Surat Untuk Ibu

durspasi
DAHULU, tatkala anakmu masih berada dalam ayunan selendang, berada dalam dekapan tangan lembutmu, sekedar untuk tertidur pulas dalam alunan merdu dongengmu. Terjaga dari tidur nyenyak, anakmu hanya bisa menangis lantaran ada yang basah. Anakmu belum menyadari kalau itu air kencingnya. Air kencing anakmu yang mengenaimu, membuat pesing bau pakaian yang kau kenakan. Anakmu pun masih belum tersadar, selepas kau membersihkan hingga bau pesing itu menjadi harum semerbak.

Anakmu masih nikmat dalam tangis, kala itu anakmu ingin berkata kalau sedang lapar. Ibu, kau pun memahami apa yang anakmu maksud ini. Dengan tanggap kau menyuapi anakmu secara perlahan agar tak blepotan. Jika makanan itu tak enak, sering anakmu menampik tangan lembutmu. Ibu, kau pun tak melawan, kau pun mencoba meredam dengan balutan kasih sayang. Masih banyak lagi hal yang anakmu lakukan, anakmu tak mampu menyadari itu semua, Ibu. Anakmu hanya mampu marah dan marah saat keinginannya tak dituruti. Anakmu yang bebal ini tak pernah mau tahu tentang semua yang terjadi.

Anakmu mulai beranjak tumbuh, anakmu mulai bisa berjalan, melangkahkan kaki meski tak berani jika harus berlari. Saat di mana anakmu mulai belajar makan sendiri tanpa perlu kau suapi. Anakmu ini masih bebal, marah dan marah yang anakmu lakukan. Anakmu masih belum mau tahu apa yang telah dilakukan olehmu, Ibu.

Anakmu pun mulai bisa bermain tanpa perlu didampingi. Saat anakmu mulai melakukan segala sesuatu tanpa perlu dipandumu, Ibu. Anakmu masih bebal, belum bisa sedikit saja untuk menghargai pengorbananmu, Ibu. Jika ada yang anakmu mau, aankmu hanya bisa memarahimu. Marah karena keinginan anakmu tidak segera dipenuhi. Aku, anakmu yang bebal ini hanya bisa berkata kasar tanpa ampun padamu, Ibu. Dengan lantang melontarkan kata-kata tidak sopan. Tanpa rasa bersalah, anakmu berkata bahwa kasih sayangmu sudah sirna.

Anakmu yang bebal kini beranjak remaja, bersekolah ria bersama teman-teman sepermainannya. Anakmu mulai beranggapan bahwa kau orang yang kaku, keras kepala, kau hanya bisa marah dan marah atas semua yang anakmu lakukan. Aku, anakmu, tidak pernah merasakan kasih sayangnya, anakmu yang bebal ini selalu berpikir jelek kala itu.

Tak hanya selesai di situ, anakmu selalu menganggap kau orang yang kejam. Anggapan itu muncul lantaran kau sering marah tanpa ampun ketika anakmu melakukan kesalahan. Bahkan karena kau sering menyubit paha anakmu ini. Sulit menampakkan senyum dihadapan anakmu. Anakmu, selalu memaknai kau adalah orang yang keras dan tidak punya rasa kasih sayang. Anakmu hanya mampu beranggapan seperti itu. Tidak pernah berpikir ada apa dibalik yang telah kau lakukan itu. Ya, itulah anakmu dulu menanggapi perlakuan kasih sayangmu, Ibu.

Maafkan Anakmu
Saat anakmu sudah melangkahkan kaki ke kota sebelah. Menimba ilmu dan pengalaman bersama teman-teman baru. Ketika anakmu mau tidak mau harus mengatur keuangan sendiri. Ketika anakmu harus mencuci semua pakaiannya sendiri, terkadang anakmu lakukan seminggu sekali. Ya, ketika semua aktivitas harus dilakukan dan diatur sendiri. Anakmu mulai merasa, ada rasa bersalah yang tiba-tiba muncul di lubuk hati ini. Ibu, maafkan anakmu.

