Membaca (kembali) “Tahta Untuk Rakyat”
PEMIMPIN
adalah seorang yang mampu membuat orang yang meragukannya justru menjadi
pengikut setia, pesaing menjadi sahabat, dan lawan menjadi kawan. Begitulah
Hideyoshi menjadi seorang pemimpin, yang mampu mempersatukan Jepang tanpa harus
menumpahkan setetes darah – hingga ia dijuluki Samurai Tanpa Pedang. Sebagaimana
ditulis Kitami Masao dalam bukunya, The Swordless Samurai (Tim Clark,
2013).
Seorang
pemimpin harus mampu menumbuhkan rasa percaya hingga kekuasaan itu lahir dari
rasa cinta rakyat yang dipimpinnya. Kepercayaan ini bisa diperoleh jika seorang
pemimpin tidak hanya duduk santai menyaksikan segala persoalan rakyatnya.
Namun, pemimpin setiap saat hadir di tengah-tengah masyarakat, turut serta
merasakan dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada.
Disadari
atau tidak, kepemimpinan seperti di atas sudah sangat langka di bangsa ini –
baik yang besifat lokal maupun nasional. Potret buram pemimpin saat ini memberi
penjelasan, bahwa falsafah kepemimpinan perlahan hilang. Kabar tak sedap dari
jamak media membuat masyarakat pesimis bangsa ini mampu merealisasikan agenda
kesejahteraan, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Banyaknya
kasus korupsi yang menimpa para pemimpin bangsa ini sudah seperti jamur tumbuh
kala musim hujan tiba. Pemimpin kita sudah banyak yang keluar dari etika
sebagai tokoh panutan. Penggunaan narkoba menjadi hal yang biasa, selingkuh
menjadi hidangan di tengah kondisi bangsa sedang gaduh. Kekerasan yang
dilakukan membuat masyarakat sulit membedakan mana pemimpin, mana preman. Belum
lagi, ego kepentingan pribadi dan kelompok yang begitu vulgar dipamerkan pada
khalayak. Lengkap sudah tinta hitam kepemimpinan bangsa ini.
Berbicara
“Tahta Untuk Rakyat” tentu ingatan kita akan tertuju kepada sosok Raja
sederhana Yogyakarta, Hamengku Buwono IX (HB-IX). Ya, beliau adalah sosok
pemimpin yang mendedikasikan sepenuh hidupnya untuk mengabdi dan melayani
rakyat.
Jabatan
dan tahta bagi Sultan HB-IX bukanlah barang istimewa, yang membutuhkan
penghormatan luar biasa. Jabatan adalah tanggung jawab dan tugas bahwa beliau
harus menjadi pelayan bagi rakyat yang dipimpinnya. Sultan HB-IX mengabdikan
hidupnya dengan tulus kepada rakyat. Kursi tak membuatnya terlena untuk berbuat
semaunya. Sultan HB-IX tidak pernah mendahulukan kepentingan pribadinya, karena
baginya itu hal kecil yang tak layak diperjuangkan. Apalagi harus dengan
menyalahkangunakan tahta kekuasannya.
Sebagaimana
ditulis SK. Trimurti dalam buku “Tahta Untuk Rakyat – Celah-celah Kehidupan
Sultan Hamengku Buwono IX”, (Gramedia, 1982). Dalam buku tersebut dikisahkan
bahwa suatu ketika Sultan melintas di jalan Kaliurang dengan mengendarai mobil
jip yang dikemudikan sendiri. Dalam perjalanan, ibu-ibu dari pasar dengan barang
bawaan memberhentikannya untuk menumpang.
Sultan
pun memberhentikan mobilnya, seketika itu pula ibu-ibu meminta sopir (Sultan)
untuk menaikkan barang-barangnya. Hingga sampai di pasar, Sultan pula yang
menurunkan barang ibu-ibu tersebut. Saat disodorkan uang oleh ibu-ibu, dengan
sopan Sultan menolaknya.
Sambil
tidak mengindahkan omelan ibu-ibu, Sultan mengendarai mobilnya. Seorang
politisi menghampiri ibu-ibu tersebut. Menanyakan kepada ibu-ibu siapa lelaki
tadi itu, ibu-ibu menjawab tidak tahu. Setelah itu, polisi memberi tahu bahwa
lelaki tadi adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Raja di Yogyakarta. Seketika
itu pun ibu-ibu pingsan mendengar apa yang disampaikan oleh polisi.
Sosok
pemimpin seperti Sri Sultan HB-IX begitu dibutuhkan di negeri ini, terkhusus
D.I. Yogyakarta – karena Yogyakarta adalah daerah percontohan bagi yang lain
dalam segala hal. Di tengah daerah lain perlahan melepas segala identas yang
melekat, Jogja masih begitu kental dengan nuansa budaya lokalnya. Jogja Berhati
Nyaman adalah ungkapan betapa Jogja telah menjadi tempat yang teduh bagi
siapapun yang – atau hanya berkunjung menikmati hal indah dengan segala yang menyertainya.
Hari
ini – disadari atau tidak, identitas itu perlahan sedikit menghilang. Banyaknya
pembangunan hotel-hotel di Jogja membuat pengap udara kota budaya ini. Beberapa
kekerasan di Jogja kerap kali terjadi. Kota yang menjadi tempat persinggahan
segala perbedaan, tiba-tiba menjadi benturan karena ketidaksepahaman.
Ya,
seluruh pemimpin Jogja dari level terbawah hingga atas perlu meniru cara Sri
Sultan HB-IX dalam menjadi pelayan bagi rakyat. Semua kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah Jogja sudah seharusnya mengarah kepada kenyamanan
warganya, bukan kepentingan sepihak saja. Bagaimanapun Sri Sultan HB-IX telah
mengajarkan itu saat beliau dinobatkan menjadi Gurbernur Jogja pertama setelah
bangsa ini merdeka.
Kecintaan
dan kasih sayang rakyat kepada Sri Sultan HB-IX bukan tanpa alasan. Itu semua
karena Sri Sultan HB-IX menjadikan harta sebagai titipan dan jabatan merupakan
amanat, di mana keduanya harus dipertanggungjawabkan. Bagi Sultan kedua hal
tersebut sebaiknya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat sepenuhnya, bukan
untuk kesenangan diri semata.
Sumber Tulisan, Majalah Nusantara
No comments:
Post a Comment