Muhasabah dalam Diam

durspasi
SEBUAH gerak reflek jemari, saya kira ini tepat untuk menggambarkan kenapa saya begitu berhasrat untuk menuliskan catatan ini. Ya, sehari semalam yang saya lakoni, tiba-tiba saya kebingunan untuk menentukan apa yang seharusnya saya dokumentasikan.

Saya tidak menemukan suatu hal yang menurut saya menarik untuk menambah koleksi coretan di file pribadi. Tapi, jemari ini memaksa untuk mengolah kejadian tak berarti menjadi sebuah narasi - yang mungkin cukup berlebihan jika dianggap berarti.

Baiklah, mungkin malam Jumat sudah lumrah bagi umat Islam, khusunya warga Nahdliyin, menjalankan beragam ritual ibadah sebagai warisan tradisi para pendahulu. Begitu pun saya, meski sedikit terpaksa dan kurang bergairah untuk terlibat mendendangkan bacaan-bacaan agung itu.

Entah kenapa, di malam agung ini saya benar-benar tak mampu mengendalikan rasa malas yang menggerayang di sekujur tubuh. Hingga tak satu pun dari organ tubuh ini mau berusaha memberontak pada kemalasan yang muncul.

Tapi, dengan duduk bermalas-malasan, saya pun memaksakan diri untuk turut serta bersama sahabat-sahabat melangsungkan agenda rutinan, kirim do'a buat para mendiang. Jangankan menikmati dengan khusuk, memperhatikan saja, sedikit pun tak ada dalam diri saya. Saat itu saya berada di dunia yang berbeda, dunia bayangan yang sedang memaksa saya untuk keras diperdebatkan dalam pikiran.

Sungguh, kemalasan ini telah membuat urusan pribadi saya dengan Tuhan berantakan. Malam yang seharusnya saya gunakan untuk evalusi diri, saya gunakan untuk memikirkan hal-hal yang tak berarti sama sekali. "Betapa ruginya diri ini, tak mampu mengalahkan diri sendiri." Ucapan sesal ini menggerutu di sanubari.

Ya, sebelum senja menyambut panggilan Tuhan. Beberapa kejadian menghampiri saya tanpa belas kasihan. Bahkan, di tengah proses penyelesaian belum usai, muncul kejadian lain dan semakin menambah deretan panjang permasalahan. Ingin berteriak kencang agar semua orang mendengar.

Tapi saya sadar, sekeras apapun teriakan saya, takkan mampu mengubah keadaan dan tak mungkin ada satu pun yang sudi mendengar, bahkan sekadar untuk membuka telinganya saja.

Akhirnya, saya pun memilih diam. Sejak saat itu pula saya berpikir bahwa, "Ketika ada masalah, saya lebih memilih diam. Karena saya sadar, diam adalah cara saya menghentikan kebuasan saya, yang terkadang diartikan kepuasan. Singkatnya, saya ingin mengontrol emosi yang bercokol pada diri. Karena saya masih belum mampu mengalahkan diri sendiri."

Tak terasa, berdiskusi dengan lamunan tadi ternyata cukup memakan waktu lama. Sahabat-sahabat pun ternyata sudah selesai melakukan ritualnya.

Ah, sungguh gila diri ini. Di tengah yang lain mampu menghabiskan waktu dengan berkomunikasi sama Sang Ilahi. Saya hanya mampu menghabiskan waktu dengan berdiskusi sama bayangan-bayangan, yang sama sekali takkan mampu merubah permasalahan. Segebuk permasalahan yang sudah berbaris rapi di depan dan siap menghantam. []


Kamis, 23 Februari 2017

No comments:

Powered by Blogger.