Entah kapan tepatnya waktu itu, anakmu tak sempat untuk mengingatnya saja. Yang jelas, saat itu anakmu hanya melamun dan meratapi masa lalu. Masa-masa, kala anakmu selalu bersikap kasar padamu. Anakmu hanya bisa menangis, meski tak ada air mata yang menetes. Anakmu benar-benar ingin pulang, Ibu Mencium kedua telapak tanganmu, mencium kedua telapak kakimu seraya berkata, "Maafkan anakmu, selama ini hanya bisa marah dan marah. Maafkan anakmu yang belum bisa menghargai tulusnya kasih sayang. Maafkan anakmu, hanya bisa memberi masalah yang selalu membuat Ibu resah."

Kini, anakmu melangkah pada tempat yang jauh lagi. Anakmu hanya bisa bersua setahun sekali. Perasaan rindu ini terpaksa kuredam. Air mata ini sengaja kutahan. Ibu. Anakmu ingin terlihat kuat, anakmu ingin menjadi seperti yang kau harapkan. Terkadang, dalam keheningan malam air mata ini tak mampu lagi kubendung. Air mata ini menetes dengan puas. Tetesan itu menggambarkan bagaimana penyesalan ini sungguh dalam. Hanya minta maaf yang ingin kulakukan. Anakmu ingin merasakan hangatnya pelukan, merasakan lembutnya belaian kedua tanganmu, Ibu.

Betapa bebalnya anakmu ini, jangankan memikirkan bagaimana beratnya menanggung beban selama sembilan bulan. Menanyakan saja, anakmu ini selalu punya alasan. Anakmu pun tak sempat berpikir sudah berapa liter air susumu yang kutenggak. Anakmu pun tak pernah mau tau berapa kali mengencingimu, berapa kali mengganggu istirahatmu, berapa kali mengeluarkan kata-kata kotor padamu. Ah, hal semacam itu saja, anakmu yang bebal ini tak sempat memikirkannya. Inikah balasan seorang anak pada pada Ibu yang telah bertaruh nyawa demi keselamatan anaknya.

Kini, anakmu sadar semua itu adalah kasih sayang yang mungkin takkan kudapatkan dari orang lain. Kasih sayang itu hanya bisa kudapatkan darimu seorang, Ibu. Anakmu sadar, semua yang kau lakukan adalah cara Ibu manyampaikan kasih sayang padaku, anakmu. Kau hanya ingin mengajarkan kepada anakmu, lelaki itu harus kuat dan selalu tegar. Ya, di balik kerasnya ada kelembutan yang luar biasa. Anakmu saja tak menyadarinya.

Memeras keringat di bawah terik matahari, kau lakukan setiap hari. Semua itu demi aku, anakmu. Tak cukup itu saja, ketika anakmu nyenyak dalam tidur. Ibu, kau sudah terbangun lebih dulu. Dan kau tak pernah lupa untuk selalu menyelipkan nama anakmu ini. Subhanallah, mustahil rasanya anakmu bisa membalas semua yang telah kau lakukan.

Ibu. Sengaja kutulis surat ini. Rindu ini sudah tak mampu lagi dibendung. Anakmu ingin merasakan hangatnya belaian kedua tanganmu. Meminta maaf atas dosa masa lalu, dosa anakmu yang selalu mengecewakanmu. Ibu,  sebelum anakmu minta maaf, hatimu dengan tulus telah memaafkan. Tapi anakmu yang bebal ini tak pernah berhenti merepotkanmu. Ibu. Maafkan anakmu.

Dari sudut kota yang jauh ini, kuucapkan assalamu'alaikum Ibu. Kau adalah sosok yang luar biasa. Karena keikhlasanmu, anakmu bisa merasakan kehidupan yang luar biasa ini. Ibu, kau perempuan paling hebat yang pernah kukenal. Ibu. Aku mencintaimu.[]

Dariku, Anakmu, Abdul Rahman Wahid 
Untukmu, Ibuku, Sri Fatonah
Selamat Hari Ibu, 22 Desember 2015

No comments:

Powered by Blogger.