Muhasabah dalam Diam
![]() |
durspasi |
Saya tidak menemukan suatu
hal yang menurut saya menarik untuk menambah koleksi coretan di file pribadi. Tapi, jemari ini memaksa
untuk mengolah kejadian tak berarti menjadi sebuah narasi - yang mungkin cukup
berlebihan jika dianggap berarti.
Baiklah, mungkin malam
Jumat sudah lumrah bagi umat Islam, khusunya warga Nahdliyin, menjalankan
beragam ritual ibadah sebagai warisan tradisi para pendahulu. Begitu pun saya,
meski sedikit terpaksa dan kurang bergairah untuk terlibat mendendangkan
bacaan-bacaan agung itu.
Entah kenapa, di malam
agung ini saya benar-benar tak mampu mengendalikan rasa malas yang menggerayang
di sekujur tubuh. Hingga tak satu pun dari organ tubuh ini mau berusaha
memberontak pada kemalasan yang muncul.
Tapi, dengan duduk
bermalas-malasan, saya pun memaksakan diri untuk turut serta bersama
sahabat-sahabat melangsungkan agenda rutinan, kirim do'a buat para mendiang.
Jangankan menikmati dengan khusuk, memperhatikan saja, sedikit pun tak ada
dalam diri saya. Saat itu saya berada di dunia yang berbeda, dunia bayangan
yang sedang memaksa saya untuk keras diperdebatkan dalam pikiran.
Sungguh, kemalasan ini
telah membuat urusan pribadi saya dengan Tuhan berantakan. Malam yang
seharusnya saya gunakan untuk evalusi diri, saya gunakan untuk memikirkan
hal-hal yang tak berarti sama sekali. "Betapa ruginya diri ini, tak mampu
mengalahkan diri sendiri." Ucapan sesal ini menggerutu di sanubari.
Ya, sebelum senja
menyambut panggilan Tuhan. Beberapa kejadian menghampiri saya tanpa belas
kasihan. Bahkan, di tengah proses penyelesaian belum usai, muncul kejadian lain
dan semakin menambah deretan panjang permasalahan. Ingin berteriak kencang agar
semua orang mendengar.
Tapi saya sadar, sekeras
apapun teriakan saya, takkan mampu mengubah keadaan dan tak mungkin ada satu pun
yang sudi mendengar, bahkan sekadar untuk membuka telinganya saja.
Akhirnya, saya pun
memilih diam. Sejak saat itu pula saya berpikir bahwa, "Ketika ada
masalah, saya lebih memilih diam. Karena saya sadar, diam adalah cara saya
menghentikan kebuasan saya, yang terkadang diartikan kepuasan. Singkatnya,
saya ingin mengontrol emosi yang bercokol pada diri. Karena saya masih belum
mampu mengalahkan diri sendiri."
Tak terasa, berdiskusi
dengan lamunan tadi ternyata cukup memakan waktu lama. Sahabat-sahabat pun ternyata
sudah selesai melakukan ritualnya.
Ah, sungguh gila diri
ini. Di tengah yang lain mampu menghabiskan waktu dengan berkomunikasi sama
Sang Ilahi. Saya hanya mampu menghabiskan waktu dengan berdiskusi sama
bayangan-bayangan, yang sama sekali takkan mampu merubah permasalahan. Segebuk
permasalahan yang sudah berbaris rapi di depan dan siap menghantam. []
Kamis, 23 Februari 2017
No comments:
Post a Comment