Selamat Hari Valentine, Shodancho Supriyadi
![]() |
durspasi |
Oh iya, saya sih tak mempermasalahkan Valentine haram atau tidak. Yang suka, ya dirayakan. Yang tidak, tak usah memgecam. Ini keberagaman. Gampang, bukan?
Cuman, kadang saya prihatin karena Valentine yang tentu bukan budaya asli Indonesia ini mengalahkan hal penting dalam sejarah bangsa. Tak bermaksud menutup diri, tapi mungkin ini cara dunia melakukan sebuah infiltrasi politik budaya dengan menjajah para kelompok pemuda.
Em, jangan terlalu serius dulu, saya hanya ingin menyampaikan beberapa hal terkait pemuda yang sudah lupa pada sejarahnya sendiri. Ada yang masih ingat dengan nama Supriyadi? Ada yang masih ingat dengan pemberontakan yang terjadi pada 14 Februari silam?.
Nah, perlu diketahui, selain Valentine, Indonesia memperingati 14 Februari sebagai Hari Pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA).
Ya, 14 Februari kali ini lebih dikenal dengan hari kasih sayang. Sedikit yang mengingat sebagai hari heroik para pejuang yang tergabung dalam PETA. 14 Februari adalah hari di mana aksi heroik pemberontakan tentara PETA di Blitar dipimpin langsung oleh Shodancho Supriyadi.
Yuk Belajar Sejarah
PETA sendiri dibentuk pertama oleh bala tentara Jepang di Indonesia pada
bulan Oktober 1943. Pemuda Indonesia direkrut Jepang untuk dijadikan tentara
teritorial guna mempertahankan Jawa, Bali dan Sumatera jika pasukan sekutu
tiba. Supriyadi dan teman-temannya merupakan generasi pertama pendidikan
komandan peleton PETA yang waktu itu dilaksanakan di Bogor.
Kemudian, Supriyadi bersama teman-temannya dikembalikan ke daerah asalnya untuk bertugas di bawah Daidan (Batalyon) di Blitar. Nurani komandan muda (Supriyadi) itu pun tersentak melihat penderitaan rakyat akibat perlakuan semena-mena para tentara Jepang.
Ya, kondisi kerja paksa (Romusha) yang mengerahkan orang-orang pribumi untuk membangun perbentengan di pantai sangat menyedihkan dan tak manusiawi. Dari kerja paksa tersebut, telah banyak memakan korban. Banyak yang mati karena kelaparan dan disentri tanpa diobati oleh tentara Jepang.
Para prajurit PETA yang dipimpin Supriyadi itu pun kemudian geram menyaksikan tentara Jepang yang juga melecehkan wanita-wanita Indonesia. Para wanita-wanita Indonesia itu dijanjikan pendidikan di Jakarta. Faktanya, mereka hanya dijadikan pemuas nafsu para tentara Jepang.
Juga, ada aturan walau sekelas Daidan, tentara PETA wajib memberi hormat pada serdadu Jepang meski pangkatnya lebih rendah. Ya, selain nurani PETA tersentak karena kerja paksa dan wanita-wanita yang dilecehkan. Harga diri para perwira PETA pun mulai terusik.
Dalam literatur sejarah ditulis, bahwa komandan Supriyadi bersama teman-temannya kemudian melakukan persiapan-persiapan pemberontakan. September 1944, pertemuan rahasia dimulai. Supriyadi merencanakan aksi itu bukan sekadar pemberontakan, tapi sebuah revolusi menuju kemerdekaan. Para pemberontak ini kemudian menghubungi Komandan Batalyon di daerah lain agar turut serta mengangkat senjata melawan tentara Jepang.
Tidak hanya itu, para pemberontak ini juga memiliki niat untuk menggalang kekuatan rakyat agar turut serta juga. Sayang, disaat persiapan belum matang benar, Kenpetai (Polisi Rahasia Jepang) sudah mencium aksi para pembela tanah air ini. Kabar ini membuat Komandan Supriyadi cemas. Khawatir, ia dan teman-temannya tertangkap duluan sebelum pemberontakan yang direncanakan dimulai.
