Menjaring Pemimpin (Tanpa) Cela
PILKADA serentak yang
digelar pada 9 Desember 2015 merupakan perwujudan demokrasi di tingkatan lokal.
Dimana setiap masyarakat memilih pemimpin daerahnya secara langsung, terbuka
dan rahasia.
Demokrasi ini diharapkan mampu menjaring
pemimpin daerah yang bersih tanpa cela.
Namun, seusainya pilkada serentak muncul pertanyaan mendasar, benarkah
pemimpin yang terpilih sudah sesuai dengan keinginan rakyat? Benarkah pemimipin
yang terpilih adalah para tokoh yang elektabilitasnya tidak diragukan lagi?
Pertanyaan di atas
merupakan bentuk keraguan akan hadirnya pemimpin yang kredibel, pemimpin yang
selalu mementingkan kehendak rakyat. Secara procedural, pilkada serentak bisa
dikatakan terlaksana dengan baik. Artinya, proses demokrasi tingkat daerah ini
sudah dijalankan sesuai UU yang berlaku. Adapun kekurangan-kekurangan yang
menyertainya merupakan suatu yang wajar.
Bagaimanapun, pilkada serentak kali
ini adalah jilid pertama yang nantinya akan diserentakkan secara nasional pada
tahun 2027. Jadi, kekurangan dalam pelaksanaan menjadi suatu yang biasa
terjadi. Dan selanjutnya akan menjadi bahan evaluasi.
Politik uang menjadi
alasan mendasar atas keraguan terhadap pemimpin yang terpilih. Banyaknya
serangan fajar menjadi bukti bahwa demokrasi bangsa ini masih sangat bergantung
pada uang. Satu suara sudah mempunyai tarif masing-masing disetiap daerah.
Dalam hal ini, demokrasi menjadi milik orang-orang yang berkantong tebal.
Pilkada serentak disambut dengan riang gembira dan dinikmati oleh segelintir
orang saja.
Adanya politik uang ini
membuat hak demokrasi masyarakat terjajah. Akhirnya, janji-janji yang terlontar
saat kampanye hanyalah kepalsuan. Sama seperti sebelumnya, kalau sudah terpilih
lupa untuk menepati janjinya. Setelah
itu, kebijakan yang di keluarkan bukan atas pertimbangan kesejahteraan rakyat.
Akan tetapi, kebijakan yang di keluarkan selalu berangkat dari kepentingan
pribadi, kelompok atau partai pengusungnya. Demokrasi sudah menjadi lahan untuk
memperkaya diri, atas nama demokrasi kratifitas para pemimpin semakin terasah
untuk melakukan kejahatan korupsi.
Belum lagi kedewasaan
politik para pemimpin kita sudah berada pada titik yang menyedihkan sekali.
Kompetisi yang seharusnya berjalan sesuai kesepakatan bersama, harus dinodai
karena tidak bisa menerima kekalahan. Demokrasi mengajarkan kita bahwa yang
menang tak perlu jumawa, pun yang kalah tak perlu melakukan tindakan yang tak
pantas dipertontonkan.
Oleh karenanya, pilkada
serentak kali ini harus dimaknai sebagai arena menjaring pemimpin yang baik,
kredibel dan tanpa cela. Pemimpin yang baik tanpa cela bisa dicerminkan dengan
sikap kedewasaannya dalam berpolitik. Bertarung secara sehat merupakan ciri
pemimpin masa depan.
Pilkada serentak tahun
ini gagal menjadi gelanggang kaderisasi pemimpin nasioanal. Demokrasi lokal
kali ini masih memberikan sekian tinta hitam dengan mengubur makna demokrasi
yang sebenarnya. Serangan fajar, saling serang antar tim sukses serta
penyerangan pihak yang kalah merupakan indikator bahwa pilkada serentak masih
jauh dari kata demokratis.
Jika uang masih menjadi
alat utama untuk meraih kemenangan, kekerasaan menjadi satu-satunya cara untuk
menolak hasil penghitungan, serta fitnah terlontar dengan begitu mudahnya,
jangan harap pemimpin tanpa cela lahir dari pilkada serentak kali ini. Karena
seorang pemimpin harus bersikap dewasa, kalah menerima, menang tak jumawa. []
No comments:
Post a Comment