Indahnya ber-PMII
KABAR itu mendadak saya
dengar. Beruntung saja tak ada agenda penting yang harus saya jalani. Sekitar
pukul 14.35 WIB, memakai satu motor dengan tiga orang menuju kedai kopi. Pada
pertengahan jalan, saya harus segera menuju Bandara. Ya, Mas Eman sudah tiba
dari Lampung. Baiklah, agenda ngopi kali
ini harus saya tunda untuk sementara.
Di
bandara, cukup lama saya menunggu Mas Eman salat ashar. Sesuai pesan, saya
langsung menuju terminal lama. Sampai di lokasi, ternyata Mas Eman sudah berada
di Shelter Dhamri, tepat di depan warung Es Teller 88 pinggir jalan menuju
pintu keluar bandara. Kali ini, Mas Eman benar-benar sudah stay di sana. Saya lihat, beliau menyapa seraya melemparkan senyum
khas provokatornya. Saya pun mengambil motor di parkiran.
Di
perjalanan, saya tanyakan hendak ke mana. MOEDA Institute, begitu beliau ingin
merebahkan tubuhnya. Karena malam harinya, beliau sudah harus menuju Tegal
untuk mengisi agenda kaderisasi yang menjadi bagian dari perjalanan hidupnya.
Sampai
di MOEDA Office, tiba-tiba beliau
mengajak ke Asrama Haji, menghadiri reuni IKA-PMII Yogyakarta angkatan 80-an
dan 90-an. Selsesai menaruh barang-barang dan ganti baju, langsung kami menuju
Asrama Haji. Sebelumnya, saya hendak menghadiri acara reuni itu bersama sahabat-sahabat.
Oh
iya, selain di Asrama Haji, juga ada reuni IKA-PMII angkatan 60-an dan 70-an
yang digelar di Hotel Widuri Jogja. Forum yang mayoritas dihadiri oleh
orang-orang sepuh tersebut membahas persoalan masa depan NU. Serius, begitu
reuni ini dikemas. Hanya sekelumit tawa yang hadir dalam setiap canda mengingat
indahnya masa lalu.
Indahnya
ber-PMII, teks ini membentang dengan background
khas kuning menyanggah logo perisai PMII. Tema yang sangat sederhana, namun
penuh makna. Pertanyaan saya sederhana, dalam rangka apa reuni ini digelar?
Benarkah hanya persoalan melepas rindu selama 25 tahun tak bertemu. Padahal,
kegiatan yang beliau-beliau lakukan sangat padat. Ah, saya terlalu serius
memaknai pertemuan untuk sekadar melepas rindu ini.
Selamat
Datang Alumni PMII Angkatan 80-an, 90-an. Sambutan hangat itu tertulis indah
pada pintu masuk dengan desain gapura kecil yang begitu elegan. Sungguh luar
biasa, acara sederhana ini dihadiri oleh sekian alumni dari berbagai daerah dan
latar belakang yang beragam. Semuanya berbaur tanpa mempersoalkan status sosial
yang tengah di sandangnya.
Selayaknya
Pelatihan Kader Dasar (PKD), semua alumni terlihat menikmati pertemuan indah
ini. Melepas rindu dengan sekian guyonan
masa lalu, mengingat hal-hal yang menjadi bagian dari sejarah mereka. PMII,
itulah ruh kenapa meraka berkumpul hari yang indah ini.
Para
Kiai, Bu Nyai, Politisi, Guru, Dosen, Rektor, DPR RI, Duta Besar, DPRD,
Penulis, Seniman, Pengusaha, Direktur Bank, LSM, Peneliti, PBNU dan lain
sebagainya. Mereka berkumpul tanpa ada batasan. Satu yang mengikat mereka dalam
melepas rindu bertahun-tahun, yakni, sahabat.
Menyaksikan
semua ini, sungguh indah ber-PMII. Di PMII saya diajarakan bagaimana berbagi kepada
sesama. Tak bisa diwakilkan dengan kata-kata, keindahan ini tidak akan pernah
terlupakan. Semua ini akan selalu melekat pada setiap cerita. Saya benar-benar
terpukau menyaksikan semua kebahagian ini.
Eh,
saya sampai lupa mengikuti sahabat-sahabat. Mereka semua bergeriliya,
berkenalan dengan salah satu senior yang sudah dikenal hebat. Jujur, saya
berpikir lain saat itu, bagi saya semua yang hadir adalah generasi emas yang
dimiliki PMII Jogja. Mereka semua patut dan layak dijadikan contoh generasi
hari ini.
Saya
hanya berpikir saat itu, kenapa musti pilih-pilih untuk sowan kepada sesepuh yang ada. Ya, saat itu melalui intruksi
pimpinan. Senior yang ditemui hanya beberapa orang yang punya posisi penting
dan dikenal di PMII. Semisal DPR RI. Wajar, jika ada celetukan, kedatangan
sahabat-sahabat ini untuk minta masukan (wejangan)
atau pemasukan (suntikan uang).
Padahal,
semua yang hadir sangat layak dimintai wejangan
gerakan untuk menjadi contoh gerakan PMII ke depan. Begitu saya beranggapan
dalam hiruk pikuk sahabat-sahabat berbincang dengan sekian prestasi yang
dibeberkan. Entah, apa yang diharapkan dalam silaturrahim ini, saya masih belum
paham.
Saya
sendiri memaknai silaturrahim ini sangat sederhana. Selayaknya orang tua,
beliau-beliau adalah sesepuh di dalam pergerakan. Bukan rasa takjub dan
dijadikan cerita untuk generasi selanjutnya. Akan tetapi, momen ini harus
menjadi evaluasi diri. Bahwa generasi hari ini haru mampu menjadi lebih baik
dari beliau-beliau.
Artinya,
bukan posisi dan kenyaman yang beliau rasakan, tapi proses perjalanan
beliau-beliau yang harus di ambil dan dijadikan pelajaran. []
24/10/2015
No comments:
Post a Comment