Akhirnya, pada tanggal 13 Februari 1945 malam hari, Komandan Supriyadi memutuskan bahwa pemberontakan yang direncanakan itu harus dimulai. Ya, dalam kondisi siap atau tidak, tentara PETA membulatkan tekad untuk membalas perlakuan para tentara Jepang.
Banyak yang menilai pemberontakan ini belum siap, termasuk Soekarno. Dia meminta Supriyadi memikul tanggung jawab jika pemberontakannya gagal. Tak semua anggota Daidan Blitar memberontak. Supriyadi meminta para pemberontak tak menyakiti sesama PETA walaupun tak mau memberontak.
Satu hal yang perlu dicatat, bahwa pemberontakan yang dipimpin Supriyadi itu meminta bahwa semua orang Jepang harus dibunuh. Tanggal 14 Februari 1945 pukul 03.00 WIB, pasukan Supriyadi menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para tentara Jepang.
Tidak hanya itu, markas Kenpetai juga menjadi sasaran para tentara PETA untuk dihujani dengan tembakan senapan mesin. Sayangnya, kedua bangunan itu sudah dikosongkan terlebih dulu. Semua itu terjadi karena Jepang telah mencium pemberontakan yg direncanakan.
Aksi lainnya, seorang bintara PETA merobek poster bertuliskan “Indonesia Akan Merdeka” dan menggantinya dengan tulisan “Indonesia Sudah Merdeka!”. Tapi, pemberontakan tak berjalan sebagaimana direncanakan. Komandan Supriyadi 'gagal' menggerakkan satuan lain untuk turut serta.
Dalam waktu yang singkat, Jepang mengirimkan para pasukannya untuk memadamkan pemberontakan tersebut. Para pemberontak pun mulai terdesak. Dengan fasilitas yang disediakan oleh dinas propaganda Jepang, Kolonel Katagiri menemui Shodancho Muradi, salah satu pentolan pemberontak. Katagiri meminta seluruh pasukan pemberontak dari tentara PETA untuk segera kembali ke markas Batalyon.
Muradi pun mengajukan syarat pada Katagiri; pertama, senjata para pemberontak tak dilucuti, dan kedua, para pemberontak tidak diperiksa atau diadili. Katagiri menyetujuinya. Ia pun memberikan pedangnya sebagai jaminan. Inilah simbol janji seorang samurai yang harus ditepati.
Namun, janji Katagiri tak bisa diterima komandan tentara ke-16. Kenpetai dikirim untuk mengusut pemberontakan itu. Jepang melanggar janjinya. Tercatat sebanyak 78 Perwira dan prajurit PETA dari Blitar diseret ke sel tahanan. Kemudian, mereka diadili di Jakarta. Kemudian melahirkan putusan, yakni; enam divonis hukuman mati, enam dipenjara seumur hidup, sisanya dihukum sesuai tingkat kesalahan.
Sedihnya, keberadaan Komandan Supriyadi justru tak diketahui. Dia menghilang tanpa ada seorang pun yang tahu kabarnya dan di mana ia berada. Beberapa literatur meyakini bahwa Komandan Supriyadi tewas di tangan tentara Jepang saat pertempuran sedang berlangsung. Dalam literatur sejarah lain berpendapat, meyakini bahwa Komandan Supriyadi masih dalam kondisi hidup.
Apapun yang terjadi, pemberontakan Supriyadi telah menginspirasi anggota PETA dan Heiho yang lain untuk tidak selamanya tunduk pada Jepang. Misalnya, Slamet Riyadi, dia lari dari Kaigun (Angkatan Laut Jepang) untuk bergabung dengan Komandan Supriyadi. Meski pada akhirnya, sebelum Slamet Riyadi bergabung, pemberontakan mampu dipadamkan terlebih dulu.
Namun Supriyadi tak pernah muncul. Pemerintah mengakui jasa-jasanya dan mengangkatnya sebagai salah satu pelopor kemerdekaan. Beberapa literatur sejarah juga menyebut, pemberontakan PETA seperti di Blitar juga terjadi di Gumilir (Cilacap) dan Pangalengan, Bandung. Dan perlu diketahui, bahwa keberadaan PETA ini merupakan salah satu cikal bakal inti kekuatan TNI di kemudian hari.
