Sepotong Harapan Tentang Alina
![]() |
durspasi |
SEBELUM terompet ditiup, kembang api diledakkan dan semua
orang melepaskan lampion lalu berteriak menyampaikan harapan. Aku memasuki
sebuah gubuk, di sekelilingnya penuh dengan tumbuhan bambu. Lampu-lampu kecil nan
mungil melingkar pada setiap tiang penyangga atap.
Pada sebuah meja bundar
dengan empat kursi tersedia, aku menuliskan sebuah harapan di tahun baru kali
ini. Sambil menikmati segelas susu caramel kental, camilan kentang goreng dan
pisang coklat yang disajikan dengan piring berbentuk segi empat. Di sebelahnya
sendok dan garpu berselimut tisu siap membantuku untuk segera melahap hidangan lezat
itu.
Bertiga, bersama teman aku datang tanpa ada rencana
sebelumnya. Mataku jelalatan pada setiap meja yang ada. Kulihat mereka semua
begitu menikmati suasana teduh nan remang-remang itu. Alunan musik Eropa
semakin menambah suasana romantis malam di akhir tahun ini. Aku serasa berada
di bawah menara di ibu kota Prancis, Paris.
Lantas apakah yang aku rasakan sama
dengan mereka yang ada di sekelilingku?. Itulah kenapa aku menuliskan semua ini.
Menuliskan sepotong harapan sambil mengingat seseorang yang sengaja kutarik
pada tema obrolan. Sesekali berharap dia datang, barang sejenak, meski dalam
lamunan.
Bahagia itu mungkin akan terasa jika kamu ada pada satu
kursi kosong di sebelahku. Kursi itu begitu berharap hanya kamu yang menduduki.
Ya, semua itu hanya harapan semata yang saat ini kutuliskan. Kau pun tak hadir malam
itu, kursi itu masih kosong. Aku hanya membayangkan bahwa kau ada pada kursi
tepat di sebelah kananku. Bercerita tentang harapan di tahun baru. Berdoa dan
merancang masa depan yang hendak kita tuju. Aku dan kamu begitu khidmat kala
itu. Ya, dalam lamunan itu.
Aku pun tetap mengambil keputusan untuk melanjutkan menuliskan
ini, menuliskan harapan bersamamu, meski hadirmu tak nyata malam itu. Harapan
di tahun baru, karena, kamu benar-benar menjadi milikku – tanpa keraguan aku
menulisnya. Kau tak menyangkal akan harapan yang kutuliskan. Kau selalu
mengangguk setiap aku mintai pertimbangan. Kau hanya menyeka keringatku dengan
sehelai tisu lembut yang sengaja kau bawakan untukku.
Saat aku mulai letih
merangkai kata, kau lempar senyuman – aku pun menjumpai setiap kata yang sempat
menghilang di dalam kepala. Kala aku berpikir keras, memandangmu untuk
menafsirkan harapan kita. Kau support aku dengan menggengam tanganku – lembut
tanganmu seakan berkata, “Percayalah, harapan itu pasti nyata. Bersamaku, kau
akan meraih harapan itu.”
Aku semakin bergairah merajut setiap helai kata yang
berserakan. Karena aku ingin sesempurna mungkin menggambarkan dirimu tanpa
sedikit pun ada cela. Dengan tenang, dan tentu berbalut kebahagiaan, kupanggil
kau dengan nada lirih, “Alina, kau kah itu?”
Ya, kau berdiri tepat di hadapanku. Dengan sebongkah senyuman
kau ucap salam. Seperti seorang prajurit yang sedang menghadap Sang Raja, salah
tingkah aku dibuatnya. Dengan segala jurus keseimbangan, setelah mengatur
hembusan nafas. Sambil memejamkan mata, lalu aku sampaikan tentang keadaan itu
padamu.
“Alina, kursi kosong itu kusediakan untukmu, tempat tenang merangkai
segala harapan. Di tempat itu aku tuliskan semua harapan. Tentang malam,
tentang bintang gemintang, tentang rembulan, tentang kunang-kunang, tentang
angin malam, dan tentu saja tentang dirimu, Alina sayang.”
“Jangan takut, harapan itu kutulis menggunakan tinta yang
terbuat dari potongan senja. Tak seorang pun mampu menghapusnya. Cahayanya akan
selalu nampak, tak akan ada kegelapan yang sanggup mengaburkannya. Warna tulisan
itu sangat indah Alina, merah kejora. Banyak orang yang menginginkan tinta itu,
tapi aku tak akan memberikannya. Tinta itu hanya untuk menuliskan tentangmu,
Alina.”
“O iya, kapan-kapan kita ke sana. Akan kuperlihatkan
tulisan itu padamu. Aku ingin kau melihatnya sendiri, melihat tulisan itu masih
seperti asli – seperti saat aku menuliskan tentang semua ini. Setelah itu, aku
ingin kau membacakan harapan itu dihadapanku. Dengan suara manjamu aku ingin
harapan itu dilantunkan seperti puisi. Aku ingin kau membacanya berkali-kali, hingga
aku terlelap dalam mimpi.”
“Saat aku mulai terlelap, jangan bangunkan aku. Biarkan
aku bermimpi indah tentangmu di alam tidurku. Menikmati setiap bait puisimu
yang kutinggal tidur tadi. Ya, aku tak ingin melewatkan setiap puisi yang kau
bacakan. Maka, dalam tidur itu aku ingin melanjutkan, menikmati lantunan
puisimu dengan tenang. Aku ingin menghayati puisi indahmu itu berdua dengan
Tuhan.”
“Alina. Katakan padaku, bahwa kau tak keberatan dengan
semua ini. Kau senang membacakan puisi untukku. Kau pun tak marah harapan itu
kutulis terlebih dahulu. Katakan Alina, bahwa kau lah senja yang menyatu dengan
tulisanku itu. Katakana Alina, kau pula yang akan selalu membacakan puisi agar
lelap tidurku. Katakan, aku ingin mendengarnya, Alina.” []
No comments:
Post a Comment