Kekalahan Ahok, Kekalahan Barca

durspasi
SAYA sengaja menuliskan kejadian-kejadian yang sebenarnya sudah tidak panas untuk diperbincangkan. Hal ini saya lakukan, semata-mata untuk balas dendam lantaran selama sepekan saya gagal menulis catatan, walau hanya satu halaman.

Terhitung sejak 19 April, saat ibu kota memasuki babak akhir dalam menentukan pemimpinnya. Pastinya, saya memiliki alasan, kenapa tak sepaginapun catatan saya goreskan. Dan, Anda tak perlu tahu alasan tersebut.

Baik, dalam tulisan kali ini, saya ingin menuangkan beberapa hal yang sudah saya lewatkan dalam sepekan. Tentu saja dengan narasi yang tidak panjang agar tak menjenuhkan. Namanya juga catatan, bukankah demikian, memang?

Kekalahan Ahok, Kekalahan Barca
Sebelum Anda bertanya, saya tegaskan bahwa kekalahan Ahok dan Barca sama sekali tak memiliki keterkaitan. Jadi, anggap saja, penyandingan keduanya memang asal-asalan.

Mari kita mulai. Jujur, saya tidak kaget mendengar kekalahan Ahok dari Anis. Jauh-jauh hari, sudah saya katakan, Ahok akan menang kalau bisa unggul dalam satu putaran saja. Artinya, jika dua putaran, kekalahan Ahok memang terlihat terang.

Kok bisa? Ya, begini ceritanya. Pertama "keseleo lidah" soal Ayat 51 Al Maidah, dalam kaca mata politik, ucapan Ahok harus dihitung sebagai kesalahan. Dengan begitu, ibarat sebuah tim, Ahok telah mengawali leg pertamanya dengan skuad yang timpang. Tentu saja, ketimpangan tersebut akan dimanfaatkan oleh lawan untuk mencuri kemenangan.

Selanjutnya, kesalahan tersebut tidak diimbangi dengan perubahan strategi di leg kedua. Ahok bersama timnya, masih memakai taktik serupa laiknya pertemuan pertama. Saya rasa ini fatal, karena tidak terlihat ada penambalan lini-lini pertahanan yang sudah nyata-nyata bolong.

Skuad Ahok riuh di dunia maya. Mereka terlalu asyik memainkan umpan-umpan di areanya sendiri. Padahal, saat bersamaan, Anis bersama timnya berani melakukan penetrasi disertai tekel-tekel keras para tim suksesnya. Beberapa kartu kuning tak membuat tim Anis kendor. Justeru, semakin memasuki menit akhir, tekel-tekel keras semakin gencar.  

Akhirnya, meski berstatus sebagai penantang, Anis dengan mudah mencetak kemenangan telak. Bolongnya lini pertahanan Ahok benar-benar dimanfaatkan oleh tim Anis. Isu sentimen agama menjadi pressing ketat dalam setiap kampanye belangsung.

Bahkan, tim Anis berkali-kali menusuk ke jantung pertahanan Ahok dengan umpan-umpan SARA, jenazah tak disalati, khutbah Jumat berbau kampanye, dsb.

Meski umpan-umpan matang yang digulirkan tim Anis seringkali terperangkap offside. Tapi, pada akhirnya, serangan yang bertubi-tubi itu seketika lolos dari jebakan offside. Anis pun mencetak gol dan pengadil pertandingan menyatakan onside.

Gol yang disahkan pengadil pertandingan pun hanya akan menjadi kontroversi pasca pertandingan. Ia hanya jadi perdebatan pendukung di luar mandala. Ya, bermain di depan pendukungnya sendiri, Ahok harus menerima kekalahan dari Anis dkk.

Selebihnya, sekontroversi apapun kememangan Anis, karena dinilai tidak memimilki semangat fair play, kemenagan sudah ditentukan. Bagaimanapun, pertandingan harus melahirkan pemenang, walaupun pemenang itu terkadang harus hadir dari cara bermain yang tidak sportif.

Singkatnya, big macth Ahok vs Anis memang terasa seperti duel klasik dua tim yang bertatus rival abadi. Tak heran, jika cara-cara bermain yang ditampilkan tak lagi mementingkan keindahan. Kemenangan menjadi tolok ukur untuk mengakhiri pertandingan.

Ya, begitulah. Kontestasi politik itu serupa dengan pertandingan besar sepak bola. Sekecil apapun kesalahan yang diperbuat akan berakibat fatal. Politik dan sepak bola sama-sama mengadu kekalahan pada kata “seandainya”.

"Seandainya Ahok tak bicara soal Al Maidah, sudah pasti ia mulus menjadi DKI satu."

"Seandainya Barca tak menurunkan Mathieu, sudah pasti Dybala tak akan leluasa menari di area Ter Stegen."

Karenanya, dalam politik dan sepak bola, hal mendasar yang harus dibuang adalah kata “seandainya”. Setiap langkah, tindakan harus sudah melalui perhitungan dan pertimbangan yang matang. 

Singkatnya, baik politik maupun sepak bola, tidak mengenal kata "seandainya".

Soal kekalahan Ahok dan kekalahan Barca, cukup sampai di sini saja. Catatan selanjutnya, ganti halaman saja, terlalu panjang soalnya. Dan, tentunya tidak sekarang, bisa besok atau lusa ya. []

No comments:

Powered by Blogger.