Pilkada dan Kualitas Pemimpin
PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) serentak yang digelar pada 9 Desember 2015 telah usai. Melibatkan 654 daerah, demokrasi tingkat lokal ini masih jauh dari harapan. Sebagai arena menjaring pemimpin yang ideal, pilkada serentak kali ini tak jauh sama dengan pilkada sebelumnya. Hanya ‘serentak’ yang menjadi pembedanya.
Di tengah krisis
kepemimpinan yang melanda bangsa, pilkada serentak belum mampu menjadi
jawabannya. Banyaknya persoalan menjadi indikator bahwa
pilkada serentak tahun ini hanya dominan persoalan efisiensi anggaran.
Selebihnya, hiruk pikuk pilkada masih mencerminkan kepesimisan akan lahirnya
pemimpin yang berkualitas, kredibel dan tanpa cela.
Banyaknya angka golput
yang terjadi pada pilkada serentak jilid pertama ini menjadi bukti awal atas
kualitas pemimpin yang terpilih. Bahwa kepercayaan masyarakat kepada calon
masih sangat minim. Ada apatisme politik yang jumlahnya lebih besar dari pada
gelaran pilkada sebelumnya. Padahal keterlibatan aktif masyarakat dalam gelaran
demokrasi adalah faktor penentu pemimpin ke depan. Jika masyarakat sudah acuh
tak acuh, rasanya pemimpin terpilih tak bisa dijadikan ukuran bahwa ia kredibel
dan berkualitas.
Masalah selanjutnya
adalah dominasi kemenangan petahana, versi quick count menyebutkan hampir
70% petahana keluar sebagai pemenang. Ada dua kemungkinan ketika petahana mampu
meraup suara fantantis. Pertama, keberadaan petahana memang sudah
menunjukkan kinerja yang bagus pada sebelumnya. Akhirnya kepercayaan itu
membuat petahana terpilih kembali sebagai pemimipin daerah. Namun alasan ini
sangat sedikit sekali. Kedua, petahana menggunakan kekuatan di luar
elektabilitas yang telah dilakukan. Masyarakat memelih karena alasan lebih
mengenal petahana saja. Meski kinerjanya tidak baik, setidaknya petahana tidak
sampai melakukan tindakan fatal yang mengecewakan masyarakat. Alasan ini hadir
sebagai bukti bahwa pembelajaran demokrasi di bangsa ini masih minim.
Selanjutnya masalah yang
masih sangat sulit dihindari dalam perpolitikan bangsa ini adalah politik uang
(money politic). Politik uang pada pilkada serentak akhir tahun ini
masih sangat banyak terjadi. Sepertinya, proses demokrasi bangsa ini masih
sulit lepas dari jeratan politik uang. Jika peran politik uang masih marak,
bisa dipastikan kualitas pemimpin yang ada masih sangat menghawatirkan. Tak
jauh beda dengan sebelumnya, perubahan hanyalah janji di siang bolong.
Terakhir persoalan
keterlibatan artis dalam pilkada serentak kali ini cukup mencengangkan.
Sepertinya terang, bahwa kinerja partai politik dalam kaderisasi perlu
dipertanyakan. Akhirnya, kemenangan yang diraih bukan karena pertimbangan
kualitas akan tetapi popularitas, artis lebih dikenal di masyarakat. Padahal
pemimpin yang dipilih kelak akan melanjutkan trennya dilingkup nasional.
Dengan demikian, pilkada
serentak sebagai ajang menjaring pemimpin tanpa cela masih jauh dari cita-cita.
Pilkada kali ini masih belum cukup dijadikan acuan sebagai ladang kaderisasi
pemimpin nasioanal. Artinya, pelajaran demokrasi lokal kali ini belum sepenuhnya
dirasakan oleh masyarakat.
No comments:
Post a Comment