Ya, 14 Februari adalah hari kasih sayang. Kasih sayang para pemuda terhadap Indonesia. Kasih sayang tentara PETA pada kondisi bangsa. Meski dalam sejarah dikenal sebagai pemberontakan yang gagal, PETA adalah isnpirasi di mana ketidakadilan harus dimusnahkan.
PETA telah mengajarkan kita bahwa penindasan tak boleh berdiri tegak di bumi ini. PETA adalah simbol kasih sayang pemuda terhadap Indonesia.
Selamat Hari Kasih Sayang, Supriyadi dan kawan-kawan. Selamat Hari Valentine para pejuang kemerekaan. []
Kemudian, Supriyadi bersama teman-temannya dikembalikan ke daerah asalnya untuk bertugas di bawah Daidan (Batalyon) di Blitar. Nurani komandan muda (Supriyadi) itu pun tersentak melihat penderitaan rakyat akibat perlakuan semena-mena para tentara Jepang.
Ya, kondisi kerja paksa (Romusha) yang mengerahkan orang-orang pribumi untuk membangun perbentengan di pantai sangat menyedihkan dan tak manusiawi. Dari kerja paksa tersebut, telah banyak memakan korban. Banyak yang mati karena kelaparan dan disentri tanpa diobati oleh tentara Jepang.
Para prajurit PETA yang dipimpin Supriyadi itu pun kemudian geram menyaksikan tentara Jepang yang juga melecehkan wanita-wanita Indonesia. Para wanita-wanita Indonesia itu dijanjikan pendidikan di Jakarta. Faktanya, mereka hanya dijadikan pemuas nafsu para tentara Jepang.
Juga, ada aturan walau sekelas Daidan, tentara PETA wajib memberi hormat pada serdadu Jepang meski pangkatnya lebih rendah. Ya, selain nurani PETA tersentak karena kerja paksa dan wanita-wanita yang dilecehkan. Harga diri para perwira PETA pun mulai terusik.
Dalam literatur sejarah ditulis, bahwa komandan Supriyadi bersama teman-temannya kemudian melakukan persiapan-persiapan pemberontakan. September 1944, pertemuan rahasia dimulai. Supriyadi merencanakan aksi itu bukan sekadar pemberontakan, tapi sebuah revolusi menuju kemerdekaan. Para pemberontak ini kemudian menghubungi Komandan Batalyon di daerah lain agar turut serta mengangkat senjata melawan tentara Jepang.
Tidak hanya itu, para pemberontak ini juga memiliki niat untuk menggalang kekuatan rakyat agar turut serta juga. Sayang, disaat persiapan belum matang benar, Kenpetai (Polisi Rahasia Jepang) sudah mencium aksi para pembela tanah air ini. Kabar ini membuat Komandan Supriyadi cemas. Khawatir, ia dan teman-temannya tertangkap duluan sebelum pemberontakan yang direncanakan dimulai.
Akhirnya, pada tanggal 13 Februari 1945 malam hari, Komandan Supriyadi memutuskan bahwa pemberontakan yang direncanakan itu harus dimulai. Ya, dalam kondisi siap atau tidak, tentara PETA membulatkan tekad untuk membalas perlakuan para tentara Jepang.
Banyak yang menilai pemberontakan ini belum siap, termasuk Soekarno. Dia meminta Supriyadi memikul tanggung jawab jika pemberontakannya gagal. Tak semua anggota Daidan Blitar memberontak. Supriyadi meminta para pemberontak tak menyakiti sesama PETA walaupun tak mau memberontak.
Satu hal yang perlu dicatat, bahwa pemberontakan yang dipimpin Supriyadi itu meminta bahwa semua orang Jepang harus dibunuh. Tanggal 14 Februari 1945 pukul 03.00 WIB, pasukan Supriyadi menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para tentara Jepang.
