Surat Untuk Ibu
![]() |
durspasi |
Anakmu
masih nikmat dalam tangis, kala itu anakmu ingin berkata kalau sedang lapar.
Ibu, kau pun memahami apa yang anakmu maksud ini. Dengan tanggap kau menyuapi
anakmu secara perlahan agar tak blepotan. Jika makanan itu tak enak, sering
anakmu menampik tangan lembutmu. Ibu, kau pun tak melawan, kau pun mencoba
meredam dengan balutan kasih sayang. Masih banyak lagi hal yang anakmu lakukan,
anakmu tak mampu menyadari itu semua, Ibu. Anakmu hanya mampu marah dan marah saat
keinginannya tak dituruti. Anakmu yang bebal ini tak pernah mau tahu tentang
semua yang terjadi.
Anakmu mulai
beranjak tumbuh, anakmu mulai bisa berjalan, melangkahkan kaki meski tak berani
jika harus berlari. Saat di mana anakmu mulai belajar makan sendiri tanpa perlu
kau suapi. Anakmu ini masih bebal, marah dan marah yang anakmu lakukan. Anakmu
masih belum mau tahu apa yang telah dilakukan olehmu, Ibu.
Anakmu pun
mulai bisa bermain tanpa perlu didampingi. Saat anakmu mulai melakukan segala
sesuatu tanpa perlu dipandumu, Ibu. Anakmu masih bebal, belum bisa sedikit saja
untuk menghargai pengorbananmu, Ibu. Jika ada yang anakmu mau, aankmu hanya bisa
memarahimu. Marah karena keinginan anakmu tidak segera dipenuhi. Aku, anakmu
yang bebal ini hanya bisa berkata kasar tanpa ampun padamu, Ibu. Dengan lantang
melontarkan kata-kata tidak sopan. Tanpa rasa bersalah, anakmu berkata bahwa
kasih sayangmu sudah sirna.
Anakmu yang
bebal kini beranjak remaja, bersekolah ria bersama teman-teman sepermainannya.
Anakmu mulai beranggapan bahwa kau orang yang kaku, keras kepala, kau hanya
bisa marah dan marah atas semua yang anakmu lakukan. Aku, anakmu, tidak pernah
merasakan kasih sayangnya, anakmu yang bebal ini selalu berpikir jelek kala itu.
Tak hanya selesai
di situ, anakmu selalu menganggap kau orang yang kejam. Anggapan itu muncul
lantaran kau sering marah tanpa ampun ketika anakmu melakukan kesalahan. Bahkan
karena kau sering menyubit paha anakmu ini. Sulit menampakkan senyum dihadapan
anakmu. Anakmu, selalu memaknai kau adalah orang yang keras dan tidak punya
rasa kasih sayang. Anakmu hanya mampu beranggapan seperti itu. Tidak pernah berpikir
ada apa dibalik yang telah kau lakukan itu. Ya, itulah anakmu dulu menanggapi
perlakuan kasih sayangmu, Ibu.
Maafkan
Anakmu
Saat anakmu
sudah melangkahkan kaki ke kota sebelah. Menimba ilmu dan pengalaman bersama
teman-teman baru. Ketika anakmu mau tidak mau harus mengatur keuangan sendiri.
Ketika anakmu harus mencuci semua pakaiannya sendiri, terkadang anakmu lakukan
seminggu sekali. Ya, ketika semua aktivitas harus dilakukan dan diatur sendiri.
Anakmu mulai merasa, ada rasa bersalah yang tiba-tiba muncul di lubuk hati ini.
Ibu, maafkan anakmu.
