Sepak Bola Bicara Kemanusiaan, Mungkinkah?

Sepak Bola Bicara Kemanusiaan, Mungkinkah?


DALAM dunia sepak bola, Desember menjadi bulan yang mendebarkan. Semisal, Liga Primer Inggris, Desember menjadi bulan kutukan dan selalu memakan korban. Hampir bisa dipastikan, ada pelatih dipecat dari klubnya, atau setidaknya memundurkan diri. Desember tahun ini pun terbukti, Jose Mourinho mendapat kutukan tersebut. The Special One harus mengakhiri kepelatihannya di Chelsea setelah anak asuhnya dibungkam 2-1 oleh Leicester City, kuda hitam yang singgah di puncak klasemen. Kutukan Desember juga menghampiri Kota Manchester, Van Gaal harus angkat kaki dari Old Trafford setelah gagal membawa pulang tiga poin untuk Setan Merah saat menjamu Stoke City di laga Boxing Day.

Apakah tulisan ini akan bicara tentang hiruk pikuk dan panasnya persaingan di Liga Inggris. Tentu saja tidak, jika harus mengulas pertandingan, La Liga sepertinya lebih asyik untuk ditonton, apalagi Barcelona. Klub asal Catalan itu sudah tidak perlu diragukan ketajaman para punggawanya. Barcelona mampu menyajikan permainan indah setiap kali mengolah bola di atas lapangan hijau. Sebelum kalian menebak, saya nyatakan sikap dulu: saya adalah fans Barca garis lembut. Buat fans MU tak usah merengut. Pun, para The Blues tak perlu cemberut. Toh nasibnya sama, sama-sama terkena kutukan Desember dan menelan kekalahan di laga Boxing Day. Bukankah begitu?

Lantas pembahasan sepak bola di sini apa? Baik, ada dua persoalan kenapa saya tertarik menuliskan sepak bola lalu dikaitkan dengan kemanusiaan. Pertama, terkait peperangan dua negara yang tak kunjung usai, Israel dan Palestina. Kedua, ini soal sepak bola Indonesia. kaitannya dengan penyerangan supporter di Sragen, saat Arema Cronus bertemu Surabaya United di Stadion Maguoharjo Sleman Yogyakarta. Ya, dua kejadian ini yang membuat saya tertarik menuliskan persoalan sepak bola. Sekali lagi, bukan karena laga Boxing Day, MU dan Chelsea tak perlu diulas atau dibahas secara luas. Keduanya cukup ditertawakan saja.

Konflik Israel dan Palestina hingga kini belum usai. Selayaknya dua tim sepak bola berlaga, kedua negara Timur Tengah itu saling jual beli serangan. Tak pandang bulu senjata dilancarakan. Anak-anak tak berdosa pun menjadi sasaran hujan peluru pesawat tempurnya. Kemanusiaan tak ada harganya. Membunuh menjadi kehebatan tersendiri. Senyum menjadi barang antik, ketegangan demi ketegangan yang selalu menyelimuti.

Unta-unta di Padang Pasir telah berganti tank-tank baja anti peluru. Burung-burung kini telah berubah menjadi pesawat tempur yang siap menghujani peluru. Atap rumah beralih fungsi untuk menghindari serangan peluru dari udara. Tidak ada yang tau nasibnya, kematian di depan mata. Menatap darah sudah biasa. Menyaksikan orang tanpa kepala sudah seperti pertunjukan drama. Begitu mereka rasakan setiap harinya. Sepertinya perang ini tak akan berakhir. Keangkuhan telah mampu membakar semangat  perang keduanya. Hingga akhirnya lupa, bahwa dibalik semua itu adalah penghianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Harus dengan cara apa agar perang ini selesai, hingga semua bisa hidup dengan damai dan berdampingan.

Sepak bola, mungkinkah ini menjadi alat peredam perang yang tengah membara. Bisakah sepak bola meruntuhkan tembok besar pembatas dua negara tersebut. Sepertinya tidak mustahil, jika olahraga ini menjadi cara untuk meredam ketegangan kedua negara tersebut. Sepak bola, bertanding dengan sportifitas.

Ternyata melalui lembaga yang didirikan Sigmon Perez, gadis-gadis kecil dua negara tersebut mampu melupakan konflik dengan riang gembira sambil bermain si kulit bundar. Meski tak satu bahasa, gadis-gadis kecil itu bermain atas nama sportifitas. Tembok besar kedua negara tersebut hilang di benak mereka. Ya, sepak bola mampu meruntuhkan keangkuhan tembok besar kedua negara. Setidaknya, dengan sepak bola ini. Para gadis-gadis kecil, sebagai generasi penerus akan melupakan konflik yang mengakibatkan perang berkepanjangan. Kelak mereka tidak hanya jadi pemain profesional. Tapi juga menjadi duta perdamaian.

