibalik sahabat yang menderita. Obrolan berganti ke persoalan batu
akik. Upss, dua Kecubung Kalimantan salah satu sahabat harus menjadi hadiah
dari perbincangan itu. Sedikit sedih, tapi cuma sementara. Ingat berbagi itu
sangat luar biasa. Kalau gak percaya, tanya aja sama sahabat saya yang dengan
suka rela menghadiahkan Kecubung Kalimantannya. Batu Kecubung yang baru saja
diperolehnya. Santai waelah, nanti juga ada penggantinya. Lebih bagus malah.
Beneran kan, seminggu lagi ada yang mau ngirim batu akik. Perlu diingat, yang
lain juga kena lo. Tapi waktunya nyusul. Kalau kesana lagi, sambil membawa
pesanan batu akiknya. Hehehehe.
Tetiba saja,
setelah melakukan sholat magrib dan melahap sepiring nasi goreng beserta krupuk
buatan khas warga Karanggawang. Pak Kades mengirim pesan balasan kepada Mas
Damar. Langsung seketika itu pula, kita bergegas menuju rumahnya.
"Bu,
nyuwun cekap nggeh. Ngapunten pun ngerepoti. Niki pun ditenggah kale Pak
Kades." Salah satu dari kita mengakhirinya.
"Oh,
nggeh. Ndak apa-apa. Mboten ngerepoti kok, malah kulo seneng. Mas-mas mau
mampir ten mbriki. Ngapunten mboten saget maringi nopo-nopo. Seadanya saja.
Awas, jangan kapok dolan-dolan nang Karanggawang." Bu Muslimah
menanggapinya.
"Injehpun
Bu, pamit nggeh." Satu persatu-satu dari kami berjabat tangan.
Sebelum
memakai helm masing-masing dan mengambil posisi yang tepat pada motor. Kami
semua sempatkan berjabat tangan dengan Pak Joko, tepat disebelah rumah Bu
Muslimah.
Selesai
berjabat, kami langsung pamit karena sudah ditunngu Pak Kades. "Ngapunten
nggeh Pak, mboten saget jagongan. Pun, ditenggah Pak Kades. Kapan-kapan kita ke
sini lagi kok." Saya meminta maaf karena tidak bisa berlama-lama di
kediamannya.
"Nggeh,
nggeh, mboten nopo-nopo. Saya tungggu besok-besok kedatangannya. Kalau memang
sudah janjian sama Pak Kades, monggo dilanjut. Biasanya beliau emang sulit
ditemui." Pak Joko menimpali.
"Nggehpun
pak, Assalamu'alaikum."
"Walaikum salam" jawabnya sambil menyelipkan senyum khasnya.
Sambil
menaiki motor masing-masing, kamipun berkata: "Pareng Pak, pareng
Bu."
Glak...
Glak... Glak... Kamipun melaju menuju kediaman Pak Kades. [Abdul Rahman Wahid]
No comments:
Post a Comment