Boleh Fanatik, Asal Tidak Primordial



KEMARIN, saat terik matahari begitu terasa panasnya sampai menembus sela-sela benang yang terajut sangat padat. Padat, karena pandangan mata tak mampu menembusnya. Saya mampir pada sebuah toko kecil yang berada di pinggir jalan. Saat itu saya hendak membeli sebungkus rokok. Setelah si penjual datang menjulurkan tangannya, saya langsung merogoh saku untuk mengambil selembar uang yang telah saya sediakan.

Sepertinya, uang yang saya kasihkan melebihi harga. Sambil menunggu si penjual menyiapkan kembalian. Ada seseorang di belakang saya. Anehnya, dia memandangi saya sangat fokus, dari ujung kepala hingga kaki. Sayapun bertanya-tanya pada diri sendiri. Ada apa orang ini, apa yang ingin dia perbuat, apa pula maksut dia menatap saya sebegitu fokusnya. Sayang, pertanyaan itu tak sempat saya sampaikan pada orang itu. Akhirnya, sayapun tak tahu apa maksut orang itu memandangi saya sebegitu rincinya.

Sesampainya di kedai, saya baru sadar dan mengerti kenapa orang tadi itu memandangiku sebegitu detailnya. Ya, setelah saya bertemu dengan seorang teman - saya tidak mau menyebut namanya karena saya belum meminta izin kalau saya mau menuliskan pertemuan saya dengannya. Saat itu, ketika hendak memarkir motor, dengan sangat jelas dia menegurku. Jelas sekali, dia sepertinya melihat ada kesalahan pada diri saya. Setelah mendengar tegurannya, sayapun tersenyum. Senyum itu sebagai tanggapan awal atas tegurannya.

"Brow, kaosmu Liverpool, helm sama motornya pakai stiker MU (Manchester United), sedangkan kamu suka Barcelona. Fans gak jelas kamu ini! (Ketika mengatakan ini, tekanan suaranya keras sekali - membentak). Sebenernya kamu ini pecinta klub mana? (Dengan mata melotot perkataannya begitu intimidatif)." Begitu dia mengatakan tanpa jeda tepat di depan saya.

Akhirnya, saya jelaskan setelah kita berada pada satu meja di kedai kopi. Saya jelaskan dengan cara pandang saya, tentunya subjektif. Yang tidak sepakat dengan ini, sah-sah saja. Mau sepakat juga nggak apa-apa. Atau, mau mempertimbangkan dulu juga boleh-boleh saja. Sekali lagi, ini subjektif - ini menurut pandangan saya, khususnya karena kejadian yang ada.

Saya awali, sepertinya pluralisme dalam sepak bola perlu di kampanyekan. Setidaknya, ini untuk menghilangkan sikap-sikap fanatik-primordial pada para pecinta sepak bola atau penggila bola. Bagaimanapun, supporter juga manusia. Tentunya, dibalik label suppoter, sebagai makhluk sosial kadarnya jauh lebih besar. Cukuplah di lapangan dan saat pertandingan berlangsung, gila bola itu menjadi identitas utama. Di luar itu, kembalilah pada identitasnya - sebagai makhluk sosial. Saling bahu-membahu satu sama lain tanpa mempersoalkan perbedaan yang ada, apalagi cuma karena sepak bola.

Selanjutnya saya tekankan, bahwa kita harus meniru para penggila bola di Eropa. Mereka mampu duduk bersama sambil menikmati kedua timnya bertarung di atas lapangan. Bukan seperti supporter kita, berada di tribun berbeda sambil lempar botol minuman yang sudah ditenggaknya. Apalagi, timnya dalam keadaan kalah. Pagar besipun bakalan di dorong sampai roboh. Bahkan kalau bisa pertandingan dihentikan. Sudah keniscayaan, semua suppoter ingin timnya menang, ingin timnya juara, ingin pemain idolanya mencetak banyak gol dan lain sebagainya.

Singkatnya, semua supporter tidak ingin dikecewakan dengan hasil timnya yang sedang melangsungkan pertandingan. Tapi, bagaimanapun semua ada etikanya. Menang disyukuri, kalah juga disyukuri.

Lebih jauh lagi, saya terus mencoba menjelaskan persoalan sepak bola. Bahwa di Amerika Latin, sepak bola menjadi kekuatan budaya dan mampu bergandengan tangan demi agenda kemanusiaan. Sudah cukup banyak contoh, bagaimana seharusnya kita bersikap sebagai pecinta atau penggila bola. Jangan karena berbeda klub bola, agenda kemanusiaan kita ikut tertelan jua. Bisa-bisa ke-Esa-an Tuhan jadi nomor dua.

