Panggil Aku Pambayun Saja

Sosok Kartini Hari Ini


PADA Rabu 29 April 2015, tepatnya sore hari. Aku melakukan kunjungan ke salah satu Putri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Pambayun begitu beliau dikenal. Tidak ada perencanaan sebelumnya, pertemuan pertamaku ini benar-benar di luar rencana yang diagendakan. Ya, aku hanya mengikuti ajakan teman yang ada kepentingan wawancara dengan beliau.

Tak lama kami melakukan perjalanan, meskipun harus bertanya beberapa kali kepada orang-orang yang ada di pinggir jalan. Maklumlah, kami semua baru pertama mengunjungi Dalemnya. Sebelum-sebelumnya belum pernah.

Ketika bertanya ketiga kalinya pada seorang bapak yang sedang mereparasi kendaraannya. Ternyata, Dalemnya sudah dekat. "Tinggal lurus aja, lalu belok kiri. Ada pintu besar. Nah, di situ Dalemnya." Begitu laki-laki paruh baya itu menjelaskan arah menuju Dalem Kanjeng Putri GKR Pambayun.

Sampailah kami di depan pintu besar, seperti yang ditunjukkan oleh lelaki seberang jalan tadi. Kebingungan dan kaget, itu hal pertama yang kurasakan. Menatap pintu besar itu mengingatkan aku akan cerita-cerita kerajaan Jawa yang tertulis dalam buku.

Pintu besar yang berfungsi sebagai pintu utama itu diapit oleh dua Arca besar. Namun aku tak tahu dua Arca itu simbol dari apa. "Ah, tak penting saya memikirkan dua Arca yang hanya diam itu." Gumanku dalam hati.

Salah satu dari temanku langsung mengambil besi berbentuk gelang lalu menempelkannya kepada daun pintu besar itu. Mungkin kalau zaman sekarang, yang begituan disebut bel. Tapi, ini jauh lebih keren.

Dengan tiga kali ketukan saja, seorang satpam langsung membukakan pintunya. Dengan sopan mempersilahkan kami masuk. Tercengang sedikit, serasa ada di kerajaan seperti dibuku-buku. Terlihat Joglo, mungkin dulu tempat rapat orang-orang kerajaan. Model, ukiran dan bentuknya hampir tidak ada yang serupa dengan hasil arsitek zaman sekarang. Namun, kekuatannya bisa dipastikan tidak ada bandingannya. Bangunan itu terlihat begitu perkasa dan kokoh. Mungkin, angin puting beliungpun tak akan mampu mengangkat bangunan tersebut. Karena kokohnya yang tak tertandingi.

Tanpa dipersilahkan, kami langsung menduduki empat kursi yang mengelilingi satu meja berbentuk bundar. Tak ada sambutan saat itu, karena kulihat Tuan Putri sedang ngobrol asyik dengan seorang tamu yang duduk di belakangku. Melihat ekspresinya, sepertinya beliau begitu menikmati perbincangan. Aku tak mendengar sedikitpun apa yang diobrolkannya kecuali tawa disela-sela percakapannya.

Sambil menikmati pemandangan Dalem yang luas, dua orang perempuan ramah mengantarkan suguhan minuman kepada kami. Dengan sabar meletakkan gelas berisi teh hangat itu satu persatu persis di depan kami. Sambil mempersilahkan dengan senyuman.

Baru dua perempuan itu berbalik badan, aku langsung menenggak teh yang dihidangkan. Hehehe, terlalu haus mungkin diriku. Tak berapa lama, dua perempuan itu datang kembali. Kali ini yang di bawanya adalah sepotong roti. Seperti teh tadi, begitu dua orang perempuan itu menyajikan dan mempersilahkan.

Di kursi belakang, Tuan Putri masih asyik ngobrol dengan tamunya. Sambil ngobrol kami menunggunya. Di tengah kami sedang tertawa, karena memperbincangkan soal camera yang akan kami buat dokumentasi nantinya. Tiba-tiba Tuan Putri datang menghampiri, langsung saja serentak kami berdiri lalu satu per satu dari kami menyalami Tuan Putri.

