Memaknai Elite dan Tradisi Ngopi
![]() |
durspasi |
Ternyata
sudah banyak teman-teman yang duduk santai menikmati seduhan kopi hitam.
Seperti sebelum-sebelumnya, saya sapa satu persatu
dari mereka sebelum menuju kasir lalu memesannya. Karena, bisa dipastikan yang
nongkrong di situ adalah sahabat-sahabat PMII (organisasi yang saya
geluti). Rata-rata yang nongkrong adalah sahabat-sahabat dari UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Pada
waktu yang sama, salah seorang sahabat duduk santai di
pojok kedai seraya menyindir, dengan menuding saya sebagai orang
"elite". Tuduhan itu dilontarkan hanya karena pakaian saya yang
kebetulan rapi saat itu. Sahabat-sahabat satu meja pun
bergantian menyerang saya dengan intrikan-intrikan, yang menurut saya
tak berlandasan. Namun, saat itu, saya
tanggapi semua intrikan itu dengan senyuman.
Mendengar
itu semua, sontak dalam hati saya bertanya. Apakah
hari ini kader PMII seperti ini? Apakah ini cara berdialektika kader PMII hari
ini? Apakah ini pula cara PMII memahami sesuatu? Kalau memang iya, celaka PMII
hari ini.
Seperti
yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa "elite"
itu mempunyai makna, sesuatu yang telah jauh dari realitas. Jika makna itu kita
sepakati, bagaimana dengan tuduhan sahabat saya tadi?
Pertama, kalau
tidak boleh dikatakan salah, anggapan mereka kurang tepat. Karena menganggap
elite itu identik dengan suatu yang rapi. Kedua,
mereka lebih kurang tepat lagi jika anti kemapanan adalah satu-satunya
identitas mahasiswa (tidak elit-lebih dekat dengan realitas). Ketiga, dua anggapan itu diperparah oleh
pola mereka yang menurut saya (ingat, ini menurut saya), sebenarnya itulah
yang elite.
Artinya,
tidak persoalan mau berpenampilan seperti apa. Mau memakai baju yang rapi serta
semprotan minyak wangi. Mau memakai celana bolong, kaos oblong dan hanya mandi
satu minggu satu kali. Bahkan, mau memakai sarung, baju koko serta kopyah
layaknya santri yang mau berangkat ngaji.
Itu semua hanya bentuk fisik semata.
Meski
memakai kaos lusuh dan celana kumuh namun kerjaannya
hanya ngopa-ngopi saja. Tidak
merasakan bagaimana realita sebenarnya, terjun ke masyarakat
untuk ikut merasakan penderitaannya. Semua itu tak ada gunanya. Apa bedanya
aktivis sama gembel?
Jika
kita mengacu pada makna elite yang dikutip di atas, justru itu bisa dikatakan
elite. Karena, perubahan sosial tidak bisa diselesaikan dengan penampilan kumuh
yang mereka banggakan. Atau secangkir kopi yang setiap hari menjadi kewajiban.
Itu hanya seperangkat kecil yang sifatnya relatif, boleh dilakukan-boleh tidak.
Karena dalam kopi sendiri juga mengandung mudhorot
dan manfaat.
Jauh
lebih baik yang berpakaian rapi (yang mereka sebut ‘elite’)
namun setiap sore mereka pergi ke sebuah desa, menularkan ilmu yang dimilikinya.
Jauh lebih baik mereka yang berpenampilan ala
santri (mungkin anggapan mereka kolot) tapi setiap hari mereka menanamkan
keislaman ala Indonesia pada setiap masjid
yang di tempatinya.
Bukankah
itu adalah gerakan nyata, jelas dan konkrit pengabdiannya. Dari pada mereka yang menghabiskan waktunya
dengan secangkir kopi revolusinya (katanya). Ironisnya, minat baca buku pun hampir tak ada.
Lantas,
dari mana mereka mendapat pemahaman elite itu. Jangan-jangan itu kabar turun
temurun yang keautentikannya sudah terpotong-potong oleh lidah serampangan.
Ibarat hadis, sanadnya sudah terputus karena banyaknya periwayatan yang
diragukan.
Ternyata,
kader-kader PMII-pun banyak terjebak pada simbol belaka. Dengan dalih,
mengikuti jejak pendahulunya. Di mana,
gerakan mahasiswa lahir dari pertemuan di kedai kopi. Bukan pada subtansinya,
kenapa dahulu harus bertemu dan merumuskan gerakan di warung kopi.
Nah,
ini harus dipikirkan kembali supaya tidak salah paham dan berujung pada
pemahaman yang salah. Kala itu, para mahasiswa nongkrong di warung kopi untuk
berdiskusi. Membicarakan setiap buku yang sudah mereka pelajari di gubuknya
(kost) masing-masing.
Setelah
kepalanya penuh karena buku yang mereka baca, untuk
berdialektika, kedai kopi menjadi tempat yang cocok bagi mereka untuk bertukar
gagasan dan merumuskan gerakan. Dengan arti lain, budaya ngopi para pendahulu kita itu bukan untuk sekadar nongkrong saja. Akan tetapi, ada nilai
yang hendak diperbincangkannya.
Bahkan,
jika menelusuri budaya ngopi para
aktivis dari tahun ke tahun. Hampir setiap informasi yang didapat menyatakan
mengalami sebuah kemerosotan substansi. Bagaimana tidak, jika dulu ngopi sambil berdiskusi. Hari ini budaya
ngopi bercampur dengan permainan remi
(salah satu permainan kartu yang marak di warung kopi), salah satu contoh saja. Sungguh, ironis jika
keberadaannya seperti ini.
No comments:
Post a Comment