Kehilangan Punya Cerita
![]() |
durspasi |
Sontak
dengan sifat low profile-nya, Kang
Hendris mengatakan supaya saya menuliskan lebih dulu.
Dia bilang kalau saya sudah terbiasa mengkaji UU Desa. Artinya,
untuk bicara tentang pembangunan daerah, saya
dianggap lebih mampu dari pada dia. Dan tentu saja dia berlebihan soal ini.
Namun,
dalam percakapan itu saya meyakini kalau Kang Hendris sebenarnya ingin
menjawab “iya” tentang
tawaran saya itu.
Pada
akhirnya, dengan keyakinan yang ada, saya menulisnya. Sambil
bermain Play Station (PS) dengan Evan,
sedikit demi sedikit saya cicil tulisan itu. Hingga akhirnya, saya
selesaikan setelah merasa cukup bermain PS-nya. Padahal,
sebenarnya karena saya kalah terus – jadi
harus log out dari pertandingan.
“Wah, entar malah Kang Hendris ngirim
duluan,”
gumamku kala itu. Ya, karena saya
yakin kalau dia juga bakalan eksekusi tulisannya. Ada
keyakinan bahwa tulisan kita berdua akan muncul dalam satu edisi.
Hari
pun berlalu, sehari sebelum tulisan ini muncul (kemarin), hape saya raib ketika
pulang dari kegiatan nongkrong menjelang malam. Sedih, tentu saja. Semua orang
yang kehilangan akan merasa sedih. Hiks,
hiks, hiks.
Kesedihan saya itu
karena file yang ada pada hape.
Maklum, hape sedikit berkarat itu adalah satu-satunya
penampungan benda-benda maya – terkhusus catatan harian.
Pertama, tulisan saya
tentang desa. Pada tulisan itu, saya mencoba
berpendapat bahwa apa yang disampaikan Menteri Desa tentang pentingnya mahasiswa
membuat desa binaan. Bagi saya, yang seperti itu terkesan menggurui.
Karenanya, dalam tulisan saya kali ini
menyebut mahasiswa penting bermitra dengan desa, bukan membuat desa binaan
sebagaimana Menteri Desa sampaikan pada salah satu kuliah umum mahasiswa.
Sayangnya, tulisan juga ikut raib bersama hape dan seperangkat
lainnya.
Kedua, ini
menyangkut akademik. Ya, di hari UAS ini, saya harus membuat tugas. Sedang file yang harus dikerjakan
itu semuanya masih ada di hape yang raib itu.
Keputusan pun saya ambil, semalam suntuk saya
memilih menikmati coklat murni di salah
satu kedai sudut Jogja, hingga adzan subuh terdengar di telinga.
Waktu
ujian tiba, saya berangkat dengan sebiji pena dan dua
batang rokok disaku. Selebihnya, semua persyaratan UAS sengaja tak kubawa. Ke
kampus, saya hanya ingin bertemu dengan Pak Nurdin
Baroroh, pengampu mata kuliah yang hari ini diujikan. Ya, saya ingin ceritakan
semua kejadian, kenapa saya tak mengerjakan tugas yang diberikan.
Sebelum
berangkat, saya teringat dengan catatan harian dua hari
sebelumnya. Kala saya tak bisa ikut ujian
karena tak membuat tugas yang dibebankan. Saat itu, saya
membuat sebuah catatan pedek di block note, “dunia pendidikan kita begitu mengekang.”
Menurut saya, sifat ujian dalam pendidikan yang
pakem merupakan bentuk pengekangan kreatifitas peserta didik. Karena pakem
tersebut, kreatifitas acap kali diartikan menyimpang dari tatanan
yang (sudah) dianggap mapan.
Tapi,
anggapan itu hilang, saat saya berjumpa dengan
Pak Nurdin. Beliau mentolelir apa yang sudah
saya sampaikan. Akhirnya, saya pun
diperkenankan untuk mengikuti ujian besok di ruang yang berbeda. “Terima
kasih pak, sudah memahami segala yang telah menimpa diri ini.”
Selanjutnya,
menuliskan catatan ini, hanya sekadar untuk memeberi tahu Kang Hendris. Ya,
apa yang kemarin kita obrolkan di BBM, kini kenyataan sahabat.
Saya tak bisa mengabarimu melalui BBM atau WA.
Ini saja, karena ada laptop nganggur yang bisa dipinjam. Akhirnya, saya sempatkan
untuk menuliskan catatan ini. []
No comments:
Post a Comment