Jika semua cara sudah tak mampu menyelesaikan perang. Mungkin sepak bola inilah yang akan bicara perdamaian. Kanapa tidak? Tidak perlu pesimis. Bukankah ini awal yang bagus, anak-anak kecil didua negara tersebut sudah memulainya. Dan itu tidak mudah, nyawa menjadi taruhan utamanya. Kita doakan saja, gadis-gadis kecil tersebut kelak akan membawa perdamaian kedua negara melalui sepak bola yang digelutinya. Toh olahraga sudah terbukti sebagai alat untuk mempersatukan. Semisal Nelson Mandela dalam meredam ketegangan kulit putih dan kulit hitam di negara yang dipimpinnya.

Bagaimana dengan Indonesia?

Kondisi itu berbanding terbalik dengan negara kita, Indonesia. Indonesia bisa dibilang damai, meski kedamaian itu menjadi milik segelintir orang. Setidaknya tak ada hujan peluru di negeri ini. Meski tak jarang kita menyaksikan peluru nyasar dari senapan aparat polisi. Setidaknya tak ada tank-tank berkeliaran di jalan raya. Karena jalan sudah macet dengan kendaraan. Setidaknya tak ada penjarahan harta negara. Karena para pejabat sudah mengamankan kekantongnya masing-masing. Setidaknya tak ada orang kelaparan. Mekipun hanya data, bukan fakta sebenarnya. Setidaknya tak ada hak rakyat yang diperkosa. Karena rakyat sudah tidak lagi diberi haknya. Ya, negara ini sangat demokratis, demokratis sekali. Lihat saja kegaduhan di Senayan. Para pejabat kita bisa tersenyum tanpa beban. Bayangkan jika negara ini dalam darurat perang. Silahkan bayangkan. Negara ini sudah aman, damai dan tentram.

Di Palestina, orang tak akan berfikir mendirikan bangunan. Sia-sia, sebelum berdiri saja sudah rata dengan tanah. Indonesia, aman sekali. Tinggal berapa banyak uang yang dimiliki, mau bangun hotel yang bintangnya tak berujung pasti diberi izin. Negara ini damai sekali. Hanya Indonesia yang bisa menjual kekayaan alamnya berpuluh-puluh tahun. Luar biasa. Hanya wakil kita yang berani mencatut nama Presidennya. Hanya di Indonesia pula, orang mencuri senyumnya disorot kamera. Di negara tercinta ini pelemahan hukum gencar sekali. Kurang demokratis bagaimana negara ini. Dan hanya negara kita yang mampu menjaga rahasia dengan baik, sidang tertutup. Luar biasa, Indonesia.

Kembali kepersolaan sepak bola. Jika gadis-gadis kecil di Palestina dan Israel bisa tertawa bersama di atas lapangan. Sepertinya tak berlaku untuk Indonesia. Sepak bola Indonesia tak pernah sampai pada kata klimaks sportifitas. Kita tak perlu bicara secara lembaga dalam sepak bola Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum. Dan kita semua tentunya berharap, sepak bola Indonesia kembali seperti yang kita inginkan. Memang kita menginginkan sepak bola Indonesia bagaimana? Tanya mereka para pencinta bola. Jangan bertanya pada para mafia bola ya.

Piala Sudirman menyisakan luka mendalam, dua korban jiwa karena pertemuan Arema dan Surabya. Kabar penyerangan di Sragen tentu bukan yang pertama terjadi dalam sepak bola kita. Penyerangan-penyerangan antar supporter acap kali menjadi berita hangat. Anehnya, yang mereka lakukan berdasarkan loyalitas, totalitas dan sportifitas. Ya, loyalitas yang mampu menghalalkan nyawa saudaranya. Totalitas yang membabi buta menyerang siapa saja. Sportifitas yang hanya teriakan belaka, saat klubnya mampu membawa pulang angka. Jika klubnya kalah, pulang harus mencari mangsa. Itu sportifitas yang menjadi kebanggaan sepak bola kita.

Karena sepak bola, mobil di luar kota jadi sasaran amuk massa. Atas nama kecintaan terhadap klubnya, berbondong-bondong sabotase kreta. Jalan raya diblokade, bendera dibentangkan memaksa pengguna jalan agar minggir. Motor sedang di parkir dibakar. Rumah warga dilempari batu. Loyalitas dan totalitas mereka benar-benar tiada batas. Hingga tak ada bedanya, antara tanpa batas dan di luar batas. Pokoknya loyalitas.

Jika di palestina dan Israel, sepak bola menjadi ring perdamaian di tengah deru hujan meriam. Berbeda dengan Indonesia, sepak bola menjadi pemicu ketegangan di tengah keteraturan sosial. Di negara tercinta ini, sepak bola berbicara kamanusiaan, mungkinkah? []

No comments:

Powered by Blogger.