Mencari Pemimpin di Pilkada Serentak
INDONESIA tengah berada dalam kondisi
krisis kepemimpinan. Sejak reformasi bergulir (1998) hingga hari ini, tak
banyak nama yang mendapat kepercayaan masyarakat. Bahkan, maraknya kasus
korupsi yang menjerat para pemimpin kita membuat rakyat kehilangan rasa
percaya. Ironisnya lagi, hari ini para pemimpin kita selalu menampilkan
kegaduhan-kegaduhan di depan publik. Kepentingan rakyat sudah tersisihkan, para
pemimpin lebih mengutamakan kepentingan politik kelompoknya.
Pada 9 Desember 2015 Indonesia akan
menggelar Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak. Pilkada
serentak pertama kali ini melibatkan 269 daerah, 9 diantaranya akan memilih
Gubernur dan Wakil Gurbernur, 224 pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, dan 36
akan memilih Walikota dan Wakil Walikota. Pesta demokrasi kali ini tidak
sebatas meminimalisir anggaran semata. Namun mampu menjaring pemimpin di
tingkatan lokal yang nantinya akan melanjutkan kiprahnya pada tataran nasional.
Sebagai amanah konstitusi UUD 1945,
pilkada merupakan sarana pembelajaran demokrasi bagi masyarakat luas. Praktik
demokrasi secara langsung ini harus menjadi kesadaran bersama, bahwa memilih
merupakan usaha untuk menentukan nasib bangsa. Artinya, kegagalan pemimpin pada
tingkat lokal berdampak pada tingkat nasioanal. Karena jenjang kepemimpinan ini
memiliki keterikatan. Dalam arti lain, demokrasi daerah ini adalah sarana
kaderisasi menjaring pemimpin nasional.
Hajatan demokrasi tingkat daerah ini
harus mampu menghasilkan pemimpin yang berpihak pada rakyat. Tentunya, para
pasangan calon yang berkompetisi harus beratarung secara sehat. Etika dalam
berpolitik harus dikedepankan, bukan saling menjatuhkan. Dengan harapan,
siapapun yang keluar sebagai pemenang bukan hasil dari manipulasi suara,
politik uang atau kecurangan-kecurangan lain seperti biasa dipraktikkan dalam
pilkada-pilkada sebelumnya. Kompetisi di gelaran pilkada kali ini harus
berlangsung secara profesioanal, sesuai aturan main yang telah disepakati
bersama.
Selanjutnya, rakyat juga menggunakan
hak pilihnya sebagaimana mestinya. Penggunaan hak pilihnya tidak didasari
karena sogokan uang yang didapatnya. Menjadi pemilih cerdas dalam pilkada
serentak tahun ini adalah pilihan yang tidak bisa ditawar. Semua pemilih
diharapkan menentukan pilihannya dengan segala pertimbangan. Bagaimanapun,
pilihan menentukan nasib bangsa ke depan. Jika salah memilih, maka pemimpin terpilih
akan membawa kekecewaan saja. Karena mereka terpilih bukan atas kredibiltas dan
kepercayaan masyarakatnya.
Hal penting lagi dalam pilkada
serentak akhir tahun ini adalah para tokoh masyarakat. Sebagai panutan di
daerah masing-masing, tokoh masyarakat diharapkan menjadi benteng masyarakatnya
agar terhindar dari pragmatisme politik. Sebagai tokoh masyarakat sudah
seharusnya menjadi pihak yang netral bukan malah menjerumuskan. Artinya,
kepercayaan masyarakat jangan sampai digunakan untuk mendukung salah satu
pasangan calon yang akan berkompetisi. Karena ini akan naif, kedewasaan politik masyarakat justru terjajah.
Oleh karenanya semua pihak yang ada,
baik pasangan calon, masyarakat serta tokoh yang ada harus bersama-sama
mensukseskan pilkada serentak ini sesuai kapasitas dan ranah masing-masing.
Harapannya jelas, pilkada serentak dipenghujung tahun ini mampu melahirkan
pemimipin lokal yang baik dan nantinya akan melanjutkan kiprahnya di ranah
nasional. []
No comments:
Post a Comment