Terima Kasih, Ibu

durspasi
HARI ini, tepatnya pagi menjelang siang. Aku sempatkan menghubungi Ibu via telepon. Tak ada alasan kenapa aku menelpon beliau, kecuali rasa rindu yang terlampau menggunung.

Seperti biasa, beliau selalu mengambil start obrolan dengan menanyakan kabar tentang anaknnya yang jauh dari tanah kelahirannya. Beliau hanya ingin memastikan bahwa kondisi anaknya benar-benar dalam keadaan sehat dan bisa menjalankan aktivitas dengan riang gembira.

Beliau juga tidak pernah lelah mengingatkan akan kewajibanku sebagai hamba Tuhan. Beliau selalu mengingatkan untuk selalu menyempatkan diri mengingat Sang Khalik. Bagi beliau, tak penting sehebat apapun anaknya, ketaatan pada Tuhan jauh lebih penting dari segalanya.

Terenyuh aku mendengarkannya. Rasa bersalah seketika muncul. Dalam hati kecil aku berkata, "Ibu, maafkan anakmu telah lalai menjalankan pesan yang selalu engkau sampaikan. Pesan harapan untuk anakmu bahwa dunia ini adalah persinggahan. Ada waktu di mana segalanya akan musnah berantakan."

Ya, pesan beliau sering kali hilang saat aku mulai asyik nongkrong hingga larut malam. Aku lupa saat kesenangan menghampiri diri. Semuanya terlupakan, seakan diri ini tak punya kewajiban yang harus dijalankan.

Pada penghujung percakapan, aku mendengar suara beliau sedikit serak. Beliau tak sevokal sebelumnya dalam bercakap dengan anaknya.

Meski tak bisa menyaksikannya, aku tahu bahwa beliau seperti menahan rasa rindu. Aku pun yakin, kedua matanya saat itu berkaca-kaca. Hingga akhirnya, air itu pun mengalir pelan pada kedua pipinya.

Seketika beliau berhenti sejenak, aku tak mampu untuk melanjutkan percakapan. Kedua mataku pun mulai berkaca-kaca. Ingin rasanya aku memeluk beliau. Ingin rasanya aku menenangkan diri berada dalam dekapannya. Ya, aku ingin melampiaskan segala bentuk rindu ini padanya.

Entah sudah berapa menit kami membiarkan telepon tanpa ada percakapan. Tiba-tiba beliau berkata dengan nada lirih dan suaranya yang terisak.

"Hati-hati di daerah orang. Kewajibannya jangan sampai lupa. Kalau ada apa-apa, jangan lupa telepon. Jadi orang itu yang tatak. Belajarnya yang bener. Aku tidak mengharap banyak darimu. Cukup jaga nama baik keluargamu, nak. Jadilah orang berguna bagi siapapun. Itu saja sudah lebih dari cukup."

Lalu beliau mengakhiri percakapannya dengan ucapan, "Ya sudah, besok telepon lagi. Hati-hati. Assalamu'alikum." Suaranya begitu nampak terdengar bercampur dengan isak tangisnya.

"Wa'alaikum salam," jawabku singkat sambil menahan hembusan nafas.

Sambil menutup telepon aku berkata pada diri yang angkuh ini. "Ibu, aku pun rindu. Mungkin aku malu untuk mengutarakan lebih dulu. Mungkin aku tak mau terlihat cengeng di hadapanmu. Hingga aku lebih memilih diam dan memendam kerinduan ini dalam-dalam."

Ibu, jujur aku tak kuat mendengar suara serakmu. Isak tangismu membuat aku teringat akan keangkuhan yang bercokol dalam diri. Aku pun kehabisan kata-kata untuk mengungkapkannya.

Terima kasih ibu untuk hari ini. Terima kasih untuk segala yang telah engkau berikan padaku. Kau begitu luar biasa. Tak ada yang paling berperan dalam perjalanan anakmu ini. Kecuali engkau yang selalu punya waktu dalam setiap sepertiga malam untuk menyebut namaku dalam setiap lantunan do'a.

I love you, Ibu. Selamanya kau akan menjadi ibuku. Bahkan jika aku ditakdirkan hidup dua kali dan lahir ke dunia kembali. Aku tetap akan memilihmu sebagai Ibu. Aku tetap ingin menjadi seorang anak yang terlahir dari rahimmu, Ibu.

Salam rindu dan takdim dari aku, anakmu.
Selamat Hari Ibu. []

No comments:

Powered by Blogger.