Membaca Generasi Emas Indonesia
![]() |
durspasi |
Phil Howe dan
Williams Stratus (2010) menyebutkan bahwa generasi millennial sangat berbeda
dengan generasi-generasi sebelumnya, khususnya generasi baby boomers yang
lahir dalam rentan waktu 1945-an hingga 1960-an. Generasi ini cenderung lebih menginginkan
adanya interaksi sosial dan kolaborasi tim dalam tempat kerja, keberadaannya
cenderung inovatif.
Intinya,
generasi millennial adalah generasi yang ingin tumbuh, ingin memberikan impact
yang berarti serta ingin menciptakan dan memberikan sebuah perubahan. Hal ini tentu menjadi
modal emas bagi Indonesia dalam melejitkan persaingan di era glogal bersama
negara-negara berkembang lainnya, bahkan negara-negara maju sekalipun.
Sebagaimana
data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang memproyeksikan
jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 mencapai angka 305,6 juta jiwa.
Dimana, angka penduduk yang berada dalam pusaran usia produktif pada 2030
diperkirakan mencapai 70 persen atau 180 juta jiwa. Angka ini lebih tinggi dari
negara-negara ASEAN lainnya.
Dengan kata
lain, dari total keseluruhan usia produktif yang ada di ASEAN, Indonesia
menyumbang sekitar 38 persen. Tak heran jika Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menyatakan bahwa Indonesia memiliki peluang
untuk dapat menikmati hadirnya “bonus demografi”. Peluang tersebut ditandai
dengan adanya dependency ratio (rasio teketergantungan) yang terus menurun.
Artinya,
kehadiran generasi millennial dan bonus demografi adalah dua kesempatan emas
yang tak bisa dipisahkan. Bisa dikatakan, keberhasilan memanfaatkan generasi
millennial merupakan jalan terang Indonesia untuk menikmati hadirnya bonus
demografi.
Tantangan
Dua peluang
emas yang tampak di atas bukan berarti tidak memiliki kendala dalam mewujudkannya. Masalah
terbesar adalah merebaknya paham radikalisme yang dalam dekade terakhir ini
banyak melibatkan kaum muda (penduduk usia produktif). Hal ini menjadi ancaman
serius karena tolok ukur radikalisme adalah kaburnya rasa cinta generasi pada
Indonesia.
Jika
ditelisik, hal ini dipicu oleh arus globalisasi yang didukung dengan pesatnya
teknologi informasi, khususnya media sosial (medsos). Bagaimanapun, kehadiran
teknologi informasi telah menghilangkan sekat antar negara, bahkan benua. Sehingga
ideologi yang bertentangan dengan Pancasila begitu mudah masuk ke Indoneisa dan
dengan cepat menginfiltrasi di berbagai sektor.
Data yang
dirilis oleh LIPI (2016) tentang merebaknya radikalisme di kalangan pemuda
senada dengan laporan penelitian Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
(APJII) bersama Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (Pusakom UI) pada
2014.
Penelitian
itu melaporkan pertumbuhan jumlah pengguna internet di Indonesia terus mengalami
peningkatan sejak tahun 2005. Dimana, pada 2014 mencapai angka 88,1 juta
netizen atau 34,9 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai angka
252,4 juta jiwa.
APJII dan
Pusakom UI juga menjelaskan, sebanyak 49 persen pengguna internet adalah mereka
yang rentan umurnya antara 18 tahun hingga 25 tahun. Dimana, 87 persen dari
meraka menggunakan media sosial (medsos) ketika terkoneksi dengan jaringan
internet.
Dari sini
kita bisa melihat, bahwa penyebaran paham radikalisme pada kelompok pemuda
melalui media sosial sangatlah massif. Hal ini dibuktikan dengan temuan Twitter
(2014) yang mengejutkan, bahwa ISIS telah membuat 700 ribu akun Twitter dan
terkoneksi dengan berbagai kelompok teroris di belahan dunia. Inilah kemudian
yang membuat perusahaan Twitter mengawasi secara ketat adanya konten-konten
yang dinilai berisikan agenda terosisme.
Untuk
meneyebut beberapa contoh, berbagai aksi terorisme di Indonesia seperti bom Mega
Kuningan (2009), bom Solo (2011) dan bom Thamrin (2016) para pelakunya adalah anak-anak muda yang
usianya tidak lebih dari 30 tahun. Bahkan, tidak sedikit anak-anak muda dari
Indonesia
berangkat ke Suriah dalam rangka bergabung dengan ISIS.
Sebuah
Upaya
Nah, beberapa
fakta yang disebut di atas akan menjadi batu penghalang usia produktif menuju
generasi engine of growth maupun source of growth jika tidak
disikapi dengan seksama. Dengan demikian, kita harus optimisme menyiapkan langkah-langkah
guna mewujudkan Indonesia sebagai negara maju dan mampu bersaing dengan
negara-negara lainnya.
Karenanya,
pemuda sebagai bagian dari negara sudah sepatutnya memahami bagaimana Indonesia
sejatinya. Pemahaman keislaman dan keindonesian menjadi dua hal penting yang
perlu dikuasi. Keduanya adalah akar,
sehingga kelompok pemuda tidak mudah menerima hadirnya informasi di media
sosial (medsos) yang telah menjadi lahan penyebaran paham radikalisme. Pemuda
harus melek media dengan selalu mengonfirmasi atau menyaring setiap berita
yang diterima. Bermedia secara cerdas adalah cara menangkal radikalisme yang
marak di media.
Pemahaman
yang benar dalam berpolitik menjadi hal penting agar pemuda tidak apriori
melihat kondisi negara. Keterlibatan pemuda dalam politik menjadi sangat
penting di tengah kondisi yang kian kalut. Karena hadirnya generasi millennial
dan bonus demografi merupakan bukti bahwa pemuda memiliki tanggung jawab dan
peran besar dalam kaitannya menjaga kualitas demokrasi di Indonesia.
Tentunya,
peran tersebut tidak akan berjalan tanpa dukungan pihak-pihak lain. Karenanya,
agar peran tersebut massif, pemerintah bersama-sama kelompok lainnya harus
hadir dengan memberikan ruang sekaligus peran terhadap kaum muda. Jika generasi millennial adalah tonggak awal
mencapai bonus demografi, maka tidak ada pilihan lain selain menempatkan pemuda
dalam ruang-ruang strategis.
No comments:
Post a Comment