Tidak hanya itu, markas Kenpetai juga menjadi sasaran para tentara PETA untuk dihujani dengan tembakan senapan mesin. Sayangnya, kedua bangunan itu sudah dikosongkan terlebih dulu. Semua itu terjadi karena Jepang telah mencium pemberontakan yg direncanakan.
Aksi lainnya, seorang bintara PETA merobek poster bertuliskan “Indonesia Akan Merdeka” dan menggantinya dengan tulisan “Indonesia Sudah Merdeka!”. Tapi, pemberontakan tak berjalan sebagaimana direncanakan. Komandan Supriyadi 'gagal' menggerakkan satuan lain untuk turut serta.
Dalam waktu yang singkat, Jepang mengirimkan para pasukannya untuk memadamkan pemberontakan tersebut. Para pemberontak pun mulai terdesak. Dengan fasilitas yang disediakan oleh dinas propaganda Jepang, Kolonel Katagiri menemui Shodancho Muradi, salah satu pentolan pemberontak. Katagiri meminta seluruh pasukan pemberontak dari tentara PETA untuk segera kembali ke markas Batalyon.
Muradi pun mengajukan syarat pada Katagiri; pertama, senjata para pemberontak tak dilucuti, dan kedua, para pemberontak tidak diperiksa atau diadili. Katagiri menyetujuinya. Ia pun memberikan pedangnya sebagai jaminan. Inilah simbol janji seorang samurai yang harus ditepati.
Namun, janji Katagiri tak bisa diterima komandan tentara ke-16. Kenpetai dikirim untuk mengusut pemberontakan itu. Jepang melanggar janjinya. Tercatat sebanyak 78 Perwira dan prajurit PETA dari Blitar diseret ke sel tahanan. Kemudian, mereka diadili di Jakarta. Kemudian melahirkan putusan, yakni; enam divonis hukuman mati, enam dipenjara seumur hidup, sisanya dihukum sesuai tingkat kesalahan.
Sedihnya, keberadaan Komandan Supriyadi justru tak diketahui. Dia menghilang tanpa ada seorang pun yang tahu kabarnya dan di mana ia berada. Beberapa literatur meyakini bahwa Komandan Supriyadi tewas di tangan tentara Jepang saat pertempuran sedang berlangsung. Dalam literatur sejarah lain berpendapat, meyakini bahwa Komandan Supriyadi masih dalam kondisi hidup.
Apapun yang terjadi, pemberontakan Supriyadi telah menginspirasi anggota PETA dan Heiho yang lain untuk tidak selamanya tunduk pada Jepang. Misalnya, Slamet Riyadi, dia lari dari Kaigun (Angkatan Laut Jepang) untuk bergabung dengan Komandan Supriyadi. Meski pada akhirnya, sebelum Slamet Riyadi bergabung, pemberontakan mampu dipadamkan terlebih dulu.
Namun Supriyadi tak pernah muncul. Pemerintah mengakui jasa-jasanya dan mengangkatnya sebagai salah satu pelopor kemerdekaan. Beberapa literatur sejarah juga menyebut, pemberontakan PETA seperti di Blitar juga terjadi di Gumilir (Cilacap) dan Pangalengan, Bandung. Dan perlu diketahui, bahwa keberadaan PETA ini merupakan salah satu cikal bakal inti kekuatan TNI di kemudian hari.
Ya, 14 Februari adalah hari kasih sayang. Kasih sayang para pemuda terhadap Indonesia. Kasih sayang tentara PETA pada kondisi bangsa. Meski dalam sejarah dikenal sebagai pemberontakan yang gagal, PETA adalah isnpirasi di mana ketidakadilan harus dimusnahkan.
PETA telah mengajarkan kita bahwa penindasan tak boleh berdiri tegak di bumi ini. PETA adalah simbol kasih sayang pemuda terhadap Indonesia.
Selamat Hari Kasih Sayang, Supriyadi dan kawan-kawan. Selamat Hari Valentine para pejuang kemerekaan. []
1 comment:
Selamat hari kasih sayang kepada sesama Hamba Allah, semoga semuanya berkah. http://nurussyahid.blogspot.com
Post a Comment