Hanya Ingin Bercanda, Itu Saja
![]() |
durspasi |
NGOPI, bagiku sebuah aktifitas untuk menenangkan diri. Berbagi canda tawa sambil lalu
bercerita tentang sesuatu yang jenaka. Setidaknya, pertemuan dalam satu meja
ini mampu menghilangkan setiap luka dan duka yang ada. Jika memang untuk
mengobati sudah tak bisa.
Siang
ini (10/01/2016), dua sahabatku Ferhadz Ammar Muhammad dan Incek Virklay begitu
asyik berdebat. Keduanya tak pernah kehabisan pendapat. Aku hanya bisa melihat.
Sepertinya mereka berdua sudah menemukan tema yang tepat. Biarkan saja, yang
penting mereka tak sampai mengeluarkan jurus silat. Lagian, kulihat mereka
berdua tak ada gelagat untuk melanjutkan di arena gulat. Dari sorot mata
keduanya, sepertinya sudah ada kata sepakat. Bahwa obrolannya selesai di adu
pendapat.
Sambil
menyeka keringat, kubuka HP yang sudah sedikit berkarat. Kabar pertama yang
mucul pada pemberitahuan adalah kegusaran sahabat Malikul Akdhom. Sepertinya Ia
sedang sekarat. Terbaring di kosnya karena merasa sudah dikhianati oleh
rangkaian-rangkaian kalimat. Kemarahannya pun memuncak. Ia pun tak mengenal
kata segan untuk mengumpat. Kelihatannya Ia sudah tersayat oleh sajian kalimat
pada buku yang dibacanya.
"Bukunya
sudah positivistik, berbelit-belit, tak operasionallistik pula. Pinter-pinter
deh beli buku." Tulisan Alex ini begitu terlihat, bagaimana Ia berada
dalam muara kekecewaan yang sangat. Sebagai sahabat, sedikit (tentu tidak
banyak) aku mengetahui bagaimana Alex kalau sudah kecewa berat. Dari tempat
yang tak begitu jauh, aku berdo'a. Semoga kau baik-baik saja, sahabat. Semoga
kau bisa menghindari segala bentuk senjata tajam yang sangat memungkinkan untuk
kau tusukkan. Sebagai sahabatmu, aku tak ingin mendengar kata, tertusuk padamu,
berdarah padamu.
Sedikit
ingin ikut campur, kutulis komentar tandingan untuknya. "Idiom
pinter-pinter beli buku cenderung bagaimana lihai bernegosiasi. Padahal, semua
buku yang dijual terbungkus rapat. So, pinter-pinter baca deh." Sambil
berharap, si Alex baper. Lalu menyusul ke kedai kopi. Nah, pada meja ini Ia akan
habis-habisan curhat. Saat itu pula aku bisa melangsungkan sederet niat jahat.
Menghabisi Alex hingga Ia menangis lebat. Seperti yang Ia lakukan dalam sembah
sujud pada Tuhan karena niat tobat yang sudah bulat. Keren bukan? Meski si Alex
bermuka jahat, Ia juga rajin Salat.
Ternyata,
niat jahatku tak terlaksana dalam waktu dekat. Alex langsung menanggapi
komentarku dengan kobaran semangat. "PM-ku bukan buatmu bro. Jangan
GR!" Sontak, akupun ketawa jahat. Dengan cepat, kutulis komentar,
"Ah, kamu terlalu baper brow. Emang, PM itu buat kamu po? Bukan brow. Mampus Kau Patkay."
Di
tengah perseteruan PM-ku dengan Alex, Nafiar Nabtaghil Amin dan Algi Aulalangi
muncul. Sulit diterka kehadiran dua bocah ini. Aku harap, mereka hadir hanya
sekedar ikut bercanda dengan kita. Kalau pun dua bocah itu serius. Meski bukan
dosa besar, itu termasuk kesalahan besar. Bisa-bisa itu kesalahan terbesar
mereka berdua di awal tahun ini. Mampus kalian, mengawali tahun dengan
kesalahan.
Tanpa
ekspresi, dan memang ini cuma PM. Nafiar menuliskan sebentuk perhatian,
selayaknya tragedi kemanusian yang sengaja tak dihiraukan oleh orang-orang
pemerintahan. "Save Bang Alex karo Bang Dur." Wah, semoga saja tak
sampai pada pembuatan petisi. Biarkan petisi itu hanya untuk adegan film di
Senayan saja, Save KPK , Save Asap, Save DPR dan Save Kepentingan Kelompok dan masih banyak Save-Save yang lain.