Seketika saja, saya teringat dengan wawancara Gus Dur, yang kemudian dibukukan oleh salah satu penerbit beken di Jogja, LKiS. Buku kumpulan wawancara itu diberi judul "Tabayun Gus Dur." Selanjutnya, saya teringat tulisannya Muhaimin Iskandar terkait sepak bola. Buku kecil catatanya itu berjudul, "Spiritualitas Sepak Bola." Sungguh menarik, bagaimana seorang penggila atau pecinta sepak bola benar-benar dituntut untuk tidak fanatik-primordial. Mencintai klubnya tanpa membenci lawannya.

Saya tak habis pikir hanya karena persoalan berbeda klub bola identitas sebagai manusia seketika sirna. Bayangkan, semisal pembunuhan sadis terhadap Aktivis Anti Penambangan Liar - Salim Kancil di Lumajang. Apakah karena kita tau kalau Almarhum pecinta klub bola berbeda, kita enggan mensuarakan pembelaan padanya. Apakah seketika itu pula, kita meragukan perjuangan Salim Kancil yang begitu mulia. Tentu tidak kan, tapi bisa saja ini terjadi. Karena kita juga sudah sering menyaksikan, pembunuhan suppoter terhadap suppoter lainnya. Bahkan, masyarakat yang tak mengerti apa itu sepak bola, terkadang harus direnggut nyawanya.

Apakah karena seorang anak tidak sama klub bolanya, seorang ayah akan mengusir dari rumahnya. Bagi saya ini adalah keputusan gila, yang orang gila saja tidak mungkin melakukannya. Apakah seorang guru menolak menaikkan muridnya pada jenjang selanjutnya, gara-gara klubnya adalah rival abadi di atas lapangan. Atau, seorang dosen akan memberi nilai E karena mahasiswanya Barcelonista, sedang si dosen Madridista. Atau, bahkan seorang Kiai menolak mendoakan santrinya, gara-gara klubnya gagal juara. Dan yang juara adalah klub yang didukung santrinya. Sungguh, kejadian hina yang sangat tidak layak disaksikan.

Seharusnya kita berpikir, bagaimana saat transfer pemain tiba. Mereka santai-santai saja, yang akan menjadi pertimbangan kalau gak uang adalah jam main mereka. Hampir tidak ada, pertimbangan supporter menjadi alasan utama kenapa memilih klubnya. Loyalitas para pemain biasanya muncul setelah jam mainnya penuh, saat pelatih memaksukkan namanya pada line up utama dan juga gaji yang diterimanya lebih besar dari klub sebelumnya. Bagaimana pemain bisa loyal kalau setiap pertandingan hanya berada di bangku cadangan.

Satu hal lagi, jika kita melihat sebuah iklan perusahaan besar. Mereka menjadikan beberapa pemain nomor wahid dari klub sepak bola untuk menjadi bintang produknya, bahkan klub yang biasanya berdarah-darah pada tingkatan suppoternya. Kita tidak begitu menyadari sepertinya, kalau klub-klub itu lebih kepada pertarungan para korporasi. Supporter adalah kelompok konsumerisme dari produk yang akan dikeluarkannya. Bagi saya, ini penting sekali untuk diketahui. Lagi-lagi, menjadi supporter fanatik itu tidak dilarang, tapi jika primordial akan begitu membahayakan.

Oleh karenanya, mari menjadi supporter yang tidak fanatik-primordial. Cukuplah di tribun kita menganggap beda saudara kita. Cukuplah di stadion kita saling intrik untuk menyemangati timnya berlaga. Cukuplah di atas lapangan kebencian kita tersalurkan. Keluar stadion, keluar lapangan, turun dari tribun kita semua adalah makluk sosial - saling membutuhkan. Kostum yang dikenakan hanya berlaku saat pertandingan, tidak sampai di luar lapangan.

Salam olahraga, sepak bola bukan media saling cela. Sepak bola adalah olahraga yang mampu membuat kita saling menghargai sesama. Sudah saatnya, dari sepak bola kita belajar bahwa keragaman suatu yang niscaya. Perbedaan adalah nikmat yang luar biasa. Dari keragaman dan perbedaan yang ada, kita sadar bahwa kita membutuhkan mereka. Karena hidup kita sebenarnya bukan di lapangan, tapi jauh di luar itu. Dimana, kita akan melangsungkan tugas kemanusiaan. []

No comments:

Powered by Blogger.