Karena dilihat tidak ada kursi kosong yang bisa diduduki. Tuan Putri menyuruh kami pindah ke sebelah, tempat beliau ngobrol sama tamunya tadi. Ya, kursi ini jumlahnya lebih banyak, mejanyapun dua. Cukuplah untuk kami mengobrol ria sambil menyampaikan maksud kedatangan kami.

Tanpa di komando, kami mengambil iniasiatif untuk menduduki kursi yang masih kosong. Ucapan selamat datangpun Tuan Putri sampaikan. Tanpa banyak pengantar, satu persatu dari kami mengenalkan diri.

"Nama saya Siroj." Begitu temanku mengawali perkenalannya sambil menundukkan kepalanya. Ya, kira-kira seperti dua pendekar yang mau tarung. Hahaha.

"Saya Munir." Giliran temanku yang kedua memperkenalkan diri. Kulihat dia agak gerogi. Suara yang dikeluarkan tidak begitu jelas. Maklumlah, kan ketemu sama Kanjeng Ratu. Santai aja bos. Hahaha.

Kini giliran saya memperkenalkan diri kepada Tuan Putri. Tak ada kata yang keluar dari mulutku, hanya senyum tipis yang kusampaikan. Tapi, Tuan Putri terlihat begitu paham. Bahkan Beliau membalasnya dengan senyuman serupa tanpa ada lagi pertanyaan.

"Saya Emon." Teman yang duduk di sebelah kananku langsung memperkenalkan diri tanpa basa-basi.

Selesai kami memperkenalkan diri. Siroj langsung memulai obrolan, menjelaskan panjang lebar maksud dan tujuan kami berempat menemui Tuan Putri. Kudengar, dia akan mendiskusikan soal kepemudaan. "Wah, mantap sekali pembahasan ini." Dalam hati aku menanggapinya.

Tuan Putri langsung menjelaskan dengan rinci apa yang ditanyakan. Kulihat dia begitu menguasi pertanyaan yang ditujukan padanya. Tidak hanya kata, sorot matanya, gerak tangannya, mimik wajahnya hingga penekanan dalam setiap kata yang diucapkannya. Menjadi penjelas akan apa yang disampaikannya. Bahkan, tanpa mendengarkan suaranya dan hanya menyaksikan ekspresinya. Aku bisa paham akan apa yang hendak disampaikannya.

Tidak habis pikir, aku hanya dibuatnya terkagum oleh Putri berkulit sawo matang itu. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Munir mengajukan beberapa pertanyaan. Entah dia paham atau tidak. Atau jangan-jangan dia hanya ingin melihat Tuan Putri menjelaskan saja.

Sangat simple Tuan Putri menjawabnya. Kulihat Munir kikuk, tak bisa menanggapinya. Namun, suasana itu langsung hilang. Emon dengan semangat menyampaikan segala kegelisahannya akan 'kepemudaan'. Lagi-lagi jawaban Tuan Putri simple sekali. Dan membuat Emon kesulitan mengajukan pertanyaan lagi.

Giliranku untuk bertanya, namun aku lebih memilih diam. Dalam hatiku berkata, "Tak perlu aku mengajukan pertanyaan, cukuplah mendengar apa saja yang hendak beliau sampaikan." Hehehe, padahal aku lebih pada posisi gerogi saat itu.

Tapi benar, keputusanku untuk tidak bertanya. Membuat Tuan Putri bercerita akan pengalaman hidupnya. Di sinilah beragam ilmu kami dapatkan, setidaknya bagiku. Karena aku benar-benar memperhatikan apa yang beliau sampaikan.

Ya, mengenal sisi lain GKR Pambayun. Jauh dari pandangan pada umumnya. Perjalan hidup beliau benar-benar keras. Tak lain, hal itu adalah didikan yang diberikan oleh Sultan, ayahanda tercintanya.

