Sepak Bola dan Kepemimpinan
SEORANG
pemimpin dituntut lebih dari sekadar statusnya menjadi leader bagi anggotanya. Jauh melebihi itu, pemimpin harus bisa
bersikap lebih dewasa, mampu meredam emosi – baik dirinya maupun anggotanya.
Hal terpenting lagi adalah, pemimpin mampu membaca kemampuan para anggotanya.
Sehingga keputusan yang diambil benar-benar tepat sasaran dan tidak menimbulkan
kontroversi. Sederhananya, pemimpin mampu membaca keadaan dengan sekian
pertimbangan yang matang.
Sebagai
pecinta permainan si kulit bundar, pastinya kita tidak lupa dengan klub asal
Italia, AC Milan. Sebuah klub Serie A yang pernah dihuni oleh para pemain kelas
wahid seperti Andrea Pirlo, Paolo Maldini, Clarence Seedorf, Serginho, Hernan Crespo
– untuk menyebut beberapa contoh saja. Pada saat itu,
Milan merupakan dengan tim kekuatan besar di kancah Eropa. Maldini sebagai kapten
di lapangan mampu menjadi sosok yang luar biasa dalam skuad Milan.
Saat AC
Milan melawan Juventus (29 Oktober 2005), kepemimpinan sang
kapten benar-benar diuji. Kala itu, tepatnya di ruang ganti terjadi cek-cok antar pemain dan sang pelatih,
Carlo Ancelotti. Cek-cok pemain
tentang eksekutor tendangan bola mati itu tidak menemukan titik temu. Saat itu,
Seedorf dan Serginho sama-sama merasa pantas dan paling berhak menjadi eksekutor
tendangan bebas. Akhirnya, Ancelotti membiarkan keduanya dan menyerahkan
semuanya di lapangan hijau.
Kejadian
mencengangkan pun tersaji saat AC Milan mendapat hadiah tendangan bebas.
Eksekusi bola mati itu tidak dilakukan
oleh salah satu pemain yang bersitegang saat di ruang ganti, Seedorf dan
Serginho. Justru eksekutor saat itu adalah Andrea Pirlo, sang jenderal lapangan
klub berjuluk i Rossoneri tersebut.
Keputusan
mencengankan itu adalah saat sang kapten mengambil bola lalu memberikannya
kepada Pirlo. Publik semakin dibuat tercengang setelah sepakan bola mati Pirlo
mampu merobek jala Si Nyonya Tua, julukan Juve.
Hingga
saat ini, Pirlo dikenal sebagai maestro eksekusi bola mati. Gol tersebut pun
mampu membawa i Rossoneri menang atas
Nyonya Tua. Ya, kemenangan itu tak
bisa dipungkiri karena peran sang kapten (Maldini) dalam memimpin rekan
setimnya di lapangan hijau.
Dari
momen itu kita bisa belajar bagaimana menjadi pemimpin yang lebih dari sekadar leader seperti yang telah dilakukan
Maldini. Dalam kepemimpinan bangsa Indonesia, kita mungkin tidak asing dengan
sosok nyentrik, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Sosok yang telah mampu
menjadi inspirasi para generasi muda bangsa ini.
Seperti
kita ketahui bersama, saat Gus Dur menjadi nahkoda Indonesia. Keputusan yang
dilakukan kerap kali kontroversi di mata
publik. Namun, apa yang beliau lakukan selalu bisa dipertanggungjawabkan. Laiknya
Maldini, Gus Dur telah menjadi pemimpin yang mampu membaca kemampuan
orang-orang dan dijadikan patner di
era kepemimpinannya.
Ada
banyak nama muncul saat beliau menjabat orang nomor satu di
Indonesia,
yang itu di luar prediksi pada umumnya. Tak heran, jika beberapa orang menilai
bahwa Gus Dur ngawur dalam menjalankan roda kepemimpinan bangsa
ini.
Contoh
sederhana yang bisa diambil adalah, saat beliau mengangkat Mahfud MD sebagai
Menteri Pertahanan (Menhan). Padahal latar belakang Mahfud MD adalah akademisi
yang kemudian terkenal sebagai tokoh ahli Hukum Tata Negara (HTN).
Artinya, Mahfud MD sama sekali tidak punya pengalaman tentang
bagaimana nanti mengatur pertahanan Negara.
Tapi apa
yang terjadi, kinerja Mahfud MD tak seburuk yang publik bayangkan. Seperti
disampaikan Gus Dur saat memintanya untuk menjadi Menteri. Bahwa yang
terpenting adalah soal keberanian semata. Di masa Mahfud MD menjadi Menhan,
bisa dikatakan Negara Indonesia masih dalam keadaan utuh. Tidak ada kelompok
yang mampu merongrong keutuhan Negara tercinta ini.
Di sinilah
kita bisa belajar bagaimana seorang pemimpin yang baik, pemimpin yang mampu
membaca potensi anggotanya. Bukan hal yang bermuluk jika kita mengambil pelajaran
penting dari sepak bola. Terkhusus, saat Maldini dipercaya mengemban ban kapten
Milan. Bukankah kepemimpinan Maldini telah terbukti dengan suksesnya Milan
meraih berbagai macam gelar, baik lokal, nasional, maupun internasional.
Perlu
diketahui bersama, dalam hal ini, penulis tidak serta merta menyamakan antara
Gus Dur dan Maldini. Keduanya tetap berbeda, dan berada dalam ruang lingkup
kepemimpinan yang sepenuhnya tidak sama. Gus Dur seorang Presiden Republik
Indonesia (RI), sedang Maldini adalah kapten kesebelasan Merah Hitam, julukan lain AC
Milan.
Namun,
dari keduanya kita bisa mengambil pelajaran yang sama-sama penting. Yakni,
bagaimana menjadi seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang tidak hanya
membesarkan dirinya pribadi. Seorang pemimpin yang tidak merasa besar karena
jabatannya. Seorang pemimpin yang hanya memanfaatkan jabatannya semata. Serta
seorang pemimpin yang tidak bisa mengolah potensi anggotanya.
Ya,
pemimpin yang kita butuhkan adalah pemimpin yang mampu berbaur dengan rakyat.
Seorang pemimpin yang mampu mengeluarkan keputusan berdasarkan kepentingan
orang banyak. Seorang pemimpin yang memiliki loyalitas tinggi dan kedewasaan
dalam menyikapi setiap masalah yang hadir, baik itu bersifat internal maupun
eksternal.
Nah,
bukankah keduanya terbukti dengan kepmimpinannya masing-masing. Gus Dur telah
membuktikannya saat beliau menjabat sebagai Presiden RI. Bahkan, dalam kurun
waktu yang sebentar, tercatat tidak sedikit perubahan yang telah dilakukan
semasa kepemimpinannya. Hingga tiba waktunya, Gus Dur dilengserkan oleh rival
politiknya. Namun demikian, torehan beliau masih tetap akan dikenang di bangsa
ini.
Begitu
pun Maldini, telah menorehkannya saat dirinya dipercaya menjadi kapten di atas
lapangan hijau. Di era kepemimpinannya,
Maldini telah mempersembahkan berbagai trofi untuk AC Milan – Liga Champions (5),
Serie A (7), Piala Dunia Antar Klub (2), Supercoppa Italia
(5), Coppa Italia (1), dan Piala
Super Eropa (5).
Lantas,
adakah pemimpin hari ini, laiknya keduanya? Sejarah yang akan menjawabnya.
Bukankah demikian, memang? []
Sumber Gambar, NU Online
No comments:
Post a Comment