Entah kapan
tepatnya waktu itu, anakmu tak sempat untuk mengingatnya saja. Yang jelas, saat
itu anakmu hanya melamun dan meratapi masa lalu. Masa-masa, kala anakmu selalu
bersikap kasar padamu. Anakmu hanya bisa menangis, meski tak ada air mata yang
menetes. Anakmu benar-benar ingin pulang, Ibu Mencium kedua telapak tanganmu,
mencium kedua telapak kakimu seraya berkata, "Maafkan anakmu, selama ini
hanya bisa marah dan marah. Maafkan anakmu yang belum bisa menghargai tulusnya
kasih sayang. Maafkan anakmu, hanya bisa memberi masalah yang selalu membuat
Ibu resah."
Kini, anakmu
melangkah pada tempat yang jauh lagi. Anakmu hanya bisa bersua setahun sekali.
Perasaan rindu ini terpaksa kuredam. Air mata ini sengaja kutahan. Ibu. Anakmu
ingin terlihat kuat, anakmu ingin menjadi seperti yang kau harapkan. Terkadang,
dalam keheningan malam air mata ini tak mampu lagi kubendung. Air mata ini
menetes dengan puas. Tetesan itu menggambarkan bagaimana penyesalan ini sungguh
dalam. Hanya minta maaf yang ingin kulakukan. Anakmu ingin merasakan hangatnya
pelukan, merasakan lembutnya belaian kedua tanganmu, Ibu.
Betapa
bebalnya anakmu ini, jangankan memikirkan bagaimana beratnya menanggung beban
selama sembilan bulan. Menanyakan saja, anakmu ini selalu punya alasan. Anakmu
pun tak sempat berpikir sudah berapa liter air susumu yang kutenggak. Anakmu
pun tak pernah mau tau berapa kali mengencingimu, berapa kali mengganggu
istirahatmu, berapa kali mengeluarkan kata-kata kotor padamu. Ah, hal semacam
itu saja, anakmu yang bebal ini tak sempat memikirkannya. Inikah balasan
seorang anak pada pada Ibu yang telah bertaruh nyawa demi keselamatan anaknya.
Kini, anakmu
sadar semua itu adalah kasih sayang yang mungkin takkan kudapatkan dari orang
lain. Kasih sayang itu hanya bisa kudapatkan darimu seorang, Ibu. Anakmu sadar,
semua yang kau lakukan adalah cara Ibu manyampaikan kasih sayang padaku,
anakmu. Kau hanya ingin mengajarkan kepada anakmu, lelaki itu harus kuat dan
selalu tegar. Ya, di balik kerasnya ada kelembutan yang luar biasa. Anakmu saja
tak menyadarinya.
Memeras
keringat di bawah terik matahari, kau lakukan setiap hari. Semua itu demi aku,
anakmu. Tak cukup itu saja, ketika anakmu nyenyak dalam tidur. Ibu, kau sudah terbangun
lebih dulu. Dan kau tak pernah lupa untuk selalu menyelipkan nama anakmu ini.
Subhanallah, mustahil rasanya anakmu bisa membalas semua yang telah kau
lakukan.
Ibu. Sengaja
kutulis surat ini. Rindu ini sudah tak mampu lagi dibendung. Anakmu ingin
merasakan hangatnya belaian kedua tanganmu. Meminta maaf atas dosa masa lalu,
dosa anakmu yang selalu mengecewakanmu. Ibu,
sebelum anakmu minta maaf, hatimu dengan tulus telah memaafkan. Tapi
anakmu yang bebal ini tak pernah berhenti merepotkanmu. Ibu. Maafkan anakmu.
Dari sudut
kota yang jauh ini, kuucapkan assalamu'alaikum Ibu. Kau adalah sosok yang luar
biasa. Karena keikhlasanmu, anakmu bisa merasakan kehidupan yang luar biasa
ini. Ibu, kau perempuan paling hebat yang pernah kukenal. Ibu. Aku
mencintaimu.[]
Dariku, Anakmu, Abdul Rahman Wahid
Untukmu, Ibuku, Sri Fatonah
Selamat Hari Ibu, 22 Desember 2015
No comments:
Post a Comment