Berawal dari Radio Kecil

Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Ganjaran, Gondanglegi, Malang.
MENDENGARKAN lagunya Dream Theater yang berjudul ”Spirit Carries On”, jadi inget masa-masa di Pondok dulu.

Ceritanya gini, setelah kegiatan malam Pondok selesai. Sekitar pukul 23.00 WIB, saya dan temen-temen mengambil kitab untuk bahan pelajaran besoknya, sekadar pura-pura biar disangka belajar.

Sambil membawa kitab, kami menuju ke kantin untuk membeli segelas kopi dan beberapa batang rokok. Ya, begitulah. Jam malam itu para keamanan sudah pada ngorok. Jadi, mau sebal-sebul rokok sampai mampus kagak bakal ketahuan.

Nah, sambil jagongan, kitab kami kembalikan ke tempat asal (rak). Di kamar ukuran 4x3 itu banyak kenangan yang sulit dilupakan. Di kamar yang tak begitu luas itu berpenghuni 12 kepala, kalau tidak salah. Sudah, jangan dibayangkan tidurnya seperti apa. Kami sudah terbiasa dan mahir untuk mensiasatinya.

Melalui radio, seingat saya harganya cuma sepuluh ribu, itu pun gratis pena dan beberapa aksesoris lain. Dari situ, kira-kira bisa dibayangkan bagaimana kehebatan teknologi yang kami punya di Pondok. Tapi ingat, bagi kami itu sangat canggih, karena dari alat berukuran kecil seperti tempe goreng itu, kami mengetahui banyak hal, yang mungkin tidak ada dalam keseharian kami selama bergelut dengan kitab kuning.

Dari radio itu, kami mengetahui bagaimana kondisi bangsa Indonesia. Saat itu, radio Kepanjen sangat intens menyiarkan kondisi terkini negara.

Dari radio itu pula, akhirnya kami langganan lagu kerennya Dream Theater. Juga, lagunya Scorpions, Linkin Park, Green Day, John Lennon, tak lupa pula lagu Avenged Sevenfold yang selalu asyik didengar saban malam tiba.

Akhirnya, Avenged Sevenfold itu menjadi band cadas favorit saya hingga kini. Semuanya berawal dari radio kecil itu, radio yang harganya hanya sepuluh ribu itu.

Mungkin ini kebiasaan nakal kami selama di Pondok. Karena dampaknya jelas, begadang yang kami lakukan membuat kami sulit bangun pagi. Praktis, hampir setiap pagi kami diguyur air oleh keamanan. Tapi, hal itu tak membuat kami jera.

Saat itu, kami hanya berpikir bahwa yang kami lakukan bukan karena kenakalan. Tapi karena kami ingin tahu, bagaimana dunia luar. Persoalan pengurus menganggap itu pelanggaran, kami santai saja dan siap menerimanya.

Kami tak pernah mempersoalkan, kami selalu menerima hukuman dengan senyuman. Bagi kami, ini cara belajar kami. Soal baik atau tidak, itu hanya persoalan persepsi.

Akhirnya, hingga saat ini, kala mendengarkan lagu Dream Theater yang berjudul “Spirit Carries On” tersebut, saya selalu teringat semua kejadian itu. Rasa rindu pada bilik itu (Kamar Al-Jabal, 13 A) dan segala yang menyertainya selalu datang.


Hehehe, ngapunten Kiai, santri jenengan yang satu ini dulu nakal. []

No comments:

Powered by Blogger.