Algi
juga menuliskan, "Beliau saling melancarkan serangannya lewat PM dan
beliau saling mengklaim bahwa serangannya itu bukan untuk dirinya dan
dirinya." Welah, kalian kira kita ini Rizal Ramli sama JK po? Saling
serang komentar di media massa. Tak usah ditanyakan, semua orang akan bilang
tidak. Jelas, Rizal Ramli itu Menteri Kemaritiman, sedang Pak JK itu orang
nomor dua di Indonesia. Nah, kita? Dua pemuda yang Insya Allah besok akan
menggantikannya. Amin Ya Robbal 'Alamin. Semoga Tuhan mengabulkannya.
Akhirnya,
aku dan Alex mengakhiri PM dengan wujud aslinya, tentunya tak menghilangkan
nada intrik seperti biasanya. Seperti sedang berbicara langsung padaku, Alex
menuliskan, "Ada yang tanya brow, kok adu status Bang? Aku jawab: iya adu
PM soal buku ae. Bukan adu status soal konflik."
Sedang
aku sendiri menuliskan, "Bilang saja, bahwa ini adalah cara kita
menyelesaikan canda tanpa harus bertemu dalam satu meja. Karena aku sadar,
dikau sedang dirundung duka." Aku yakin, Alex murka membaca komentarku
ini. Terutama pada kalimat terkahir yang aku tuliskan itu. Iya, itu cerita
semalam, eh, keceplosan.
Saat
hendak menutup HP, dan berkeinginan menuliskan catatan harian yang aneh ini.
Irfan Hidayat menutup perseteruan ini dengan komentar, "Semoga sang ayah
dan anak tiri itu baik-baik saja." Ingin rasanya kujawab komentarnya
dengan kata "Maaf, kita bukan bapak kalian. Hahahaha."
Sedikit Serius
Tentu,
keinginanku menuliskan catatan ini tidak berangkat dari iseng belaka. Meski
kejadian yang membawa catatan ini sangat iseng sekali. Ya, ada beberapa hal
ingin aku bagi (semoga berkenan), terutama pada kalian yang terlibat di obrolan
aneh ini.
Pertama, menyangkut dunia interaktif
hari ini. Di mana, media sosial menjadikan kita semua begitu mudah melakukan
segala hal. Bahkan dengan mudah menerka sesuatu yang belum sepenuhnya kita
tahu.
Semisal,
BBM. Aku pribadi lebih memanfaatkan ruang 160 karakter itu untuk menghibur
diri. Artinya, ruang itu bukan untuk menjadi alat tafsir kita. Mulai dari
kesedihan, kebahagiaan hingga hal-hal yang sangat prinsipil di perlihatkan.
Apakah ini yang namanya kloning? Sebagaimana disebut Don Ihde dalam Filsafat
Teknologinya.
Bisa
jadi, bagaimana tidak dikloning jika manusia (kita) hari ini bisa dilihat hanya
dari ruang berkapasitas 160 karakter saja. Menyedihkan. Ini pelecehan terhadap
nilai kemanusiaan. Manusia itu diciptakan sebagai makhluk Tuhan paling
sempurna. Ingat paling sempurna, bukan paling sexy sebagaimana lagu Ahmad
Dhani. Bukan, sekali lagi bukan. Oleh karenanya, kesempurnaan itu tidak bisa
dijangkau oleh ruang 160 karakter tersebut. Tidak Rhoma.
Sebenarnya
ini sudah cukup apa yang ingin kusampaikan. Namun, aku terlanjur menyebut
beberapa hal di atas. Tentunya, jika ada kata "Pertama" pasti ada
kata "Kedua", meski untuk "Ketiga" itu keberadaannya
suka-suka saja.
Baiklah,
biar tidak terkesan salah tulis. Hal
kedua yang perlu diperhatikan mungkin menyikapi apa adanya, bukan ada
apanya. Intinya, terlalu bercanda di media sosial juga tidak baik. Hindari ini,
biar tidak disebut alay sama orang. Artinya, gunakan media sosial dengan ala
kadarnya. Sesuai kebutuhan kita. Kalau di atas ada kata-kata
"Pinter-pinter deh beli buku." Lalu, "Pinter-pinter baca
deh." Di penghujung ini menarik sepertinya kita kasih kata-kata,
"Pinter-pinter deh menggunakan media."
Terkahir,
seperti tujuan awal aku berangkat menikmati kopi di kedai. Menuliskan ini pun
sama. Bahwa aku hanya ingin menyelasaikan percandaan dengan kalian, meski tidak
satu meja. Hahahaha. Dasar emang kalian semua manusia-manusia usil. Untuk Alex,
semoga segera diberi kelapangan ya brow. Semua ada hikmahnya, takdir Tuhan
sudah ditulis dan kau akan merasakan itu. Meski tidak harus sekarang. Sabar
Rhoma. []
No comments:
Post a Comment