Kesadaran Politik Masyarakat Masih Rendah, Benarkah?
MINGGU ini, saya terlibat dalam survei partisipasi masyarakat dalam pemilukada serentak tahun ini, khusus yang berada pada teritori daerah terpencil. Mendapat area yang cukup pelosok dan sebagian besar masyarakatnya adalah petani. Membuat saya tertarik untuk menuliskan catatan pelajaran selama survei ini saya lakukan.
Dari 10 responden yang saya
wawancarai, saya mendapatkan fakta menarik yang mungkin selalu luput dari
tindak lanjut pemerintah setempat. Tentu, selain persoalan perolehan suara dan
bagaiamana tanggapan masyarakat atas calon yang resmi berkompetisi. Atau
persoalan janji yang dalam masa kampanye dikoarkan. Meski itu bukan suatu
kewajaran, tapi kebenaran umum mengatakan itu sudah menjadi kebiasaan.
Ada satu hal menarik ketika
setiap pertanyaan yang saya sampaikan kerap kali dijawab dengan nada polos
"saya tidak tahu soal itu". Dari jawaban inilah, saya menjadi gelisah
atas perjalanan demokrasi di bangsa ini yang sering dibilang sudah demokratis.
Bagaimana masyarakat akan berpartisipasi secara aktif, jika semua persoalan,
bahkan persoalan yang mungkin bagi kita sepele, mereka benar-benar tidak
mengetahuinya (mungkin sengaja tidak diberi informasi). Secara umum, gambaran
ini bisa disimpulkan bahwa kesadaran politik di lapisan masyarakat bawah perlu
dibentuk secara serius. Artinya, pendidikan politik ideal bagi masyarakat
benar-benar harus dilaksanakan. Bagaimanapun juga semua itu sudah tertuang
dalam amanah Undang-Undang.
Menurut saya, kejadian
sederhana ini justru menjadi gerbong besar bagaimana money politic muncul
secara terang-terangan di masyarakat. Karena kondisi seperti ini akan
memunculkan anggapan bahwa bagi-bagi uang dari calon adalah hal yang wajar.
Seakan-akan masyarakat tidak punya pertimbangan lain, selain menerima sepeser
uang tersebut. Kalau sudah begini, jangan berharap ada perubahan bangsa yang
lebih ke depan. Karena, pasca pemilukada masyarakat tidak akan mengawal peoses
kebijakan. Mereka akan kembali pada kegiatan masing-masing dan akan kembali
pada sifat awalnya, apatisme politik. Lantas jika seperti ini, siapa yang harus
bertanggungjawab?
Beragam opini publik mencoba
menganalisa permasalahan ini. Hasilnya, sebagian besar menempatkan masyarakat
pada posisi salah. Hal itu dikarenakan measyarakat mau menerima uang. Saya
sangat kurang sepaham dengan anggapan ini. Bagi saya kurang elok jika
masyarakat kita tempatkan pada posisi salah. Sebelum itu, kita harus menelisik
sampai keakar-akarnya. Apa saja elemen yang bersinggungan dengan persoalan ini.
Baiklah, saya mencoba menemui
beberapa masyarakat waktu itu. Tujuanku sederhana, ingin mengetahui secara
jelas dibalik semua persoalan ini. Dari beberapa orang yang saya temui, 70%
orang itu mencoba jujur menyampaikan kejadian-kejadian yang mungin buruk dalam
konteks demokrasi Indonesia. Terenyuh saya mendapat penjelasan gamblang
tersebut. Kesimpulan reflektif yang saya temukan saat itu adalah "semua
elemen belum memiliki kesadaran politik." Semua pertimbangan hanya
persoalan menang-kalah, dapat jatah, dan lain sebagainya.
Ya, proses politik yang
terjadi melulu persoalan pragmatis sebagai pertimbangan utama. Artinya,
masyarakat bukan tidak sadar arti politik yang sebenarnya. Mereka hanya tidak
ingin dibodohi saja. Dengan menerima uang bukan berarti mereka menerima
sogokan. Bagi masyarakat, itu hal yang paling pasti daripada janji-janji. Yang
sudah barang tentu janji itu tidak pasti.
Money politik sudah sangat
sistemik di negeri ini dan perlu dievalusi secara serius. Jika para pelaku
politik hanya datang pada saat mencalonkan. Datang bersua karena pertimbangan
perolehan suara. Blusukan supaya mendapat dukungan. Bagi-bagi uang untuk
memperoleh kemenangan. Lemah gemulai demi nama baik partai. Bahkan berdo'a
menitikkan air mata biar dianggap lillahi ta'ala. Jangan harap pemebenahan akan
terjadi. Kesejahteraan hanyalah slogan yang hanya terpampang rapi menghiasi
baleho-baleho sepanjang jalan. Semuanya berada dalam lingkar kebohongan yang
dikemas dengan kebaikan.
Satu penjelasan panjang lebar
dari petani yang kuajak berbincang. Dengan jujur Ia katakan, "uang segitu
paling cuma cukup buat beli rokok. Kalau untuk kebutuhan dapur, dapat apa uang
segitu. Sebenarnya masyarakat tidak butuh uang itu. Tapi mereka (baca;
politisi) selalu menganggap kita akan terbuai dengan iming-iming uang. Mereka
salah memandang seperti itu."
Lebih jauh petani itu
menjelaskan, "kami itu sadar bahwa berpartisipasi dalam pencoblosan adalah
kewajiban bagi warga negara. Kami akan selalu terlibat, itu kan agenda bersama
menentukan seorang pemimpin. Tapi keinginan ini tidak pernah mendapat respon
positif dari pemerintahan. Seharusnya yang begini kan diperhatikan."
Saya benar-benar kaget
medengarkan penjelasan seperti ini, apalagi dari seorang petani. Dibalik
pakaian yang dipenuhi lumpur, petani itu memikirkan suksesi pemimpin daerahnya
lima tahun ke depan. Dibalik kedua tangan yang memegang sabit dan cangkul,
petani itu masih berpikir bagaimana pemerintah seharusnya merangkul. Di bawah
kulit yang tersengat sinar matahari, petani itu pun berpikir bagaimana
daerahnya bersih dari korupsi. Dalam hati kuucapkan, "Petani, kau pahlawan
yang kutemukan hari ini."
Satu hal yang dibutuhkan di
masyarakat dalam hal politik. Mereka semua membutuhkan pendidikan politik
secara arti luas. Bukan politk sebagaimana mereka saksikan. Jika pendidikan
politik ideal masyarakat dapatkan. Sudah bisa dipastikan, uang yang
digelontorkan para calon akan mereka tolak dengan berbagai pertimbangan. Dengan
sendirinya, money politic sedikit demi sedikit tidak tampak di negeri antah
brantah ini.
Jika sudah seperti ini,
jangan bicara tugas siapa untuk melakukan. Semua punya tugas sesuai porsi
masing-masing. Tinggal bagaimana harapan generasi terhadap perjalanan bangsa ke
depan. Karena, apatisme politik bukan solusi untuk memperbaiki keburukan
politik yang terjadi. []
No comments:
Post a Comment