Peran Pemuda dan Santri Dalam Membela Negara



DALAM rangka memperingati Hari Bela Negara, MOEDA Institute menggelar Pelatihan Penguatan Semangat Bela Negara pada Minggu, 13 Desember 2015 di Padepokan Musya Asy'ari Jalan Solo Km. 8, Dusun Nayan No. 108A, Maguwohardjo, Depok, Sleman, Yogyakarta.

Mengangkat tema "Optimalisasi Peran Santri Sebagai Pemuda Pelopor Pertahanan Karakter dan Jati Diri Bangsa", Direktur Moeda Institute Khafif Sirojuddin menyampaikan bahwa pemuda atau santri mempunyai peran penting dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Disadari atau tidak, akhir-akhir ini radikalisme dengan bentuk baru mulai menyusup dikalangan anak muda, bahkan mereka yang tiap hari bergelut dengan dunia pendidikan. Dari itu, Moeda Institute sebagai lembaga yang konsen dalam isu pemuda memiliki tanggung jawab untuk mengambil peran dalam Bela Negara ini. Melalui pelatihan ini diharapkan, dalam diri peserta tertanam bahwa NKRI harga mati. Pancasila sebagai falsafah bangsa sudah final." Ujar Khafif Sirojuddin dalam sambutannya, Minggu (13/12).

Dalam studium general, Kang Jadul Maula Pengasuh Pondok Pesantren Kaliopak Wonosari, Bantul menjelaskan bahwa sepanjang sejarah bangsa, pesantren selalu setia membentengi NKRI. Resolusi Jihad yang ada, menurutnya, bagian bukti sejarah bahwa santri atau pemuda memiliki peran inti dalam mengawal dan menjaga NKRI.

"Jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan didengungkan, sejak 1866, para kiai di Aceh sudah merumuskan wasiat tentang prinsip-prinsip menata negara. Dokumen itu kemudian disebar keseluruh penjuru Nusantara. Dalam wasiat itu nama Republik Indonesia sudah disebutkan, bahasanya al-jumhuriyah al-indonisiah. Prinsip-prinsip dasar itu kemudian secara substansial melebur ke dalam lima sila yang ada di Pancasila." Terang Kang Jadul yang juga menjadi Pengurus Lesbumi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Lebih jauh lagi, Kang Jadul menjelaskan bahwa kenyataan sejarah itu hilang sejak adanya provokasi para intelektual Abad ke-20. Menurutnya, seperti disampaikan Sutan Takdir Alisjahbana bahwa abad ke-20 adalah era baru memperjuangkan Indonesia. Kang Jadul menilai bahwa itu adalah provokasi intelektual yang berkiblat pada Barat, menempatkan individualisme dan materialisme sebagai ukuran mendidik orang dengan sekularisme.

Akhirnya, kata Kang Jadul, sebagai konsekuensi dari politik etis, nasionalisme dan agama selalu didikotomikan. Padalal, sepanjang sejarah Nusantara nasionalime dan agama selalu berda pada titik yang beriringan. Keduanya adalah entitas bangsa yang lahir akar sejarah Nusantara.

Hadir juga, Peneliti The Wahid Institute Nur Khalik Ridwan. Dalam penjelasannya, Ia menyampaikan bahwa kelompok radikalisme yang ada di Indonesia muncul dengan berbagai bentuk. Namun muaranya tetap satu, yakni aliran transnasional. Dalam hal ini diwakili oleh Wahabi dan Ihwanul Muslimin.

Lebih jauh lagi Nur Khalik Ridwan menambahkan radikalisme yang mengancam persatuan Negara ini sudah selayaknya disikapi dengan serius. Peran pemuda dan santri dalam menangkal radikalisme sangat menentukan. Pemahaman agama yang lentur menjadikan pemuda dan santri juga mampu bersikap lentur terhadap tradisi disekitarnya.

Pancasila, menurut Nur Khalik Ridwan harus menjadi pemahaman bersama dan selalu terpatri dalam hati. Karena memahami Pancasila secara utuh adalah cara dasar meredam setiap bentuk radikalisme yang datang. Sebagai falsafah bangsa, Pancasila menghendaki agama dalam Negara tapi tidak menghendaki agama menjadi aturan formal Negara atau Khilafah Islamiyah. []

No comments:

Powered by Blogger.