Lima Putri bersaudara ini bercerita bagaimana Ia saat di bangku pendidikan hingga sekarang. Dalam menempuh study Beliau lebih keras dari apa yang saya saksikan hari ini, jatah bulanan orang tua hanya cukup untuk membayar biaya saja. Selebihnya beliau harus berinisiatif untuk mencari sendiri.

Tak heran, jika Putri pertama Sultan Hamengku Buwono X ini juga pernah merasakan bagaimana berjualan batik dari stand ke stand. Tanpa merasa malu dengan status sosialnya sebagai Putri Sultan. Bahkan, beliau mengatakan, yang sempat malu malah Sultan ketika memergokinya sedang berjualan di salah satu stand pameran di Djogja. Sungguh luar biasa. Perempuan inspiratif Kota Istimewa.

Ya, tidak ada kata manja dalam proses kehidupan yang dilaluinya. Hingga hari ini, beliau menjadi DPD KNPI Djogja. Semua itu adalah hasil kerja keras yang beliau jalankan. Bukan semata-mata karena beliau Putri Sultan.

Begitu banyak proses hidup yang beliau ceritakan. Namun, ada beberapa pesan yang masih sangat terang tercatat dalam kepalaku. Pertama, beliau mengajarkan bahwa siapapun bisa menggapai cita-citanya. Kuncinya adalah usaha.

Kedua, organisai menjadi wadah yang penting. Karena di organisailah kita bisa belajar tentang karakter seseorang dan lain sebagainya.

Ketiga, bahwa pemuda tak sesempit apa yang tercatat dalam UU. Semangat menjadi idestitas yang pantas disematkan. Tak heran, jika di usianya yang 43 beliau masih dipercaya untuk memimpin organisai kepemudaan.

Keempat, kebencian atau ketidak sukaan terhadap sesuatu yang dinisbatkan pada organisasi. Karena itu hanya bagian kecil. Banyak hal yang bisa kita lakukan, yang menurut kita nyaman lakukan asalkan tidak menyimpang.

Kelima, sebagai pemuda jangan tergantung pada pemerintah. Banyak cara yang bisa dilakukan. Kalau kita bisa memberi kenapa kita musti meminta. Berbagi adalah investasi yang abadi.

Terakhir, beliau mengajarkan tentang pikiran dan rasa. Di mana, keduanya harus berjalan secara beriringan. Ya, mendengar itu saya langsung teringat akan teorinya Habermas tentang komunikasi. "Komunikasi adalah paradigma solutif sebuah perubahan." Begitu Habermas mengatakan. Tidak hanya perkataan, namun kita siap menjadi bagian secara langsung dari realita yang ada.

Langsung saja, saya berkesimpulan bahwa beliau adalah sosok Kartini pada era ini. Bukan karena beliau Putri Jawa. Bukan, bukan itu. Itu hanya kebetulan saja. Tapi cara beliau berjuang, meniti kehidupan, mengembangkan wawasan dan semacamnya. Itulah kenapa saya menganggap beliau adalah sosok Kartini pada masa kini. Sungguh, kesempatan berharga bisa berdiskusi dengan beliau. Semoga kesempatan ini akan terulang kembali.

Kesederhanaannya dengan tanpa menghiraukan status sosial yang di sandangnya membuat aku teringat akan sosok Kartini yang ditulis oleh Pram, "Panggil Aku Kartini Saja". Dengan demikian aku ingin mengikuti jejak Pram. Maka tulisan inipun saya beri judul, "Panggil Aku Pambayun Saja". Semoga ini tidak mengurangi rasa hormatku pada beliau.

"Wani getih, ngo belo negoro." Kutipan bahasa Jawa yang selalu beliau ulang. Di situlah identitas pemuda sebenarnya. Adakah hari ini? []

No comments:

Powered by Blogger.